webnovel

Tirai Penghalang

Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.

Ando_Ajo · Realistic
Not enough ratings
223 Chs

Sesuatu yang Mengusik Pikiran

"Pak Abdul?" panggil Amia kemudian. "Pak?"

Pak Abdul yang kala itu baru berganti pakaian di dalam kamarnya sebelum melaksanakan Salat Isya, mendengar panggilan sang majikan. Segera ia melangkah keluar, lalu menuju ke ruangan tengah tersebut.

"Kenapa, Non?" tanya Pak Abdul begitu berada di ruangan tengah.

Amia menggerakkan kepala, isyarat yang mengarahkan pandangan Pak Abdul kepada Jodi.

"Den Jodi mau beli sesuatu di luar?" tebak Pak Abdul pula.

Jodi tersenyum memandang sang supir pribadi, lalu menggeleng. "Enggak kok, Pak. Cuman, motor yang Jodi pakai kan lagi dibenerin di bengkel—"

"Ouh, ya udah," ujar Pak Abdul memotong ucapan Jodi. "Ntar biar saya saja yang ambil dari bengkelnya."

"Bukan," Jodi menggeleng lagi.

"Lhoo?" Pak Abdul mengernyit, sama sekali tidak mengerti. "Terus?"

"Ntar kalau udah jadi," lanjut Jodi pula. "Tuh motor buat Pak Abdul aja."

"Eeh?" sepasang mata laki-laki itu membesar. Pak Abdul alihkan pandangannya pada Amia.

Amia tertawa pelan, geleng-geleng kepala. "Tadinya, saya mau jual saja tuh motor daripada dipakai lagi sama nih anak satu. Berhubung anak sulung Pak Abdul di kampung tidak punya motor, yaa sudah. Buat anak Bapak saja."

"Alhamdulillah…" Pak Abdul mengurut-urut dada dengan berita menggembirakan itu. "Beneran, Non?"

Amia mengangguk, tersenyum. "Yaah, tentu."

"Beneran nih, Den?" tanya Pak Abdul pada Jodi.

"Iya, Pak," Jodi tersenyum lebar. "Daripada dijual, kan lebih baik jadi kenang-kenangan buat anaknya Bapak."

"Alhamdulillah," ujar Pak Abdul lagi. "Makasih ya, Den. Non. Terima kasih sudah sangat baik sama saya."

"Udaah," ujar Amia pula. "Ini berarti rezeki Bapak. Nanti, Bapak minta tanda terima bengkel itu dari Jodi. Ya?"

"Iya, Non."

Tentu saja Pak Abdul merasa sangat senang dan terharu. Motor yang digunakan Jodi itu bukanlah motor jenis metik ataupun motor bebek seperti kebanyakan. Tapi, sebuah motor besar yang harganya saja mungkin tiga atau bahkan lima kali lipat dari sebulan gaji laki-laki itu sendiri.

Dan kemudian, Pak Abdul kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sukar untuk diungkapkan. Salat Isya kali ini, mungkin akan terasa jauh lebih nikmat bagi Pak Abdul.

"Terus," ujar Amia setelah Pak Abdul berlalu dari ruang tengah tersebut. "Kakak sedikit penasaran, apa yang terjadi pada orang yang kamu tabrak itu, Jod?"

"Dia gak mau Jodi tolongin, Kak," ujar Jodi. Lalu tersenyum-senyum mengingat betapa baik sekaligus keras kepalanya laki-laki yang ia tabrak siang tadi itu.

"Malah senyam-senyum sendiri," dengus Amia, cemberut. "Kakak nanyain kamu lhoo!"

"Iya, iya," Jodi tertawa lagi. "Dia juga kayaknya terluka, tapi Jodi bersyukur anak yang ada dalam pangkuannya selamat, gak terluka sedikit pun."

"Hoo, gitu ya?" Amia mengangguk-angguk. "Jadi kamu nabrak bapak-bapak yang lagi bawa anaknya? Kamu itu…"

'Bukan kok, Kak."

"Bukan?" kening mulus sang gadis mengernyit aneh. "Apanya yang bukan?"

"Maksudnya," Jodi tersenyum lagi geleng-geleng kepala. "Bukan bapak sama anak, tapi cowok yang sepantaran Kakak yang lagi bantuin anak SD nyeberang jalan."

"Ouh…" gantian kini Amia yang geleng-geleng kepala. "Terus, apa yang terjadi?"

"Yaa kek yang tadi di mobil Jodi bilangin," jawab sang adik. "Orang-orang pada datang tuh, mau ngegebukin Jodi. Tapi dihalangin ama tuh cowok."

