webnovel

KEMBALI BEKERJA

"Ya, jangan terlambat. Masuk seperti biasa, pukul 7.00 pagi sudah di sana."

"Siap, Pak!" Tanganku bergerak memberi hormat.

Bos Koko menyeruput minuman yang sudah disuguhkan oleh Tante Siska sampai tidak bersisa, lalu dia merogoh saku celana untuk mengambil sapu tangan dan mengelap mulutnya.

Dih, haus banget kayaknya. Rutukku dalam hati sambil terus memperhatikannya. Sebenarnya aku sudah ingin dia cepat-cepat pergi, toh tidak ada urusan lagi. Aku bersandar di kursi, memperhatikan Bos Koko yang sedang mengupas kulit jeruk yang dibawanya sendiri. Batinku terkikik saat menyadari aku tidak menyuguhkan makanan apapun sejak tadi. Laki-laki itu malah memakan buah bawaanya sendiri. Satu jam berlalu, bosku masih sibuk memakan buah jeruk dengan asiknya. Entah sudah habis berapa biji ia makan buah itu.

Duh, Bos Koko, kok enggak pulang-pulang, ya? Padahal, tujuan dia memintaku kembali bekerja sudah terpenuhi. Eh, apa aku usir saja? Tapi, nanti gajiku enggak jadi dinaikin sama dia bagaimana? Ah, jadi serba salah, batinku sibuk sendiri, sementara mata ini terus mengawasi makhluk aneh itu. Dengan sangat telaten, Bos Koko mengupas kulit jeruknya, lalu membersihkan serat-serat halus yang menempel pada buah.

Setelah yakin bersih dan memeriksa semua bagian, baru dipisahkan secara satu persatu dan memakannya. Aku menahan tertawa, saat melihat dia dengan sangat cekatan mengumpulkan semua kulit yang berceceran di meja. Menyadari keheningan yang sejak tadi ada di antara kami, sepertinya Bos Koko mengerti kegelisahanku sejak tadi. Dia melirik beberapa kali.

"Rei, kalau begitu saya pulang dulu. Jangan lupa buahnya dimakan, buat perbaikan gizi."

Aku menarik napas lega. Ini kalimat yang kutunggu sejak tadi. Eh, tunggu dulu! Ish, dia mencela atau mengejek? Apa karena tubuhku langsung, eh langsing, sampai dia memperingatkan hal seperti itu? Aku menggeleng lalu berkata.

"Iya, Pak. Tidak perlu Anda beritahu juga saya pasti makan kok. Jangan salah ya, Pak. Model-model terkenal itu body-nya seperti saya ini." Bela-ku untuk tubuh kurusku ini, setelah itu berdiri dan berjalan menuju pintu, guna mempersilakan dia pulang. "Katanya mau pulang, silakan, Pak!"

Aku mempersilakan ia keluar dengan senyuman. Melihat itu Bos Koko menggelengkan kepala. Heran.

"Kamu tunggu di dalam saja, nggak apa-apa. Saya bisa keluar sendiri, Rei," katanya kembali sibuk mengumpulkan kulit jeruk.

Aku menahan tawa. Padahal, barusan sebelnya minta ampun. "Enggak apa-apa, Pak. Saya enggak keberatan mengantar Bapak sampai ke depan pagar di depan sana. Bila perlu saya akan antar Bapak sampai ke mobil di halaman depan. Oh iya, itu kulit jeruknya mau dibawa ke mana, Pak?"

"Maaf, ya, sudah merepotkan, tapi kamu tidak perlu repot-repot seperti itu. Ini mau saya letakkan di mobil saja. Saya membawa kotak sampah ke mana-mana di dalam mobil. Nanti rumah kamu kotor, kalau saya tinggalkan."

Oh, ternyata disiplinnya bukan hanya di kantor. Di luar jam kerjapun sama saja. Baguslah!Aku mangut-mangut menahan tawa.

"Rey!"

"Iya, Pak?"

Kini Bos Koko sudah berdiri di tengah-tengah pintu didekatku. Karena dia sudah ada di sini, dengan perlahan aku menutup daun pintu. Otomatis, kakinya melangkah keluar. Biar dia cepat pulang.

"Ya, sudah. Saya pulang dulu," ucapnya sembari memakai sepatu.

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan," kataku melipat kedua tangan di dada dan bersandar di dinding rumah.

"Kamu boleh bicara seperti itu, setelah saya berjalan menuju mobil. Ini, saya masih di sini loh, Rey."

