webnovel

TINTA MERAH (PARANORMAL)

Melangkah tanpa bunyi, mengiris tanpa hati, berkelana tanpa kaki. Hidup Mora seakan terbuntuti oleh seseorang di balik kegelapan yang bersembunyi. *** Berhadapan dengan hantu secara langsung mengejutkan Mora hingga ke ubun-ubun. Entah dendam apa yang sedang dipendam dan darimana kemunculan mereka, hanya menyisakan pertanyaan buntu bagi seorang gadis penyuka komik seram. Berjalannya waktu, Mora semakin menyadari akan keberadaan iblis dan pada akhirnya dianggap gila oleh keluarga. Ia seakan dituntun pada jejak-jejak kasus misteri yang malah membunuh orang-orang terdekatnya. Hingga pertemuannya secara tak terduga dengan seorang pria misterius, membawanya pada penyelidikan berdarah penuh teka-teki tanpa memandang risiko, sampai menemukan jawaban akhir. *** "Hei, kau yakin melakukannya?" "Tidak ada keraguan untuk itu. Bagaimanapun, aku harus melakukannya." "Tidak! Itu berisiko!" "Benar, ini berisiko besar, bahkan bisa dibilang menghadang kematian. Tetapi, sudah tak ada jalan lain lagi. Ingat, percayalah bahwa kita harus mencari jawaban atas hantu ini."

MoonSilver22 · Horror
Not enough ratings
15 Chs

[13 — Menyebarnya Keburukan]

Lampu pijar tampak meremang saat sekumpulan polisi lengkap dengan senjata sedang memboyong tahanan masuk. Tahanan itu bukanlah penjahat biasa. Rupa menawan dan tubuh gemulainya sepertinya tidak cocok untuk menempati ruangan gelap gulita di muka bumi bagi kaum tak berperikemanusiaan.

Cahaya pijar semakin meredup saat Mora terduduk kaku sembari menguatkan ikatan pada celananya. Pakaian berwarna oranye berhias garis-garis hitam itu tidak seperti yang ia bayangkan, ukuran dan lebarnya begitu besar. Menurut pengakuan dari salah satu polisi, memang penjara di dekat area wisata kebun binatang itu menjadi tempat sel orang-orang dewasa. Oh, terlihat menjijikan.

"Apa tidak ada pakaian lebih kecil dari ini?" Mora menggerutu memandangi seorang polisi bermuka muram.

"Kami punya pakaian khusus bayi. Mau pakai itu? Sudahlah, jangan banyak bicara." Jawabnya santai.

Pintu terbuka lebar, memperlihatkan seorang lelaki berpangkat letnan yang berjalan ala kaisar. Tatapan tajamnya berubah lembut ketika gadis cantik menunggu kedatangannya. Ia sedikit berdehem sejenak sesekali menyemprot pewangi. Tangan telunjuknya diarahkan ke depan, kode untuk keluar ruangan bagi beberapa polisi yang menetap di pojok di ruangan itu. Mereka serempak meninggalkan Mora bersama pria itu. Ia kemudian terduduk gagah di atas kursi.

Lengan besarnya mencoba menyentuh Mora tetapi dengan sigap ia menepis. Dari sorot matanya ia mampu mengenali kalau polisi itu berpikiran kotor semenjak masuk ke ruangan observasi.

"Kenalkan, aku Nicholas. Siapa namamu?"

"Mora."

"Baiklah, aku dengar kau tersangka dari kasus pembunuhan Anne yang menghebohkan—bukti rekaman di ponselnya telah memberi tahu kebenarannya. Jadi, kau mengakui?"

Mora menggaruk tengkuknya, "Ya ... kurasa begitu."

"Kenapa ragu-ragu? Kau ingin kabur dari masalah ini?" tanyanya tajam. Seketika Mora menunduk.

"Kau punya rekamannya? Aku ingin lihat. Mungkin kau atau temanmu belum menontonnya keseluruhan." Ucap Mora.

Nicholas beranjak dari duduknya dan mengambil ponsel miliknya di keranjang koran. Mereka bertatapan beberapa detik hingga membuat Mora mual saking jijiknya berdua dengan polisi mesum. Namun, ia masih menyimpan rasa itu diam-diam agar tidak terlalu mencurigakan.

Jari Nicholas menekan tombol play, memperlihatkan seorang gadis berambut pirang dan temannya yang mengenakan pakaian abu-abu. Itu Mora dan Anne. Mereka sedang belajar bersama. Di detik sepuluh menit, Anne meninggalkan Mora. Saat itulah keganjilan mulai merangkak pelan-pelan.

