Tetapi, Arya tentu saja tidak mengunakan alasan konyol seperti itu selama satu bulan penuh. Alasan utamanya adalah tentu saja masalah pekerjaan!
Tidak tahu bagaimana, Perusahaanya selama sebulan terakhir tiba-tiba mengalami kemerosotan. Entah itu Investasi yang gagal, Profit rendah, atau gagal produksi, membuat Arya harus bekerja ekstra satu bulan terakhir.
Kurang tidur, telat makan, dan rapat selama berjam-jam benar-benar menguras tenaganya. walaupun usianya masih 48 tahun, tergolong masih muda jika dibandingkan para pebisnis veteran. Kerutan diwajahnya membuatnya terlihat tua sepuluh tahun lebih cepat. itu juga alasan lainnya dia tidak ingin menemui putrinya, Arya tidak ingin putrinya khawatir ketika melihat wajah kelelahannya.
Didalam ruangan 3×3m² dengan desain interior hitam putih, Arya tengah duduk dibalik meja kerjanya, setumpuk dokumen teronggok diam menunggu diperiksa. papan tanda CEO terpajang di atas mejanya. istirahat makan siang sudah dimulai lima belas menit lalu. Namun, Dokumen-dokumen didepannya tidak hanya berkurang justru semakin bertambah. Membuatnya tidak bergerak sama sekali dari kursinya.
Jika bukan karena sekretarisnya yang menawarkan diri untuk membelikan makan siang, Arya mungkin akan melewatkan makan siangnya juga hari ini. Jadi sambil menunggu makan siangnya datang, Arya berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan tumpukan dokumen didepannya, jika tidak, dia akan lembur lagi hari ini atau lebih parahnya, membawa dokumen itu pulang ke rumah dan bekerja semalaman penuh berkutat dengan nya.
Tok.. Tok.. Tok..
suara ketukan pintu terdengar menggema didalam ruangan CEO yang luas. Arya tanpa mengangkat kepalanya menanggapi suara itu. "Masuk!".
Tidak lama kemudian, suara pintu yang terbuka mulai terdengar, seorang wanita muda dengan kisaran usia tiga puluhan berjalan masuk. sosok nya yang elegan di balut kemeja putih dengan blazer hitam dan juga rok selutut yang senada menambahkan kesannya sebagai wanita karir.
"Pak, ini makan siang anda." Wanita itu mulai berbicara saat mendekati meja CEO, suaranya halus mengandung jejak kesopanan.
"Hmm" Arya menanggapi dengan gumaman tanpa mengangkat kepalanya, fokus pada dokumen yang sedang dia baca. "Taruh saja dulu, nanti saya makan setelah menyelesaikan ini"
Riri—sekertaris Arya— memasang ekspresi tidak puas. Setelah bekerja selama lima tahun bersama atasanya ini. Riri tau maksud dari kata 'nanti' yang diucapkan bos nya bisa berpangkat dua menjadi 'Nanti-nanti' dan pada akhirnya makanan yang sudah susah payah dia beli—dengan uangnya sendiri— akan terlupakan dipojokan dan tidak termakan. jangankan dimakan, disentuh saja mungkin tidak!
"Anda bisa meninggalkan pekerjaan itu sebentar, Pak. hanya butuh waktu lima belas menit dan anda bisa kembali bekerja" Riri mencoba membujuk dengan sopan sekali lagi.
"karena hanya lima belas menit, Maka itu bisa dilakukan nanti setelah ini selesai." Arya tetap tidak mengangkat kepalanya saat menanggapi ucapan sekretarisnya.
Alis Riri mulai berkedut, sifat keras kepala atasannya inilah yang membuatnya sakit kepala setiap hari. Tapi, bagaiman bisa seorang sekretaris yang profesional seperti dirinya tidak mengenali bosnya sendiri? Jika saat sebuah bujukan tidak diterima, Maka sebuah ancaman halus adalah solusi yang tepat.
Dengan senyum yang tulus, Riri mulai melontarkan kalimat yang menurutnya kejam dengan sopan, "Jika Anda tidak makan. Maka saya siap menelpon Nona Cahya untuk memaksa Anda. Saya tidak yakin bagaiman reaksi Nona Cahya saat melihat Papanya keras kepala seperti anak kecil saat disuruh makan"
Benar saja, setelah kalimat itu selesai. Arya yang awalnya masih fokus ke dokumen tiba-tiba mengangkat kepalanya. menatap tajam kearah sekretaris yang memiliki senyum sopan tanpa adanya rasa bersalah.