"Baik banget ya?" Amia menatap tak berkedip ke dalam bola mata sang adik. "Ganteng gak sih?"

"Iiiss…" Jodi mendelik sangar pada sang kakak. "Apa-apaan sih, Kak Mia? Aneh!"

Amia tertawa lepas, dan itu terdengar sangar merdu. Kalung emas dengan lionton salib-nya kembali berguncang-guncang di atas dadanya yang lumayan tinggi.

"Enggaklah," ujar Amia kemudian. "Cowok baik sekarang ini sudah langka, Jodi. Jadi, gak ada yang aneh kan?"

"Huu," dengus Jodi pula. "Dasar jomblo!"

Pletak!

"Aouww…" Jodi meringis, keningnya kena dijitak lagi oleh sang kakak.

"Rasain," Amia mengacungkan tinjunya, lalu tersenyum sesadis mungkin, juga tatapan kedua matanya itu. "Berani ngatain kakak sendiri jomblo?"

Jodi tersenyum menahan tawa. "Ampuun, gak deh."

"Terus?" tanya Amia pula, kembali meraih majalah di pangkuannya. "Ganteng gak?"

"Yaa, ganteng gak ganteng sih."

"Apaan sih maksud kamu itu?" sebelah alis Amia terangkat lebih tinggi. "Enggak jelas banget."

"Maksud Jodi," ujar remaja itu kemudian. "Wajahnya gak jelek, gak yang ganteng kek gimana gitu. Tapi ya itu tadi, adem aja lihatinnya."

"Terus?"

"Ya itu tadi," lanjut Jodi pula. "Kelar Jodi ama tuh cowok nganterin anak SD itu ke rumahnya, Jodi sempat nawarin buat nganterin tuh cowok pulang. Tapi dia nolak. Jodi ajak ke rumah sakit, dia juga nolak. Jodi mau gantiin kipas anginnya yang hancur berantakan, dia juga nolak."

"Aneh juga, ya?"

Amia mengangguk-angguk, entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang itu terhadap sosok laki-laki yang diceritakan sang adik.

"Padahal kamu udah nabrak dia, terus menghalangi orang-orang yang mau gebukin kamu, kamu juga udah bikin kipas anginnya hancur. Dan dia gak minta apa pun sebagai ganti? Waah…"

"Itu dia, Kak, baik banget orangnya," timpal Jodi pula. "Padahal tangan kirinya bengkak karena ketabrak setang motor."

"Tangan kiri?" ulang Amia yang tiba-tiba mengingat sesuatu. Sesuatu yang serupa, yang siang tadi ia jumpai. Jodi mengangguk. "Bengkak?" sang adik mengangguk lagi.

"Kakak sebenarnya mikir apaan sih?"

"Gini," ujar Amia. "Kakak tanya nih, tuh cowok pakai baju dan celana model apa, kamu inget gak?"

Meski sedikit bingung, namun Jodi pada akhirnya coba mengingat-ngingat kembali kejadian siang tadi itu.

"Hemm, kayaknya dia pakai kemeja lengan pendek warna abu-abu terang, ada garis-garis putih di sisi kiri. Terus pakai kaus putih oblong di bagian dalam. Celana blue-jeans pudar, sneakers hitam-putih."

"Terus bawa tas punggung yang warnanya udah kusam?"

"Looh…?!" Jodi menatap bingung wajah sang kakak. "Kok Kakak tahu sih?"

Amia mengulum senyum. "Nebak aja sih."

Berarti benar, gumam Amia di dalam hati. Cowok yang tadi siang itu adalah orang yang sama.

"Diih, malah dia bengong," gerutu Jodi pada tingkah sang kakak. "Gak asik aah."

Tapi, Amia menanggapi kekesalan sang adik dengan tawa merdu dari mulutnya itu. Jodi akhirnya makin kesal merasa dicuekin sang kakak.

"Ya udahlah," Jodi pun bangkit dari duduknya. "Jodi ke kamar aja."

"Udah sana," sahut Amia mengulum senyum. "Tidur, istirahat."

Setengah merajuk, Jodi akhirnya meninggalkan sang kakak seorang diri di ruang tengah tersebut.

Awalnya, sepeninggal Jodi, Amia kembali berniat untuk melihat-lihat majalah fashion di tangannya tersebut. Akan tetapi, sebentar saja, majalah itu kembali ia taruh di pangkuannya. Lalu, satu tangan bertopang ke lengan sofa, dan tangan itu pun ia jadikan sebagai penopang kepalanya.

"Jadi dia orangnya, hemm…" gumam Amia seolah berbisik pada diri sendiri.