webnovel

5. First Test

Hari berlalu secepat guliran sang waktu menjemput malam. Pergantian masa yang terus berlanjut tanpa ada yang bisa menghentikannya. Daun-daun muda bermunculan, sedang daun-daun tua luruh disapu sang bayu. Begitu juga dengan kehidupan ini. Ada yang terlahir dan disambut dengan sukacita, lalu ada juga yang pergi dan diiringi derain air mata. Sungguh, banyak hal di dunia ini yang berjalan tanpa kuasa manusia untuk menahan, menghentikan dan mengubahnya.

Begitu juga yang dilihat Syean dari sahabatnya. Kehadiran sosok mungil di dalam rahimnya itu, akankah mendatangkan bahagia atau sebuah cerita tragis yang menakutkan?

Syean sedang bersiap-siap meninggalkan Samanta. Mereka tidak jadi nge-gym dan memutuskan untuk berleha-leha saja di rumah Samanta yang berada di Lapai, tidak begitu jauh dari kosan-nya Syean.

Bagaimanapun Syean berusaha menenangkan hati sahabatnya itu, tetap tidak mampu mengusir rasa gundah yang terlanjur terpatri di wajah Samanta. Hanya dengan Syean dia mampu begitu terbuka. Semua unek-uneknya dia keluarkan. Apa lagi Samanta mulai menceritakan kalau orang tuanya akan segera menjodohkannya dengan anak kerabat papanya. Seseorang yang tidak ia kenal sama sekali.

"Sam, menurut gue, kalo pernikahan elu disegerakan bisa jadi hal yang sangat baik. Mengingat kandungan lu yang usianya belum seberapa!" Syean berusaha memberi solusi walau itu terdengar sangat menakutkan. Samanta semakin gelisah.

"Bagaimana kalo calon suami gue itu tahu gue tidak perawan lagi? Bahkan gue sedang hamil, Syean! Menurut lu apa dia tidak bakalan murka sama gue?" Syean menarik napas dalam. Ini tidaklah mudah. Kasihan juga calon suami Samanta jika dia membesarkan anak yang bukan berasal dari benihnya sendiri. Dan Samanta pasti juga tidak bakalan tenang menjalani hidup sepanjang kebohongan tersebut belum terungkap.

"Jadi, kita harus bagaimana, Sam? Apa kita pakai jalur hukum aja untuk menuntut Raka?"

Samanta tercenung sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Gue ga' ada bukti, Syean! Bagaimana kalo emang bener malam itu ada yang sengaja naroh dia di ranjang gue? Bisa-bisa gue yang dipenjara. Karena dianggap telah mencemarkan nama baik seseorang." Samanta membaringkan badannya di kasur. Perasaannya sangat lelah.

"Kalau begitu, gue juga tidak tahu mesti ngomong apa, Sam!" Syean ikut membaringkan badannya. Dia tidak bisa membayangkan jika dia yang berada di posisi Samanta.

"Satu-satunya cara hanya dengan menggugurkan kandungan ini, Syean. Gue siap terima resiko apa pun." Kata-kata Samanta membuat dada Syean bergetar. Dia merasa, orang yang menggugurkan kandungan merupakan ibu terjahat di muka bumi ini. Apa salah calon bayi tersebut? Namun, semua protes hanya bergema di pikiran Syean. Dia juga tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Syean, lu mau ‘kan nemenin gue ke tukang aborsi? Gue ga' bisa menunggu lebih lama lagi. Lu kudu bantu gue, yach?"

Dilema, itu yang dirasakan Syean. Namun, keputusan harus diambil.

"Sam, gue ga' bisa! Dan gue ga' tega! Gue juga takut. Menggugurkan kandungan sama dengan perbuatan yang dikutuk Tuhan. Lu pikir panjang lagi, Sam. Kapan perlu jujur sama orang tua lu!" Syean terpaksa bersikap tegas. Walau dia sahabatan sudah lama dengan Samanta dia tidak boleh ikut-ikutan dalam suatu rencana keji seperti itu.

"Ya sudahlah, Syean! Memang tidak seharusnya gue melibatkan lu. Maafkan gue, yah? Walau lu kaga' bisa bantu gue, dengan lu denger curhatan gue aja hati gue udah tenang, Syean!" Samanta segera berdiri dari tidurnya.

Syean tidak menyangka Samanta akan berbicara seperti itu. Samanta bahkan tidak marah dan tersinggung dengan ucapan Syean. Syean memeluk tubuh sahabatnya itu erat.