Layar berganti memperlihatkan lorong panjang yang didominasi dinding kayu. Di sana, Mora sedang mencari keberadaan Anne. Semenit kemudian, Mora tampak bergetar setelah keluar dari sebuah kamar dengan tangan berlumuran darah segar. Nicholas menghentikan rekaman pada detik tersebut.

"Para polisi meyakinkan bahwa kau adalah pelaku itu dengan bukti ini," Nicholas berseru dengan nada pelan. Diam-diam tangan jahilnya mencoba meraba lengan Mora.

"Ah, begitu rupanya? Pantas. Putar lagi!"

Kamera berganti ke arah ruang tamu. Seorang gelandangan memasuki rumah, berjalan begitu lambat dengan penggiling daging di tangannya. Sesudah itu, ia memasuki lorong dan terdengar suara wanita melengking keras. Tiba-tiba layar berubah sedikit mengalami penurunan kualitas gambar entah apa sebabnya. Adegan saling berlarian antara hidup dan mati tersuguh sengit. Rekaman kamera berakhir dengan layar hitam dan bunyi benda memantul yang cukup familiar di telinga Mora.

"Sudah puas?" Nicholas bertanya sedikit menghaluskan nadanya.

Mora mengangguk, "Tentu. Tangkap Balt itu! Dia pelaku dari kasus ini. Aku hanya mencoba menyelamatkan diri," katanya risau.

Nicholas terkekeh kecil melihat tingkah konyol Mora yang cukup menggetarkan hatinya sejak tadi. 'Sungguh manis', pikirnya. Tangan kanannya tertopang di dagu seraya memandang Mora intens.

Meski hati dan dada Nicholas dibuat berbunga-bunga karenanya, tetapi Mora tidak merasakan hal itu juga. Ia bak bunga layu yang tidak tersiram selama ratusan abad. Lalu, bagaimana caranya ia bertahan? Bersembunyi di antara celah cabang kayu besar, tepatnya pohon. Entah kapan ada seseorang yang bersedia menjadi pohon untuknya, maka ia akan menerima dengan senang hati. Siapa tahu.

Nicholas membuka kunci borgol di lengan Mora dan mengambil kertas yamg berisi pembebasan pelaku. Seketika Mora senang melihatnya bahwa ia dinyatakan bebas secepat itu.

"Aku akan membiarkanmu lolos dari kasus yang melilit ini bagaikan ular kobra ...." Senyuman tersirat di wajah Mora, ia berhasil memberi kebenaran. Nicholas meraba celananya erat.

"Syaratnya adalah bermalam denganku dahulu. Mau?"

Seketika Mora menjadi muram. Kabar indah yang tadinya terdengar pintu keluar dari masalah—kini terasa runyam. Mulutnya komat-kamit, entah bagaimana mengungkapkan kekesalan seolah ia sedang memilih pilihan buram. Lebih baik menolak daripada harus mendapat kenangan kelam.

"Bagaimana kalau ini?" Mora menyentuh bibirnya sendiri sebagai kode. Otomatis sinyal otak Nicholas menerimanya begitu liar. Lihat, urat-urat tangan lelaki itu kini menyembul keluar seolah siap menghujam Mora hingga ke titik terlemah.

Nicholas memang sudah menunggu itu. Langkah mereka mendekat, semakin dekat, tersisa beberapa petak jarak lagi. Mora meraba lentik mata dan kepala panas milik Nicholas, tampaknya jiwa nafsu sedang menguasai. Senyuman licik menghiasi lekukan bibir Mora.

"Cuih! Rasakan ini pria mesum!"

Tanpa ampun, Mora meludah tepat di kening dan muka sangar polisi itu yang kini mulai menunjukkan kemarahannya. Buru-buru ia segera mengambil kertas yang terlipat di atas meja observasi, tanda ia bebas dari segala tuduhan kasus pembunuhan itu. Sepatu hitamnya meninggalkan Nicholas yang sedang dilanda murka.

Malam telah menyelimuti beberapa jam lalu. Sekiranya tiada serangga bernyanyi di tengah gelapnya jalanan yang sunyi. Rumah-rumah penduduk di batasi oleh bebatuan bata merah yang kini terlihat hitam karena gelap. Bulan sabit tampak malu-malu menampakkan diri antara kabut hitam dan gugusan bintang.

