webnovel

Titik Putih

Kita ini bagaikan titik putih kecil yang menyebar di kanvas hitam. Bergerak perlahan-lahan sampai menemukan titik putih lain, membuat sebuah titik putih besar hingga kanvas hitam itu tertutup sepenuhnya oleh titik putih.

AdhistyA · Horror
Not enough ratings
6 Chs

Tragedi1 Bagian ke-6

Rendra, Bian dan tiga laki-laki lain yang diketahui bernama Fariz, Dimas dan Adit, melihat dari sela kain yang terpasang pada pintu utama lab komputer Fakultas Teknologi Informasi, melihat keadaan disekitar lab. Setelah mereka merasa keadaan sekitar aman, mereka segera membuka pintu dengan tanpa suara sedikitpun dan membiarkan beberapa orang yang mendampingi mereka didepan pintu untuk menutup kembali pintu lab itu.

Mereka menuruni tangga demi tangga dengan sangat hati-hati dan sampailah mereka pada tangga terakhir menuju lantai tiga, Renda menolehkan pandangannya dan menyipitkan sedikit matanya guna mempertajam indera penglihatannya dikeadaan ruangan yang gelap gulita, melihat pilu tubuh tak bernyawa Aris yang masih dalam tempat dan posisi yang sama dari terakhir dia meninggalkan pemuda itu. Tak kuasa menahan rasa bersalahnya, Rendra menghembuskan napas berkali-kali dan menutup matanya sejenak. 'Seharusnya aku dapat menyelamatkannya', pikir Rendra. Bian yang memperhatikan Rendra, menepuk ringan bahu pemuda itu guna untuk menyadarkan Rendra kembali pada dunianya lagi. Rendra tersenyum, yang diketahui oleh Bian itu hanyalah senyum yang dipaksakan.

Mereka segera menuruni tangga lantai tiga, melihat para zombie berkeliaran tanpa arah disekitar area lobi gedung itu. Pelan namun pasti, mereka melangkah dengan hati-hati, mendekap tas yang mereka bawa dengan erat karena tidak ingin jika ta situ sampai mengeluarkan suara yang dapat memancing mahkluk menjijikan itu, karena mereka masih belum mengetahui sampai sekecil apa suara yang dapat didengar oleh zombie-zombie itu. Sampai pada pintu masuk gedung E, mereka menoleh ke kanan dan ke kiri melihat ke arah mana dapat sampai koperasi dengan cepat dan selamat dan tidak menarik perhatian zombie.

Akhirnya mereka memutuskan untuk melewati jalan kecil yang berada dibelakang gedung E, hanya langkah kaki dan suara raungan zombie yang mereka dengar sepanjang perjalanan. Mereka saling berjaga satu sama lain, sesekali memperhatikan keadaan khawatir jika mahkluk itu muncul tiba-tiba dan menerkam mereka.

Mereka menghembuskan napas lega, setelah memperhatikan keadaan sekitar yang sepi, tanpa satu mahklukpun yang berkeliaran melewati jalan yang mereka lalui.

Sampai didekat koperasi, mereka hanya melihat beberapa mahkluk tengah berkeliaran disekitar koperasi, sekitar empat sampai enam zombie disana. Berjalan menuju koperasi dengan hati-hati, Adit membuka pintu dan yang lain berjaga di samping kanan, kiri dan belakang Adit. Adit menoleh ke kanan dan kiri, memastikan jika tempat itu aman dan beruntunglah koperasi kosong tanpa zombie didalamnya.

Tanpa membuang waktu, mereka segera memasukkan apapun yang dapat mereka makan dan minum. Roti, biskuit, jus kotak, minuman kaleng dan semua hal yang ada disana. Rendra terpaku pada satu barang yang Rena minta sebelumnya. 'Apa aku harus mengambilnya?' pikir Rendra sambil menoleh pada kelompok yang sedang sibuk memasukkan semuanya ke dalam tas. Fariz melihat Rendra diam lalu menghampiri Rendra dan tertawa saat melihat Rendra memegang benda sakral para perempuan.