"Jadi Pak, Saya akan menyiapkannya di piring agar Anda bisa segera menikmatinya" Tanpa menunggui persetujuan Arya, Riri mulai menyiapkan peralatan makanan
Melihat ini, Arya hanya menghela napas pasrah. dia tahu, jika Riri tidak mengancamnya, mungkin dia tidak akan menyentuh makanan itu karena terlalu fokus bekerja.
"silakan, Pak."
Arya berdiri dari kursi kebesarannya, berjalan santai menuju meja makan kecil dengan empat kursi ditengah ruangan. Sesampainya tanpa membuang waktu, Arya menyantap makanannya dengan cepat sebisa mungkin sehingga bisa kembali melanjutkan pekerjaan nya. Di samping nya, Riri hanya memperhatikan atasannya yang makan seakan tidak ada hari esok.
"Uhuk! Uhuk!" Setelah beberapa sendok, Arya tersedak makanannya sendiri.
Riri memutar matanya melihat Arya tersedak, berjalan kearahnya. Dia dengan ringan menuangkan air minum di gelas pria itu.
"Bisakah anda makan dengan pelan? Anda punya waktu lima belas menit untuk makan dengan santai. tidak perlu buru-buru, pak"
Arya malu mendengar ucapan sekretaris nya. Kemudian berdehem pelan untuk menghilangkan rasa sakit di tenggorokannya dan tidak menanggapi ucapan Wanita didepannya.
Lenggang di ruangan itu tidak ada yang berniat berbicara. Lebih tepatnya, Arya tidak terbiasa makan sambil berbicara dan Riri memutuskan diam demi kesopanan pada atasanya. Hanya terdengar suara sendok dan piring yang beradu sampai Riri mengingat sesuatu dan memecah kelenggangan. "Saya baru ingat, Ada surat yang dialamatkan untuk Anda, Pak"
Arya menghentikan sendok yang hampir masuk ke mulutnya, memasang ekspresi bingung sebelum bertanya "Dari siapa?"
"Tidak ada alamat pengirimnya"
"Tidak ada?"
Riri mengangguk sebagai jawaban kemudian mengeluarkan amplop cokelat dari saku dalam blazer nya. Arya meletakan sendok ditangan nya dan menerima amplop cokelat itu dengan curiga.
Arya menatap Riri didepannya, memastikan apakah dia mengetahui isi amplop tak bertuan ini atau tidak. Tapi, Riri hanya diam memasang wajah sopan namun Arya bisa melihat sekilas cahaya penasaran pada matanya.
Membuka amplop itu, Arya mengintip isinya. itu adalah beberapa lembar foto, Tapi karena keadaan gelap didalamnya. Dia tidak bisa melihat gambar difoto tersebut.
Arya segera menuangkan isi amplop keatas meja makan. Beberapa lembar foto segera berhamburan keluar memenuhi meja makan.
Brak!
Arya refleks berdiri ketika melihat foto-foto didepanya, menyebabkan kursi yang ia duduki terjatuh kebelakang. Lebih dari sepuluh foto menunjukan gambar yang seharusnya, mungkin tidak pernah ia lihat atau bayangkan dalam hidupnya. Riri disisi lain tertegun melihat foto-foto itu. Melirik sekilas kearah atasanya. persis seperti yang dia bayangkan. Wajah bos nya berubah menjadi merah dan napasnya memburu karena Amarah.
"Tunggu Pak, Mungkin ini hanya jebakan dari rival bisnis untuk melemahkan anda" Riri mencoba menenangkan Atasanya. Tapi, Arya yang dikuasai amarah tidak mendengarnya.
"Panggil Cahya kemari" Arya dengan dingin memberi perintah, Tapi matanya tidak lepas dari foto-foto didepanya.
"Tapi, Pak—"
"AKU BILANG PANGGIL CAHYA KEMARI!!"
Riri terkejut dengan bentakan tiba-tiba atasanya. Menghela napas pasrah, dia hanya mengangguk dan berkata dengan sopan. "Baik, Pak"
Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini. Dia hanya seorang sekretaris rendahan yang tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan pribadi atasan nya. Riri hanya bisa berharap bahwa semua yang ada difoto itu adalah hal yang tidak benar. Riri sangat mengenal Arya setelah bekerja selama lima tahun dibawahnya. dia tahu persis garis bawah Arya yang tidak boleh disentuh adalah putrinya, Cahya.