Mora berlari cepat sebelum meninggalkan rombongan bus orkestra. Semestinya di tempat ini masih terdapat taksi-taksi umum berlalu lalang, sayang tidak ada yang terjaga kala malam tiba. Jarak kantor polisi dengan area kebun binatang tidak terlalu jauh, bahkan mengendarai motor hanya butuh semenit—tetapi berjalan dengan telanjang kaki pun terasa bertahun—tahun bagi Mora. Kelelawar iseng mencoba mengajaknya bersandiwara dengan menjatuhkan buah apel busuk. Tidak, justru semakin membuat Mora mengumpat kesal.

Deru mesin membuyarkan lamunan. Mora berlari penuh kemenangan setelah melihat rombongannya terparkir di depan pintu masuk. Ia berdiri sejenak untuk melepas kepenatan setelah lelah berjalan. Tanpa sadar, bus bergerak perlahan dan meninggalkan penumpang malang terakhir yang sedang berdiri beberapa meter jauhnya.

"Berjalan sepuluh purnama, akhirnya berjalan kaki tidak sia-sia! Hei, bisa berhenti dan antar—A ... aku?" Mora tergagap, bus itu tidak ada.

Halusinasi? Tidak! Mana ada setan yang mencoba mengerjainya malam-malam begini. Tak berselang lama, deru motor yang menggelegar terdengar dari arah belakang. Tunggu, apa ada anak-anak muda yang berani mengendarai motor di tengah kemurungan jalan gelap ini?

Mora mengacungkan jempol, menanti kedatangan motor itu bak film-film komedi masa lalu. Ia sedikit terhenyak melihat seorang pria mengenakan seragam hitam dengan setelan kotak-kotak. Cahaya motornya memantul dan menyinari wajah si pengendara dengan kacamata pelindung. Pria itu tersenyum, senyuman mesum yang menjijikan bagi Mora di dunia ini.

"Nicholas! Tolong aku!"

"Hei, nona jalang! Setelah membuat wajahku jelek, beraninya kau langsung meminta pertolongan!"

Mora bersuara lebih lembut, "Ah, kau tidak ingin itu? Uang? Akan aku bayar! Ayo, antar aku untuk mengejar bus itu!"

Godaan wanita memang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nicholas.  Ia tidak akan sungkan menerima tawaran dari para wanita. Hari ini juga begitu. Siapa yang tidak tertarik dengan uang? Nicholas membalasnya dengan tarikan kuat, menggenggam lengan Mora.

"Aku tarik ucapan barusan! Peluk aku dan berangkat!" Nicholas menaikkan kecepatan motornya menjadi lebih tinggi.

Sementara itu, Julia sedang berdiskusi dengan teman-temannya mengenai orkestra. Ricko menyadari kemudian bahwa mereka melupakan Mora.

"Hei, Mora tidak ada disini! Ada yang tahu dia ada dimana?" tanya Ricko cemas.

Julia menginjak lantai bus beberapa kali dan menarik perhatian teman-temannya. Beberapa ada yang memicingkan mata melihat tingkah gadis itu.

"Aku tahu. Dia sedang menjadi penjahat sekarang. Polisi sudah menangkap kebusukan hatinya. Kita ternyata hidup bersama penjahat!" Julia berseru lantang. Sontak, anak-anak terkejut mendengar penuturan itu terlebih Ibu Lizzy yang menemani perjalanan mereka dengan cepat terbangun.

"Kau tidak berbohong, Nak? Benar itu?"

Julia menunjukkan foto yang begitu mencengangkan. Mora terborgol bersama dua orang polisi. Itu semakin menguatkan mereka kalau Mora telah berbuat keji.

Mesin motor membuyarkan diskusi serius itu dengan lengkingan Mora yang terdengar sangat familiar bagi mereka di dalam bus. Supir bus menghentikan kendaraannya dan mempersilahkan Mora untuk naik.

"Nicholas! Terimakasih ya! Ini bayarannya," seru Mora.

"Hei, ini terlalu banyak!" bantah Nicholas cepat.

"Tidak apa. Gunakan itu untuk membeli sebotol bir, haha!" canda Mora. Nicholas tertawa terbahak-bahak, aroma alkohol mengerubungi hidung Mora. Ia bergegas memasuki bus.

"Suatu hari akan aku balas kebaikanmu!" Nicholas berlalu meninggalkan bus dengan suara keras yang memekakkan telinga. Motor hitam nan bandel itu menembus pekatnya malam.

Semua orang di dalam bus itu tidur terlelap. Mora mencari kursi duduknya dan menemukan Julia menghadap jendela. Dengan gugup dan takut, Mora duduk perlahan dan mengamati tasnya. Di sana, terdapat puluhan kertas terlipat yang tertulis kata-kata bernada kebencian.

Isinya sama tidak ada yang berbeda. Sekiranya tertulis:

'Aku benci kau, Penjahat!'