Ketiga orang tersebut membisu di meja makan. Syean menatap Dean yang asyik memotong-motong daging soup di piring. Sementara itu, Bu Syumi pelan-pelan menghabiskan makanan di mulutnya, kemudian memulai percakapan.
"Syean, kerja di mana?" Pertanyaan Bu Syumi serta merta membuat Syean yang tadi asyik menatapi wajah gantengnya Dean, menoleh. Ia merasa jengah karena kedapatan memelototi Dean. Wajah cantiknya merona malu.
"Syean seorang akunting, Bu di sebuah perusahaan swasta," jawab Syean sambil tersenyum lebar.
"Ooo ..., pantas!" Keluar suara ketus dari mulut Dean.
"What the kamsud dengan kata pantas?" Syean menaikkan sebelah alisnya. Dia tahu, Dean pasti ingin meledeknya lagi.
"Iya, pantas wajah lu tua plus nyebelin! Iya 'kan, Bu?" Dean menoleh ke ibunya yang langsung gagap dengan ucapan anaknya. Bu Syumi melirik ke arah Syean yang memasang wajah kesal.
"Lu tu ya, ga' bisa menghargai cewek, yah? Coba lu lihat dengan mata yang jelas dari sudut mananya gue terlihat tua?" Nada suaranya langsung naik beberapa tingkat. Dean membalas tatapannya. Mata tajam lelaki tersebut seolah mau menguliti Syean hidup-hidup.
"Udah tua, gendut lagi!" Tambah Dean tanpa merasa berdosa yang sukses membuat emosi Syean semakin terpancing.
"GENDUT???" Syean meledak, " apa gue yang gendut? Lu jangan asal, ya, kalo ngomong! Asal lu tahu, gue rajin nge-gym sekali seminggu. Ya ampun, Ibu! Coba Ibu lihat, apa saya terlihat gendut?" Syean berdiri dari kursinya memutar tubuhnya di depan Bu Syumi yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Dean, kamu kalo ngomong jangan asal. Syean itu gadis tercantik yang pernah ibu lihat. Baru kali ini ibu bisa begitu akrab dengan calon mantu!"
"CALON MANTU???" Dean langsung tersedak dari makanannya. Bu Syumi dengan cepat memberikan air putih dan menepuk-nepuk punggung Dean, "apa maksud Ibu dengan calon mantu?" Matanya melotot ke arah sang ibu yang tertawa geli.
"Loh, jadi elu ga' tahu kalau sekarang gue adalah calon mantu di rumah ini? Makanya lu kudu siap-siap buat gue siksa. Rasain lu!" Syean menaruh kedua tangannya di atas kepala. Jari telunjuknya di acungkan ke atas seolah-olah membentuk tanduk syetan.
"Lu ngimpi! Lu kaga' bakalan bisa membuat gue suka sama elu! Dasar cewek sarap!" Dean menghabiskan soup-nya dengan cepat. Obrolan sudah ke mana-mana. Dan itu membuatnya tidak nyaman. Sementara Syean memasang wajah sok anggun. Sekali-kali dia mengedipkan matanya ke arah Dean yang semakin sulit saja untuk bernapas.
"Biar waktu yang membuktikan. Gue bakalan buat lu cinta mati sama gue! Mumpung gue udah dapat restu dari calon ibu mertua. Benarkan, Bu?" Syean menggenggam erat jemari Bu Syumi. Perempuan paruh baya itu membalasnya dengan anggukan kepala.
"TIDAAAK!" Dean berteriak putus asa sebelum akhirnya menjauh dari meja makan dan keluar dari rumah. Dia masih mendengar gelak tawa ibunya dan Syean.
***
Seperginya Dean, Syean melanjutkan makannya. Dia menatap Bu Syumi yang sesaat termenung.
"Ibu baik-baik saja?" Syean memegang tangan Bu Syumi.
Bu Syumi menarik napas dalam. Dia membenarkan letak kaca matanya. Namun tidak urung, setetes air mata membasahi pipi tuanya.
