webnovel

Ayah mertua datang berkunjung

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Damian bertanya kepada dokter setelah Julia selesai diperiksa.

"Istri Anda kekurangan nutrisi, kekurangan cairan, dan tekanan darahnya menurun. Karena itu pasien harus dirawat selama beberapa hari."

"Kenapa dia masih belum sadar, Dokter? Ini sudah dua hari," ucap Damian cemas.

"Mungkin efek samping obat. Menurut perawat, istri Anda, sudah bangun. Kebetulan saja mungkin, saat Anda datang, pasien sedang tidur."

Damian menoleh ke arah ranjang rawat. 'Sepertinya bukan kebetulan, tapi dia sengaja menghindar dariku.' Ia mengantar dokter keluar dari kamar perawatan. Di depan pintu kamar rawat, Aldo dan Sultan, menunggu dokter keluar.

"Kalian sudah datang. Masuk saja, aku harus membeli sesuatu," ucap Damian.

"Terima kasih, Dam. Maaf, soal aku meminta Julia berpura-pura menjadi kekasihku," ucap Sultan.

"Aku mengerti. Aku juga sudah memaafkanmu," balas Damian dengan senyuman.

Setelah mereka masuk dan menutup pintu, Damian bersandar di dinding samping pintu. Ia mendengar Julia berbicara kepada mereka. Namun, saat ia yang berada di dalam, wanita itu terus memejamkan mata.

Sakit? Sangat. Damian sangat kesakitan dan lukanya tidak terlihat.

***

Seminggu berlalu, Julia sudah diperbolehkan pulang. Dokter meminta kepada Damian dan Aldo untuk merawatnya dengan baik di rumah. Usahakan agar Julia tidak banyak bergerak dan harus banyak beristirahat.

Damian memanggil pembantunya, Imas, untuk kembali bekerja. Wanita paruh baya itu sudah merapikan kamar Julia saat mereka bertiga datang dari rumah sakit. Wanita itu terus menolak bantuan dari Damian.

"Aku antar kamu ke kamar." Damian mengulurkan tangan, hendak membantu memapah istrinya. Namun, lagi-lagi ia ditolak.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," jawab Julia dingin.

"Sabar, Kak. Aldo yakin, kakak ipar, tidak akan lama-lama marahnya." Aldo mencoba menghibur. 

Damian langsung naik ke kamarnya. Aldo duduk merenung di ruang tamu. Ia mengingat percakapannya tadi saat Damian pergi ke bagian administrasi.

*Julia tampak sedih menatap kaca jendela ruang perawatannya. Ia berharap masih bisa berlama-lama tinggal di ruangan itu. Hanya di ruangan itu, ia bisa terus mengacuhkan suaminya.

"Kak! Maafkan, kakak Aldo, ya. Aldo yakin, Kak Damian tidak bermaksud menyiksa, Kakak."

"Aku tahu. Aku yang memilih mogok makan dan minum. Dia memang selalu mengantarkan makanan saat aku tertidur. Aku hanya kecewa, karena dia tidak memberiku kesempatan sama sekali."

Air mata Julia menetes perlahan. Meski, ia telah menahannya sejak tadi. Akhirnya, air bening nan hangat itu tetap meluncur mulus di kedua pipinya.

"Kak Damian, dia pernah dikhianati oleh istri pertamanya. Sehingga, sikapnya sangat tegas saat ada seseorang yang membantah, atau membohongi dirinya. Aldo tidak membenarkan sikap Kak Damian, tapi berharap, Kakak ipar, bisa memahaminya."

Julia tidak menjawab. Haruskah, ia lagi yang mengalah untuk memahaminya. Lalu, kapan laki-laki itu memahami perasaan Julia?*

Lamunan Aldo buyar saat ponselnya bergetar. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang. Itu adalah panggilan video dari ayahnya, Oman.

"Aduh! Bagaimana ini?" Aldo mondar-mandir kebingungan. Kalau tidak dijawab, pasti ponselnya akan terus berbunyi. Tapi, kalau dijawab, bisa ketahuan kalau di rumah itu sedang perang dingin.

Akhirnya, Aldo memilih mematikan ponselnya. Panggilan beralih ke nomor telepon rumah. Aldo segera mengangkatnya sebelum Imas yang mengangkat.

"Halo, Pa," ucap Aldo.

"Kenapa video call dari Papa diputus?" Oman bertanya dengan nada yang terdengar kesal dari ujung telepon yang lain.

"Habis baterai, Pa. Baru mau diterima, eh, mati hapenya."