Asli, aku gedek banget sama Bos Killer satu ini. Terserah aku dong mau ngomong kapan saja! Ini bukan wawasan wilayahnya. Dia lupa, sekarang lagi di rumah siapa? Meskipun hati dongkol, aku memaksakan diri untuk tersenyum, sok cute.

"Hehehe. Iya, Pak. Maaf, nanti saya ulang kalimat yang sudah terlanjur keluar dari mulut saya saat Bapak menuju ke mobil."

"Ya sudah, saya pulang. Selamat siang," katanya penuh wibawa sembari melonggarkan kancing baju di bagian lehernya. Dia berjalan keluar pagar, lalu tiba-tiba berhenti dan kembali menoleh. "Rey!"

Aku yang hendak masuk rumah membalikkan badan, untuk menoleh kearahnya. Apa lagi, sih? "Iya, Pak?" tanyaku kembali sok cute.

"Kamu boleh bilang hati-hati di jalan sekarang."

Gubrak!

Cuma itu ternyata. "Eh, iya. Maaf saya lupa. Hati-hati di jalan, Pak!" ucapku dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

"Baiklah. Terima kasih." Bos Koko berbalik dan melangkah masuk ke kendaraan roda empatnya.

Sebelum ia kembali memanggil, cepat-cepat aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat, kemudian menepuk jidat.

'Ya ampun! Bos satu itu bener-bener menghabiskan energi kesabaran saya. ' Kemudian aku tertawa senang. 'Alhamdulillah ya Allah, nggak jadi keluar dari sana.' Padahal tadinya aku berpikir bahwa aku bakal jadi pengacara, alias pengangguran banyak acara. hehehe

***

Malamnya aku ngobrol dengan ibu yang ada di desa melalui sambungan telepon. Akhirnya kangen akan keluarga ini terobati. Aku juga mendengar petuah dari Bapak dan sewotnya mbak Rani. Untuk sementara aku merasa ada di sana. Merasakan hangatnya suasana, dan bahagianya berada di tengah-tengah mereka, meskipun hanya lewat suara. Sesekali aku tertawa saat Mbak Rani menggoda, lalu terdiam saat mendengarkan nasihat bapak, di lain waktu aku tersenyum dan antusias mendengarkan ibu bercerita.

"Rey, udah malam. Kamu belum mau tidur?" tanya ibu setelah bercerita banyak hal.

"Ibu udah ngantuk, ya?"

"Loh, ibu malah takut kamu yang ngantuk. Soalnya kamu besok musti kerja, bangun pagi supaya salat subuhnya nggak ketinggalan."

"Ibu, Rey salat subuh terus kok, jangan khawatir."

"Syukurlah. Jangan sampai kesibukanmu dan urusanmu di dunia sampai membuatmu lupa akhirat ya, Nak."

"Insya Allah nggak, Bu."

"Ya udah, kamu tidurlah. Besok kita sambung lagi, ya!"

"Baik, Bu."

Setelahnya ibu mengucap salam dan aku menjawabnya. Aku mengempaskan tubuh ke kasur usai mematikan panggilan telepon. Rasanya lega sekali dan rindu ini terobati. Dulu, hampir setiap hari bertengkar dengan Mbak Rani, tapi sekarang aku malah merindukan celotehnya. Dulu aku sering bosan mendengar petuah bapak, dan kini aku baru sadar kalau ternyata semua yang dikatakannya adalah kebenaran. Jauh dari orang tua membuat pikiranku lebih dewasa.

"Rey, udah tidur?"

Aku langsung beringsut duduk saat mendengar suara Tante Siska. Ia melempar senyum, lalu duduk di sampingku.

"Baru juga mau tidur, Tante. Ada apa nih?"

"Emm, Tante pengen bilang sesuatu." Nampak Tante berdiri, lalu menutup pintu kamar, setelahnya kembali duduk di sisiku. "Rey ... menurutmu ... ehh, mungkin nggak kalau Om Darmo itu berselingkuh?"

Dahiku mengerut. "Kok nanya gitu?"

"Soalnya ... dia itu kalau keluar rumah selalu rapi, wangi dan pokoknya nggak seperti biasa."

"Loh bagus dong. Mungkin Om Darmo pengen buat Tante bangga kali."

Tante Siska diam beberapa saat, kemudian tersenyum samar.

"Iya kali, ya?"

"Iya Tante. Udah, jangan suuzon terus sama Om Darmo. Positif thinking aja, ya!"

Adik dari ibuku ini menarik napas, lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia memegang tanganku dan mengatakan akan mencoba berpikir positif mengenai masalah ini. Setelahnya langsung keluar kamar dan memintaku untuk beristirahat.