Lalu, Mereka telah bekerja berlebihan selama satu bulan ini, terutama Arya. Dia bekerja tanpa memedulikan kesehatannya dan sekarang, Foto-foto itu dikirim pada saat dimana Arya bisa mengalami Drop kapan saja. Itulah alasannya, Riri segera menyatakan bahwa foto itu mungkin jebakan dari rival kerja untuk melumpuhkan Arya.
Seperti kata pepatah, Kalahkan pemimpinnya. Maka anak buahnya akan menyerah dengan sendirinya.
Benar atau tidaknya foto itu, kita serahkan kepada Cahya, Pikirnya.
Dirumah keluarga Dwinata.
Cahya baru saja selesai makan siang, tengah rebahan disofa ruang keluarga menonton film kesukaannya. hal inilah yang dia kerjakan selama sebulan ini. Makan, nonton Tv, main hp, tidur, makan lagi, nonton tv lagi, main hp lagi, dan tidur lagi. begitu terus berulang-ulang selama sebulan penuh. Tidak ada kegiatan lain kecuali jalan-jalan di taman belakang rumahnya jika dia bosan.
Saat asik menonton, Pak Budi—supir pribadi Arya— tiba-tiba datang menghampirinya.
"Non Cahya" Pak Budi memanggil pelan majikan kecil yang tengah asik menonton film. mendengar ini, Cahya langsung menoleh. Setelah mengetahui siapa orangnya. Dia menatap penuh tanda tanya pada orang yang berdiri dibelakangnya.
"Loh? Pak Budi? kenapa bapak disini? Apa Papa pulang cepet?"
Jika Papanya pulang lebih cepat, bukankah itu artinya dia akhirnya bisa bertemu Papanya dan jika ada kesempatan dia mungkin bisa bernegosiasi soal hukumannya
Melihat mata berbinar dari majikan kecilnya. Pak Budi buru-buru menggelengkan kepalanya, "Tidak non, Tuan masih di kantornya" jelasnya.
Cahya seketika kehilangan harapan, wajahnya kembali cemberut, "Lalu kenapa Pak Budi pulang, kalo papa belum pulang." Dia Berkata dengan ketus sebelum kembali melanjutkan, "Pak Budi bolos kerja ya?! Makan gaji buta!"
"Ti-tidak Non!" Pak Budi membantah dengan cepat, Tanpa mempedulikan wajah Curiga yang dimiliki majikan kecilnya, Dia kembali berbicara, "Saya disuruh tuan buat jemput Non Cahya ke kantor."
"Ke kantor? Ngapain?"
"Kalo itu sih, saya kurang tau non. maaf"
Cahya bingung dengan situasi tiba-tiba. kenapa Papanya meminta dirinya untuk datang ke kantor? Apa dia akan membebaskan nya dari hukuman? Kalo dipikir-pikir sudah satu bulan dia di karantina di rumah. Jadi wajar jika Papanya mencabut hukumannya, Papanya tidak sekejam itu buat menghukum dia selama tiga bulan penuh, Pikir Cahya.
"Oke! Ayo pergi Pak!"
Cahya berdiri dari sofa dengan semangat. Memikirkan bahwa Papanya mungkin mencabut hukuman karantina nya, membuatnya tersenyum tanpa sadar.
Baru beberapa langkah, Cahya kembali menoleh kearah pria berusia lima puluhan yang berjalan dibelakangnya. "Tapi Pak Budi bener-bener gak bolos kerja kan?" Tanyanya dengan nada curiga.
Mendengar ini Pak Budi hanya bisa tersenyum kecut. Kapan Nona kecil ini berhenti menggodanya?
....
satu jam kemudian Cahya tiba di gedung perkantoran tempat Papanya bekerja. Riri sudah menunggu di pintu masuk gedung. Ekspresi wajah sekretaris Papanya tampak suram. Cahya ingin bertanya alasan dibalik ekspresi itu. Namun segera mendorong keinginannya dan mengikuti Riri dengan tenang.
Segera Mereka tiba dilantai tertinggi gedung perkantoran itu. Cahya sudah sering kemari sejak dia kecil, walaupun tanpa diantar oleh Riri sekalipun, Cahya bisa melangkah sesuka hatinya tanpa takut tersesat. Dia mungkin tetap bisa berjalan walaupun dengan mata tertutup.