"Kenapa ini terjadi ke gue ya, Syean?" Samanta kembali menangis.

Percakapan kedua perempuan cantik tersebut mampir ke telinga seorang perempuan paruh baya yang tadinya hendak masuk ke kamar Samanta. Apa yang didengarnya bagaikan ratusan anak panah yang ditembakkan ke jantungnya. Namun, dia berusaha untuk menetralisir hatinya yang terguncang dengan tetap berlaku tenang.

Ibu Audry, Mamanya Samanta perlahan-lahan mundur dari pintu kamar Samanta. Dia merasa sangat ingin menangis. Matanya terasa panas. Mengetahui anaknya sedang berbadan dua bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Dia tiba-tiba saja menjadi panik.

Terbayang acara tunangan Samanta yang akan diadakan bulan depan. Terbayang dampak dari semua ini. Tubuh tuanya merosot dan tangisan pun keluar dari mulutnya.

Sementara itu Syean dan Samanta masih bercakap-cakap sampai matahari akhirnya menguning di cakrawala senja. Syean memutuskan untuk segera pulang. Dia rasa sudah cukup baginya untuk menemani Samanta.

***

Syean sampai di kos dan kaget mendapati Dean sedang berdiri di dekat motor bututnya. Pemuda tersebut terlihat begitu ganteng. Dengan sebatang rokok terselip di bibir merahnya. Melihat rokok tersebut membuat kekaguman Syean menjadi hilang. Dia segera mendekati Dean dan tanpa bicara dia segera mengambil rokok yang masih mengepulkan asap tersebut, membuang dan melumatnya dengan ujung sepatu.

"Gue tidak mau calon suami gue mati gara-gara rokok. Gue tidak mau calon suami gue napasnya bau rokok. Dan gue tidak mau kalo lu ngajak gue ciuman dan lidah lu rasa tembakau. Menjijikkan." Syean berdiri berkacak pinggang.

"Astaga, lu kenapa? Datang tak diundang, pergi tak dijemput lalu marah-marah?" Dean menatap Syean tidak suka, "Dan apa yang lu bicarakan barusan? Calon suami? Astaga, bangun, woy! Pede amat lu ngaku-ngaku jadi calon isteri gue!" Dean mendengkus kesal.

"Ga' usah membantah! Jelaskan, apa tujuan lu ke sini?" Syean mengibaskan rambutnya yang panjang. Angin berhembus lumayan kencang membuat Syean terlihat begitu cantik. Dean tidak bisa membantah kalau hatinya baru saja terpesona melihat Syean mengibaskan rambut.

"Gue ... hmm ... Gue ...!"

"Napa? Gagu? Jangan bilang ke gue kalo lu juga pecandu sinetron India yang berjudul Thapki itu?" Syean mencebikkan bibirnya. Sementara Dean memutar bola matanya pasrah.

"Gue ke sini mau minta sapu tangan yang kemarin gue pinjamin sama elu. Cepat balikin!" Dean mengulurkan tangannya dengan mata melotot.

Syean ternganga, tidak menyangka kalau Dean menemuinya hanya untuk meminta sapu tangan tersebut.

"Lu benar-benar tidak romantis, yach? Dengar! Itu sapu tangan lu serahkan ke gue dengan tidak ada kata-kata pinjam. Jadi gue anggap kalo lu sengaja memberikan ke gue secara cuma-cuma sapu tangan tersebut. Paham?" Syean kembali berkacak pinggang.

"Ga' usah banyak bacot! Cepat serahkan atau ...!" Dean menggantung kata-katanya. Alisnya satu terangkat ke atas.

"Atau apa?" Syean membalas dengan melototkan matanya.

"Atau lu ikut gue jalan-jalan sore ini keliling kota Padang. Kalo lu mau, sapu tangan itu bisa jadi milik lu." Dean terkekeh melihat air muka Syean yang tiba-tiba berubah. Bercahaya. Kentara sekali rasa senang di wajah Syean.

"Jadi lu ngajak gue nge-date?" Syean berteriak senang. Namun, kesenangannya semerta-merta pupus ketika mendengar jawaban Dean.

"Gue ngajak lu bantuin gue beli bahan-bahan dapur. Ibu yang nyuruh. Jadi kalo lu benar-benar mau membuat gue senang dan suka sama lu, ujian dimulai dari sekarang."

Syean melongo,

"Ya Tuhan!"