"Dean anak yang baik. Di usianya yang masih belia harus kehilangan bapak dan sibuk ngurusin ibu. Dia menjadi sangat protektif sama ibu. Kamu tahu Syean, dia itu sudah S2 lho. Walau usianya baru 25 tahun. Masih terlihat kekanak-kanakan, ya?" Bu Syumi menyeka air mata yang sempat menetes di pipinya.
"Untung saja si bapak ninggalin perusahaan yang bisa ibu kelola. Namun saat ini ibu sudah tua, dan perusahaan sudah diambil alih oleh Dean. Tapi yaitu, dia tidak mau terlihat formil! Katanya, dunia ini jangan terlalu dikekang dengan banyak aturan. Bukan pakaian dan gaya yang bagus yang akan membuat perusahaan berkembang. Yang penting bagaimana bisa mengelola manajemen dan keuangan perusahaan yang baik. Sampai sekarang, kalo dia ke kantor kadang membuat ibu geleng-geleng kepala! Sungguh anak ajaib Dean, mah!" Syean tercenung mendengar ucapan sang ibu. Bukan tanpa alasan kenapa Dean kadang terlihat seperti anak-anak. Pola pikirnya yang bebas dan tidak mau terikat membuatnya begitu lepas.
"Tapi, apa dia memang selalu ketus dan kasar gitu sama orang, Ibu?" Syean bertanya dengan hati-hati. Takut kalau nanti pertanyaannya akan membuat si ibu sedih. Nyatanya kekehan keluar dari mulut Bu Syumi.
"Hahaha, itulah yang ibu herankan. Baru tadi ibu ngerasa ada yang beda sama Dean. Biasanya dia lemah lembut kalau bicara. Suatu keajaiban kenapa dia bisa begitu jutek sama kamu, Syean. Di kantor pun dia jadi idola para karyawan. Semua orang menyukainya. Eh, kamu sendiri gimana? Suka tidak sama Dean?" Pertanyaan Bu Syumi yang to the point membuat Syean gelagapan.
"Suka? Sama Dean? Hahaha, ga' segampang dan secepat itulah, Ibu!" Syean wajahnya memerah karena malu, "tapi kalau dari pandangan pertama dan selanjutnya saya merasakan debaran yang tidak menentu di hati saya, apa Ibu mau jadikan saya Mantu?"
Syean benar-benar sudah putus urat malunya. Sementara Bu Syumi terkekeh mendengarnya.
"Kalau untuk urusan cinta, Dean sepertinya sosok yang sulit, Syean. Jika kamu memang menyukainya, lanjutkan saja. Kejar dia sampai dapat. Tapi ingat, setiap apa pun yang kamu lakukan untuk memenangkan hatinya jangan sampai melukai hatimu, hati Dean dan hati ibu. Apa kamu bisa menerima syarat tersebut?" Bu Syumi mengulurkan tangannya.
"Akan saya coba, Ibu! Mohon doa restunya!" Syean menerima jabatan tangan Bu Syumi dan menciumnya.
"Selamat berjuang, Prajurit!" teriak Bu Syumi. Kedua perempuan beda generasi tersebut tertawa penuh kebahagiaan.
***
Ketika jam menunjukkan pukul sembilan pagi, bunyi deru motor terdengar dari luar. Syean yang baru selesai menolong mencuci piring dikejutkan dengan kehadiran Dean di sampingnya. Dean menatap Syean yang senyam-senyum tidak jelas.
"Ini kunci motor lu!" Dean menaruh kunci tersebut di telapak tangan Syean.
Mata Syean terbelalak.
"Nemu di mana?" tanyanya lega.
"Semalam pas lu pinsan dan gue anter ke rumah, gue balik lagi ke lokasi. Ternyata kunci motor lu itu masih ada di lobang kunci yang di bawah jok. Lu itu pelupa ternyata. Mungkin kunci lu itu masih nyangkut di sana ketika lu mau ngambil helm. Makanya, kalau jadi orang itu, otak dan mata dipake!" Selesai berucap begitu Dean ngeloyor pergi meninggalkan Syean yang hanya bisa melongo mendengar penjelasan Dean barusan.
