webnovel

Chapter 32 Morning

"Um... Aku agak kurang yakin," Caise menatap dirinya sendiri di kaca, memakai gaun putih pendek yang cantik.

Lalu Leo terlihat mendekat. "Kau sangat cantik," katanya sambil memegang kedua pinggang Caise yang terkejut.

"Mas Leo... Aku tidak terbiasa memakai baju yang terlalu feminin..."

"Tak apa, kau cantik kok. Kalau begitu, bersiap-siaplah sekarang. Kita akan ke bandara untuk kembali ke Jepang," kata Leo sambil berjalan agak jauh, menatap ponselnya.

Namun, Caise terdiam. "Um... Mas Leo... Apa setelah kita ke Jepang, kamu akan sibuk lagi?" Caise menatapnya.

Leo terdiam sebentar. "Ini salahku membawamu ke tempat jauh. Jika aku sibuk, aku pastikan aku akan menyisihkan waktu hanya untukmu," kata Leo.

Caise tersenyum dan mengangguk.

Kemudian, mereka sampai di bandara. Terlihat Caise duduk di bangku dekat jendela. Ia bingung melihat sekitar. "(Kenapa jarak tempat duduknya begitu jauh dan lebar... Apa jangan-jangan ini kelas eksekutif?)" dia bingung melihat sekitar hingga menyadari bahwa dia memang ada di kelas eksekutif. Hal itu membuatnya terkejut, tapi kemudian Leo berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.

"Bagaimana? Apa ini bukan pertama kalinya kau naik pesawat?" tanya Leo.

"Um, aku sudah beberapa kali naik pesawat ketika masih kecil... Jadi mungkin aku tidak ragu, tapi... Ini pertama kalinya aku ada di kelas eksekutif... Apa ini baik-baik saja? Bukankah kita juga bisa di kelas ekonomi? Kudengar kelas eksekutif lebih mahal empat kali lipat," Caise menatap ragu.

Namun, Leo kemudian merangkulnya dan mendekap lembut. Dia mencium kepala Caise dan membisu. Dari sana, Caise tahu bahwa itu adalah isyarat Leo yang mengatakan, "Apapun untukmu, selagi kamu nyaman, aku akan senang..."

Caise menjadi berwajah merah. "(Apakah ini memang benar, benar-benar diperlakukan bak ratu oleh orang yang suka padamu?)"

Sesampainya di Jepang, tak hanya mengantar lewat pesawat, Leo juga mengantar Caise ke apartemen. Dia melakukannya karena Caise harus bersekolah besok, dan sekarang sudah malam.

Setelah sampai di pintu apartemen Caise, Leo memegang tangannya, membuat Caise menoleh tiba-tiba, dan Leo mencium tangannya. "Selamat malam, kita bertemu lagi besok. Jaga dirimu," katanya sambil mengusap pipi Caise.

Namun, Caise tampak berwajah kecewa, membuat Leo bingung. "Caise? Apa kau ingin sesuatu?"

"Mas Leo... Kau mau menginap di sini?" tanya Caise sambil menatapnya, membuat Leo terpaku mendengar tawaran itu. "(Dia... Menawariku?!)" sepertinya pria itu senang.

"Tidak bisa ya...?" Caise menatap memohon, tapi tubuhnya terlihat menggoda, membuat Leo menelan ludah.

"Ya, kebetulan aku tidak ada pekerjaan. Aku juga bisa tidur denganmu," balasnya.

"Apa...? Tidak bisa!! Jangan sampai tidur bareng!" Caise berteriak panik.

"Kenapa, Caise?"

"Aku... Aku... Bagaimana jika kau macam-macam seperti kemarin?!"

"(Sepertinya... Dia trauma...) Ehem... Aku tidak akan macam-macam, Caise. Aku hanya ingin tidur denganmu~" jawab Leo sambil mendekat ke Caise, memeluk pinggangnya yang ramping.

"M... Mas Leo... Ini..." Caise menjadi berwajah merah, lalu Leo menggendongnya, membuat Caise terkejut.

"Ah... Turunkan aku?!"

"Buka pintunya agar kita bisa masuk," kata Leo.

Caise terpaksa melakukannya. Dia mengambil kunci apartemen dan membukanya sambil masih digendong oleh Leo.

Tampak kucing-kucingnya menyambutnya. "Mas Leo, mereka harus aku kasih makan."