Jika biasanya, Setelah tiba dilantai ini, Cahya akan segera berlari menuju kantor Papanya. Namun tidak tau mengapa, seperti ada firasat untuknya agar tidak melakukan hal itu saat ini. Lalu sedari tadi Cahya merasakan hawa yang tak biasa sejak dia naik kelantai ini.
Apa kantor Papa mulai angker?
Cahya bertanya dalam hati, Namun dengan cepat menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran bodoh nya beberapa saat lalu.
Mereka berhenti setelah tiba di ruangan yang memiliki plakat bertuliskan 'Chief Executive Officer' yang tertempel diatas pintunya.
Riri mengetuk ringan pintu didepan nya sambil berkata dengan sopan, melapor. "Pak, Putri Anda sudah datang"
lenggang sejenak sebelum suara monoton terdengar dari balik pintu.
"Masuk"
Cahya yang mendengar ini seketika merasa tubuhnya tiba-tiba bergetar dengan sendirinya. Apa ini? Apa karena tidak bertemu selama sebulan Cahya menjadi takut dengan suara Papanya sendiri? Tapi Papanya bahkan pernah melakukan perjalanan bisnis selama berbulan-bulan dan dia tidak memiliki reaksi seperti saat ini. Lalu kenapa?.
Pikiran Cahya terputus saat mendengar Papanya kembali berbicara ketika pintu baru saja dibuka oleh sekretaris wanita itu.
"Tinggalkan kami berdua, Saya mau berbicara secara pribadi dengan Putriku." Suara Arya sangat dingin, Apalagi pada bagian 'Putriku'.
"Baik Pak" Riri menanggapi dengan sopan dan pergi sambil menutup pintu bersamanya, menyisakan Cahya dan Arya berdua didalam ruangan.
Cahya melihat Papanya yang berdiri diam didepan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan luar dari lantai empat puluh gedung perkantoran ini. Bahkan saat berbicara tadi Arya bahkan tidak menoleh kearahnya.
"Kau tahu Cahya, Papa merasa kecewa sampai-sampai Papa tidak bisa lagi melihat wajah putri Papa, seakan Papa sudah tidak mengenal putri Papa lagi" Arya mulai berbicara setelah lama terdiam, suaranya terdengar sangat kecewa. Tetap tidak menoleh kearah Cahya, Dia kembali berbicara. "Papa akan memaafkanmu jika kau mengaku salah dan mengatakan dengan siapa kau melakukanya."
Cahya tiba-tiba bingung dengan yang dikatakan papanya, dari awal dia tidak mengetahui dimana arah pembicaraan ini. Kecewa apa? Melakukan apa? Lalu siapa yang dimaksud Papanya?.
"Maksud Papa apa? Cahya gak ngerti"
Cahya melontarkan pertanyaannya dengan bingung sambil berjalan mendekat kearah Papanya. Tapi hanya beberapa langkah sebelum langkahnya kembali membeku.
"Jangan mendekat!" Suara Arya sangat dingin, Sebelum kembali berkata, "Jadi kamu tidak mau mengaku?"
"Mengaku apa, Pa? aku bahkan gak ngerti apa yang Papa bicarain"
Setelah Cahya selesai dengan kalimatnya, Arya seketika menoleh dan melemparkan Amploh Cokelat kearahnya, menabrak tubuhnya seketika membuat isi didalam amplop itu berhamburan ke lantai.
"Kamu masih gak mau mengaku setelah ada bukti?" Arya menatap dingin kearah putrinya.
Tanpa memedulikan tatapan dingin yang menggarah kepadanya, Cahya berjongkok untuk mengambil salah satu foto yang berserakan dikakinya. Sesaat kemudian matanya membesar dan tubuhnya bergetar dengan hebat. Bahkan foto yang dia pegang berhasil lolos dari tangannya yang bergetar.
Didalam foto itu, terlihat sepasang sejoli tengah melakukan pose yang intim, tanpa menggunakan busana. Wajah laki-laki itu tampak samar seperti sengaja disembunyikan. Tapi perempuannya seperti sejelas matahari terlihat difoto itu dan itu adalah dirinya! itu adalah Cahya didalam foto itu!
"I-ini.." Suara Cahya bergetar, tidak tahu harus berbicara apa.
"Setelah melihat itu, Apa kau masih bisa menyangkal?" Suara Arya sangat menuntut seperti seorang jaksa yang berhasil memojokkan seorang tersangka.