"Dia ngomong apa, sih?"
***
Sekarang Syean sudah berada di kosan. Seenak-enaknya tidur di rumah orang, tetap lebih enak tidur di kamar sendiri. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari Minggu merupakan hari yang selalu digunakan untuk berleha-leha dan bersantai ria bagi gadis itu.
Syean meraih henponnya dan sesaat berjengit melihat puluhan panggilan tak terjawab dari Raka. Begitu juga dengan SMS yang masuk.
Maafkan gue, Syean. Gue cuma bercanda. Please, angkat teleponnya.
Syean memutar bola mata dan men-delete semua panggilan tidak terjawab serta SMS dari Raka. Bagaimanapun lelaki tersebut telah merendahkan harga dirinya. Syean memblokir nomor Raka saking kesalnya dia sama lelaki tampan itu.
"Astaga, gue lupa. Gue janji nge-gym hari ini bareng Samanta. Dia pasti udah nungguin gue di G-Sport!" Syean buru-buru memeriksa aplikasi Line-nya, dan benar-Samanta-sahabat karibnya yang bekerja sebagai resepsionis hotel tersebut telah mengirimkan berbagai macam emoticon di media social tersebut.
"Sorry, Sam! Gue ketiduran!" balasnya di telepon. Yang ditelepon hanya merungut-rungut kesal dan menyuruh Syean untuk bergegas ke gym.
Tidak cukup lima belas menit Syean sudah berada di G-Sport Center, pusat kebugaran di kota Padang. Syean bergegas ke cafe dan melihat Samanta sedang ngobrol dengan seseorang. Seorang pria, membelakangi Syean. Syean segera menghampiri meja tersebut dan sesaat dia tertegun melihat siapa teman bicara Samanta.
"Syean?" ujar lelaki tersebut sambil berdiri. Dia terlihat salah tingkah. Syean memandangnya malas.
"Mau apa lagi lu, Ka? Apa belum puas membuat gue kesal?" Syean melipat tangan dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gue salah, Syean! Maafkan gue!" ujar Raka dengan wajah menyesal.
"Tidak sekarang, Ka! Gue masih butuh waktu. Untuk sementara tolong jauhi gue! Bagi gue, lu itu sudah bukan siapa-siapa gue lagi. Yuk, Sam!" Syean meraih tangan Samanta dan tanpa bicara lagi mereka meninggalkan Raka yang berdiri dengan perasaan galau.
"Ada masalah apa lu sama Raka, Syean?" Samanta menoleh ke arah Syean yang wajahnya terlihat begitu kesal.
"Tau akh, malas bahasnya, Sam! Kalo lu mau tau banget, tanya aja langsung sama dia. Gue lagi bete'!"
Syean dan Samanta sampai di ruang ganti. Mereka menaruh pakaian di locker dan Syean menyempatkan mencuci muka di westafel. Setidaknya air mampu menyegarkan suasana hatinya.
"Btw, sebenarnya ada yang ingin gue sampaikan sama lu, Syean!" Samanta memegang tangan Syean ketika perempuan tersebut hendak melangkah keluar.
Syean menatap Samanta dan merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
"Apa Sam? Apakah semuanya baik-baik saja?"
Namun nyatanya semua tidak baik-baik saja. Samanta memeluk Syean erat dan tangisnya pecah.
"Lu kenapa, Sam? Ada masalah apa?" Syean membelai rambut Samanta. Pertanyaan Syean semakin membuat Samanta menangis.
"Gue ... Gue ...!" Samanta menggigit bibir. Dadanya terasa sesak.
"Lu kenapa, Sam?" Dada Syean berdebar lebih kencang. Ada firasat tidak enak yang kini menguasai pikirannya.
"Gue hamil!" Suara Samanta laksana petir di siang bolong. Mengejutkan Syean. Namun dia lebih kaget lagi mendengar lanjutan kalimat Samanta.
"Dan Rakalah ayah dari anak yang gue kandung!"