webnovel

SONY & AKU

Pulang kuliah, aku memutuskan tidak langsung pulang. Beberapa teman sedang sibuk mengurus urusan mereka masing-masing. Hanya Sony yang sedang bersamaku saat ini.

"Rey, kita makan yuk!" ajaknya.

"Enggak lapar, Son."

"Mukamu kusut banget. Ada masalah? Cerita sama aku," katanya seraya mengusap pucuk kepalaku.

"Son!"

"Em?"

Aku memperhatikan wajah Sony yang yang sedang tersenyum manis. Ah ... jika aku bukan teman Sony sejak dulu, sudah pasti aku akan kepincut dengan pesonanya yang selalu bersikap manis.

"Kita duduk di tengah lapangan, yuk!" ajakku.

"Boleh. Kamu tunggu bentar, aku ambil sepeda motor di parkiran."

Aku hanya tersenyum sembari menganggukkan kepala. Beberapa saat kemudian, Sony berhenti tepat di depanku. Tanpa diminta, dia memakaikan helm di kepalaku. Sedikit melompat, aku menaiki motor ninja berwarna merah ini. Selanjutnya berjalan perlahan meninggalkan tempat. Dengan santai, sepeda motor membelah jalanan, melewati gelapnya malam, menembus cakrawala. Aku melipat tanganku di dada, menahan dinginnya angin yang menusuk kulit. Mengetahui tubuhku yang sedikit mengigil, Sony menepi, lalu melepas jaket jeans-nya yang berwarna biru.

"Pakai ini, Rey. Nanti kamu bisa sakit!"

"Hey! Aku nggak apa-apa, kok. Kamu yang di depan, nanti kamu yang sakit, Son," jawabku memberi alasan.

Sony tetap memakaikan jaketnya ke tubuhku yang membuatku menggelengkan kepala.

"Kamu bandel banget, sih, Son."

Aku cemberut, karena kesal. Sony hanya tertawa melihat tingkahku, lalu kami pun melanjutkan perjalanan.

***

"Kamu ada masalah apa? Aku siap, kok, dengar cerita kamu."

Aku diam saja, duduk bersila di hadapan Sony. Rasanya tidak etis juga harus menceritakan masalah keluarga kepada orang lain.

"Enggak ada apa-apa, Son. Cuma lagi pengin duduk di tengah lapangan ini. Memandang luasnya langit, dan melihat ribuan bintang di atas sana. Rasanya tenang dan beban hidup seraya meluap ke atas sana."

"Aku enggak akan memaksa. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi sekarang, aku doakan semoga cepat terselesaikan."

"Kamu manis banget, sih!"

Aku mencubit pipinya gemas.

"Kalau manis dijadikan pacar, dong, bukan hanya teman," ucapnya menatap mataku lekat.

Aku hanya tertawa dan menggelengkan kepala.

"Bercanda, Rey," katanya sambil mengacak pucuk kepalaku.

"Aku juga tahu," jawabku menjulurkan lidah yang membuatnya juga ikut tertawa.

Kami mengobrol banyak hal di tengah lapangan. Tidak kami hiraukan hiruk pikuk orang yang berlalu-lalang. Karena di pinggiran lapangan ini berjajar orang-orang yang menjual berbagai macam makanan, juga beberapa tempatnya bermain anak-anak, sehingga suasana menjadi sangat ramai. Tepat pukul 21.30 malam, kami pulang. Sony mengantarku sampai di depan pagar rumah. Setelah Sony pulang, aku masuk. Keadaan rumah sepi. Aku mengetuk pintu dan mengucap salam. Tante Siska membuka pintu dengan mata yang sembap. Kini, kami duduk di kursi meja makan. Tante Siska menceritakan semuanya. Bahkan, dulu ketika Tante Siska mengandung Bagus pernah ada seorang wanita yang datang dan mengaku sebagai istri simpanan Om Darmo. Luka lama terkoyak lagi! Hati Tante Siska pasti semakin teriris, karena kejadian itu kini terulang kembali.

"Tante sudah tidak tahan, Rey. Tante ingin pisah saja dari Om Darmo."

"Tante enggak boleh ngomong seperti itu. Ini ujian buat Tante. Wanita itu semakin bersorak riang, jika tahu Tante menyerah. Jika begitu, seolah Tante dengan suka rela memberikan Om Darmo kepadanya, tanpa dia bersusah payah mengambilnya dari Tante. Ayolah, jangan seperti itu. Bagaimanapun caranya, Tante harus rebut kembali Om Darmo dari pengaruh wanita itu."

"Tante enggak sanggup, Rey. Hati ini sudah terlalu sakit diperlakukan seperti ini. Cukup, ini yang terakhir! Tante enggak sanggup!" Mata dan wajah Tante Siska memerah, suaranya parau.