"Ada apa?" tanya Dimas yang melihat Fariz cekikan, Fariz hanya menunjuk pada Rendra. Dimas dan Adit memberikan tampang mesum pada Rendra, wajah Rendra memerah melihat kelakukan ketiga teman yang baru dikenalnya yang menganggapnya sebagai lelaki mesum. Camkan, Rendra bukan lelaki semacam itu, dia tipe lelaki setia, saking setianya banyak wanita yang menyalahgunakan kesetiaannya, membuat Rendra masih betah untuk sendiri.

Bian menghampiri Rendra lalu bertanya "titipan mereka?" Rendra mengangguk mendengar pertanyaan Bian. Mengerti akan hal itu, Bian pun mengambil alih tugas Rendra dan memasukan pembalut-pembalut itu ke dalam tasnya, mayoritas kelompoknya adalah wanita, jadi barang itu sangat mereka perlukan.

SREK SREK SREK

Tawa mereka terhenti ketika terdengar sebuah suara. Mereka langsung memasang sikap waspada dan saling bertatapan satu sama lain. "Kau bilang koperasi kosong?" tanya Dimas dengan nada se-pelan mungkin kepada Adit karena dia yang mengecek koperasi pertama kali.

"Memang kosong-" ucap Adit sambil menoleh kearah meja kasir dan dia tersenyum kecut kepada keempat rekannya.

"-maaf, bagian kasir belum ku cek." Fariz menatap Adit dengan kesal, mereka saling bertatapan untuk menentukan siapa yang akan mengecek asal suara itu, karena tidak ada satupun yang mengajukan diri maka diputuskan mereka semua lah yang akan mengeceknya.

Mereka menghampiri asal suara itu, berjalan pelan dan melihat 'sesuatu' sedang memungut sesuatu yang berserakan dilantai. Adit melihat botol besar berisi air lalu dia menyerahkan botol itu pada Bian. Dosen tampan itu memukul kepala 'sesuatu' itu hingga tidak bergerak lagi.

Rendra mendekat dan memperhatikannya dengan seksama, mengeceknya. "Dia manusia, hem aku tidak yakin dia manusia tapi kupikir dia manusia" ucap Rendra dengan jawaban yang dia ragukan, kondisi gelap membuat mereka sulit membedakan manusia dengan zombie. Bian menaruh botol itu dan merasa bersalah, semoga saja orang itu tidak terluka.

"Bagaimana sekarang pak?" tanya Fariz.

"Kita pindahkan dia dulu lalu tunggu di bangun." Mereka membawa orang itu kepojok ruangan dan menyandarkan tubuhnya, menunggu orang itu sadar dari pingsangnya.

~oo0oo~

Rena, Anin, Diah dan Jessi menuju ke lab 11, lab paling belakang dan pojok. Menutup semua hordeng pada lab itu, beruntunglah Fakultas memasang hordeng pada semua lab. Mereka mencabut beberapa listrik yang tersambung pada komputer, mencoba untuk mengisi lagi daya pada ponsel mereka. Mereka tersenyum saat ponsel mereka menyala sebagai tanda pengisian daya sedang dilakukan.

"Kenapa lift gedung E tidak menyala?" tanya Diah.

"Mungkin sengaja dimatikan, semua lampu digedung E juga mati." Anin berkata sambil menyambungkan charger ke ponsel dan power banknya.

"Setelah kalian selesai. Bantu aku membawa meja ini ke pintu." Jessi menurunkan beberapa komputer dan menaruhnya pada bawah meja didepannya.

"Untuk apa meja-meja itu?" tanya Rena sambil memainkan game yang berada pada ponselnya, hal itu dia lakukan untuk menenangkan dirinya dari semua hal gila yang telah dialaminya. Jika tidak kenal dengan Rena, orang lain mungkin akan berpikir gadis itu tenang dan tidak peduli dengan sekitar, tipe egois yang mementingkan diri sendiri, tapi sebenarnya Rena sangat takut dan panik. Lebih tepatnya Rena lah yang mempunyai sifat panik yang tinggi diantara mereka berempat, jadi dengan bermain game-lah dia dapat berpikir dengan jernih.