"Oh. Bagaimana kakak iparmu? Papa dengar dari Imas, katanya Julia dirawat?"

"Iya, tapi sudah pulang hari ini. Mau bicara dengan kakak ipar?"

"Tidak. Sampaikan pesan papa pada mereka, besok papa akan pergi ke Jakarta."

"Hah!"

"Kenapa kamu terkejut?"

"Bukan terkejut, Pa. Aldo bahagia karena akan bertemu, Papa. Makanya begitu," ucap Aldo beralasan. Padahal, ia terkejut mendengar ayahnya akan datang ke Jakarta. 

Julia dan Damian tidur di kamar terpisah. Jika ayahnya tahu hal itu, bisa saja, tiba-tiba terkena serangan jantung. Bagaimana Aldo tidak panik.

Panggilan telepon berakhir. Aldo berteriak memanggil mereka berdua. "Kak Juli! Kak Damian! Gawat! Papa …." Aldo sengaja menggantung kata-katanya.

Berhasil. Mereka keluar dari kamar dan menghampiri Aldo dengan panik. Mereka pikir, terjadi sesuatu pada Oman.

"Ada apa dengan papa?" Keduanya sontak bertanya saat sudah berdiri di depan Aldo.

"Papa akan datang ke Jakarta besok." Aldo menjawab dengan wajah panik. Namun, mereka berdua terlihat biasa saja. "Kalian … tidak khawatir?"

"Khawatir apa?" Damian bertanya dengan nada acuh tak acuh.

"Kalau papa mau datang, ya tinggal datang saja 'kan. Kenapa aku harus panik?" Julia melontarkan pertanyaan yang memiliki arti sama dengan yang ditanyakan oleh suaminya.

"Kalian tidur terpisah. Papa tidak tahu hal itu 'kan. Kalian yakin, tidak merasa panik?"

"Hah?! Aku lupa. Bagaimana, dong, Al?" Julia tidak ingin tinggal sekamar bersama Damian, meski hanya sandiwara.

"Ya, kalian harus tidur bersama untuk sementara waktu." Aldo tersenyum geli melihat kakak iparnya kebingungan. Hal baik akan segera tiba. Dengan kedatangan ayahnya, Aldo berharap hubungan mereka berdua bisa membaik.

"Tidak mau!" Julia menolak dengan tegas.

"Al, bawakan barang-barang Julia ke kamarku!" 

"Aku bilang, aku tidak mau!" Julia menghadang Aldo agar tidak masuk ke kamarnya.

"Sementara waktu, tidurlah di kamarku. Aku bisa tidur di perusahaan dengan alasan lembur. Jadi, kau, bisa tidur dengan nyenyak." Damian pergi keluar rumah. Ia mengendarai mobilnya dengan terburu-buru. 

Julia hanya bisa terpaku. Laki-laki itu tidak menatap wajahnya sama sekali saat bicara. Wanita itu semakin kesal. 

"Dasar gunung es!" Julia memaki suaminya setelah mobil itu melewati pintu gerbang.

"Sabar, Kak."

"Diam!" Julia membentak Aldo yang tidak tahu-menahu, kenapa kakak iparnya itu begitu kesal.

"Orang, tuh, ya, aturan kalau istri lagi marah, dirayu atau dibujuk. Ini, malah pergi tidak jelas," gerutu Julia di kamarnya.

Tok! Tok! Tok!

"Kak! Aldo mau bantu beres-beres."

Julia membuka pintu. Wajahnya cemberut, membuat Aldo menertawakan gadis itu. Dan, ia mendapat hadiah pukulan dari sang kakak ipar. 

Aldo membawa barang-barang yang sudah dirapikan oleh Julia. Ia membawanya ke kamar Damian. Sementara urusan merapikan di kamar, Imas sudah membantunya merapikan baju-baju Julia ke lemari pakaian milik tuannya.

Setelah semuanya dirapikan, Julia naik ke kamar suaminya. Aldo dan Imas, meninggalkannya sendirian di kamar Damian. Julia duduk di tepi ranjang.

Di ranjang itu, mereka hampir melakukan hubungan intim. Namun, mereka seperti belum ditakdirkan untuk bersama. Sebuah telepon mengganggu rencana mereka berdua.

Sampai hari ini, sudah terhitung tiga bulan pernikahan mereka. Damian belum membuka segel virginity milik Julia. Bahkan, hubungan mereka kembali dingin seperti pertama kali Julia datang ke rumah itu.

*BERSAMBUNG*

Next chapter