Aku memeluknya, berusaha memberi ketenangan. "Tante sekarang tidur, ya. Jangan banyak pikiran. Jangan sampai sakit. Nanti kita pikirkan lagi, apa yang akan kita lakukan untuk menyelesaikan masalah ini."

"Tante malah ingin cepat-cepat mati, Rey. Tante enggak sanggup melewati hidup ini."

"Astagfirullah. Tante, ingat ada Allah. Enggak boleh seperti itu, ya," kataku dengan mata berkaca-kaca. "Ada Allah, ada Sinta, ada Bagus, dan ada aku," bisikku seraya memeluknya lebih erat.

Setelah puas mendengar curhatan Tante Siksa yang tidak pernah selesai, aku memaksa menuntunnya ke kamar. Menjawab ocehannya percuma saja. Diberi nasihat pun tidak akan didengarkan, karena emosi sedang menguasai hatinya. Aku kenal siapa Tante Siska.

"Tante sekarang tidur dulu, ya," kataku sambil menarik selimut ke tubuhnya, lalu mematikan lampu kamar.

Tante Siska diam. Namun dari sorot matanya aku tahu, begitu dalam sakit yang ia rasakan. Aku menutup pintu dan melangkah menuju kamar Bagus dan Santi terlebih dahulu. Mereka sudah terlelap. Bahkan, Siska masih mengenakan headset di telinganya. Aku mendekat dan melepas headset itu, lalu mematikan lampu. Setelahnya keluar untuk masuk ke kamarku.

***

Tepat pukul 02.30 dini hari, aku mendengar pintu pagar terbuka. Aku membuka mata, lalu menguceknya sebentar. Selanjutnya beringsut bangun, dan membuka gorden untuk mengintip keluar. Kulihat Om Darmo masuk dengan tubuh yang sempoyongan. Di salah satu tangan, dia memegang sebuah botol minuman keras. Om Darmo muntah-muntah di teras rumah. Samar-samar, terdengar salah satu pintu kamar terbuka. Tidak berapa lama, Tante Siska datang dan membantu Om Darmo yang sudah tergeletak dilantai. Karena tubuh Om Darmo yang tinggi dan besar, Tante Siska kesulitan menarik tubuhnya. Dia menangis di samping tubuh Om Darmo, barangkali meratapi hidupnya sendiri.

Alisku bertautan melihatnya. Dadaku mulai tidak memiliki ruang karena sesak melihat Tante Siska. Tante Siska, adalah orang tua keduaku setelah ibu dan bapak di kampung. Perlahan, aku menghapus air mata yang mulai mengintip di ujung mata, menarik napas dalam-dalam, dan berjalan ke arah pintu. Setelah membukanya aku melangkah keluar untuk membantu Tante Siska membawa Om Darmo masuk. Sampai di sana aku merunduk untuk menyentuh bahu wanita kuat yang sedang diterpa ujian ini.

"Tante," sapaku yang membuatnya sedikit terkejut.

Selanjutnya aku berjongkok, memeluk tubuh Tante Siska dari samping. Mendapat perlakuan seperti itu, membuat Tante Siska semakin terisak.

"Yuk, kita bawa Om Darmo masuk, Tante!" bisikku di telinganya.

Dia mengangguk perlahan. Aku menarik tangan kanan Om Darmo, sedangkan Tante Siska sebelah kiri. Dengan susah payah, kami menariknya masuk rumah. Namun tidak sampai masuk kamar, karena kehabisan tenaga. Aku meminta Tante Siska membangunkan Bagus dan Sinta untuk membantu. Namun Tante Siska melarang, dia khawatir anaknya akan semakin benci jika tahu Om Darmo pulang dalam keadaan mabuk. Tante Siska membentang ambal dan mengambil selimut yang tebal untuk Om Darmo, lalu menyuruhku kembali tidur. Awalnya aku menolak, tapi Tante Siska meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku pun memasuki kamar dan mulai membaringkan tubuh di ranjang. Samar, kudengar tangisan Tante Siska. Aku membuka gorden sekali lagi, terlihat Tante Siska membersihkan muntahan Om Darmo sambil menangis.

Aku menelan ludah beberapa kali, berusaha menghilangkan rasa sakit pada tenggorokan yang semakin menjadi, karena sedih melihat Tante Siska seperti ini. Kembali aku menutup gorden. Dalam hati aku berdoa.

Ringankan bebannya, Ya Allah. Sesungguhnya Engkaulah Maha pembolak-balik hati manusia. Sadarkan Om Darmo, kembalikan kasih sayang dan cintanya seperti dulu untuk keluarga ini. Aamiin ....