"Hanya antisipasi, kalian tahu mereka bisa saja menerobos. Maaf, tapi aku hanya ya kalian tahu diriku, bukan?" ucap Jessi. Rena, Anin dan Diah hanya mengacungkan jempol pada Jessi.

"-Oh Rena. Tadi bicara apa dengan Rendra?" sambung Jessi, Rena menelan ludahnya, tak sangka jika Jessi memperhatikannya tadi. Jessi melihat Rena dengan senyum menggodanya.

"Sepertinya ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama nih," kini bukan hanya Jessi yang menggoda Rena tapi Anin dan Diah juga ikut menggodanya.

"Apa? Aku hanya menyuruhnya untuk mengambil pembalut atau pentilainer. Itu saja." Anin, Diah dan Jessi tertawa saat mendengar hal polos itu terucap dari mulut Rena.

"Kau menyuruhnya mengambil benda itu? Aku jadi ingin lihat ekspresi wajahnya." Anin memegang perutnya yang sakit karena tertawa.

"Kalian dapat tertawa disaat seperti ini?" ucap Anggi yang memasuki lab sebelas. Rena, Anin, Diah dan Jessi menoleh pada Anggi dan menyuruh dia untuk masuk ikut berkumpul bersama mereka.

"Kalian tidak marah padaku untuk yang tadi?" tanya Anggi sambil duduk pada salah satu kursi yang terdapat di lab itu.

"Sudahlah, yang terjadi kan sudah lalu. Jangan dibahas," ucap Jessi dengan bijaknya.

Rena dan Diah memberikan mereka roti dan minum yang mereka beli tadi siang yang belum sempat mereka makan. Anin, Jessi dan Anggi ingin protes namun Rena dan Diah memberikan kode pada mereka bertiga untuk diam, karena dua roti itu tak cukup untuk semua yang berada disana.

~oo0oo~

"Akh," ucap orang itu saat bangun sambil memegang belakang kepalanya dan meringis kesakitan. "Pak, dia sudah sadar." Adit memanggil Bian saat melihat orang itu sudah sadar. Dia masih setengah sadar dan mengingat apa yang terjadi padanya.

Setelah sadar sepenuhnya, orang itu menatap kesal pada mereka yang berada disana, 'bisa-bisanya mereka memukulku', pikirnya. "Apa maksud kalian? Kenapa memu-" sebelum menyelesaikan perkataannya, mulut orang itu dibekap oleh tangan Adit. Ia meronta minta dilepaskan.

Saat melihat orang itu tenang, Bian menanyakan nama orang itu dan pemuda itu mendecih pada pertanyaannya Bian. "Setidaknya bisakah aku mendengar permintaan maaf kalian?" ucap orang itu yang masih tidak terima dengan perlakuan yang sempat mereka lakukan tadi.

"Maaf," ucap mereka bersamaan, orang itu tersenyum puas. "Julian. Namaku Julian Pratama, panggil saja Julian atau Ian, terserah kalian." ucapnya lagi sambil melakukan kegiatannya yang sempat tertunda, memasukan beberapa makanan dan minuman pada tas ranselnya.

"Mau kemana kau? Ayo ikut dengan kami," ajak Bian pada Julian, Julian menoleh dan memikirkan ajakkan Bian.

"Aku harus ke tempat temanku dulu," ucap Julian.

Saat hendak pergi mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekati mereka. Mereka bertatapan satu sama lain dan bertanya dalam kode-kode seperti gerakan mata dan gerakan tangan, bertanya 'Apakah suara mereka terlalu berisik sampai mengundang mahkluk itu kesana?'

Mereka bersembunyi dikolong meja sambil menajamkan pendengaran dan penglihatan mereka. Langkah itu semakin dekat dan semakin tegang pula diri mereka, bersiap melakukan serangan jika makhluk itu tiba atau lari kabur dari makhluk itu. Mereka melihat sepatu makhluk itu. Makhluk itu menundukkan kepalanya dan melihat mereka.