"Kasih saja nanti. Sekarang waktunya istirahat..." Leo melewati kucing-kucing itu dengan masih membawa Caise, membuat kucing-kucing itu menatapnya dengan kesal.

Leo meletakkan Caise di ranjang dengan pelan-pelan, lalu mematikan lampu dan melepas kemejanya, membuat Caise terkejut. Kini Leo telanjang dada dengan celana panjangnya, kemudian tidur di samping Caise. "Selamat malam, Caise," katanya sambil menutup mata. Tapi hal itu membuat Caise terdiam bingung.

"(Apa yang... Kenapa dia tidak meminta apapun dariku?)"

Malam yang panjang mulai berlalu. Caise terbangun dan duduk. "(Ukt... Kenapa aku merasa tidak nyaman? Aku takut akan berwajah konyol saat Mas Leo menatapku tidur,)" ia menyalakan lampu tidur di sampingnya dan sekilas melihat wajah Leo yang tertidur.

Caise terdiam, menekan bantal yang dipakai Leo, dan terlihat wajah Leo sangat tampan meskipun saat tidur.

"(Wajah Mas Leo... Kenapa tampan juga saat tidur?)"

Ia terdiam, lalu perlahan keluar dari ranjang, tak sengaja menemukan kemeja Leo di lantai. Ia mengambilnya dan meletakkannya di tempat pemajang kemeja.

Namun, ada sesuatu yang keluar dari kemeja itu. Ia mengambilnya dan ternyata itu adalah foto seorang perempuan cantik yang tersenyum.

"(Ini...)" Caise terdiam kaku melihat foto itu—seorang wanita yang begitu cantik dengan rambut berwarna sama seperti Leo. Caise membalik foto itu, terlihat ada sebuah tulisan.

="Cintaku, jangan cepat-cepat pergi dariku. Aku tidak akan tenang jika kau juga pergi"=

Caise terkejut dan melihat kemeja Leo.

"(I... Ini apa...? Kenapa ada kata seperti ini? Apa Mas Leo memiliki wanita lain?! Tapi bukankah mantannya adalah 'gadis bulan,' tapi kenapa ini tidak mirip gadis bulan... Apa jangan-jangan ada waktu lain lagi?!)" dia menjadi panik sekaligus tak percaya. Seharusnya wajar jika Leo memiliki banyak wanita selain gadis bulan.

"(Apa yang terjadi...? Kenapa...? Kenapa dia...? Apa dia mencoba menjadi lelaki buruk...? Tidak, aku tidak mau seperti ini...)" Caise mengepalkan tangannya dengan kesal.

Namun di tengah itu, kucing-kucingnya mendekat dan mengeong padanya. "Meong..." dengan tatapan lapar.

"Ah, maafkan aku. Untungnya aku terbangun... Aku akan memberikan kalian makan," dia berjalan memberi makan mereka semua dan membersihkan apartemennya yang sudah ditinggal selama 2-3 hari.

Paginya, Leo terbangun dengan meraba ranjang di sampingnya lalu duduk. "(Caise tidak ada... Kemana dia?)" ia melihat sekitar, lalu keluar dari ranjang. Rupanya Caise sedang memasak di dapur.

Apartemen Caise pun juga bersih dari barang-barang yang berantakan, meskipun itu hal wajar jika kucing memberantakan barang-barang.

Leo tersenyum dan berjalan mendekat, lalu memeluk Caise dari belakang.

"Mas Leo?!" Caise terkejut.

"Selamat pagi, Caise. Kau membuat sarapan?"

"Ya..." Caise membalas, ia masih bisa bersikap tenang meskipun sudah tahu tentang wanita di foto itu.

Tiba-tiba ponsel Leo berbunyi, tapi Leo tetap di dekat Caise, dia bahkan mencium leher Caise.

"Ah... Mas Leo, ponsel mu berbunyi..." tatap Caise yang menatap nya.

"Aku tak peduli..." Leo menatap, dia bahkan memegang dagu Caise dan akan mencium bibirnya.

Tapi ponsel itu terus saja mengganggu, membuatnya harus mengangkatnya tak jadi melakukan itu tadi.

"Hah... Apa maksudmu?! Cih, baiklah, aku akan pergi," kata Leo sambil menutup ponselnya.

Ia menoleh ke Caise, yang dari tadi menatapnya dengan khawatir.

"Aku akan kembali lagi, Caise. Sampai jumpa." Leo mencium kening Caise, lalu mengambil kemejanya dan berjalan pergi.

Meskipun begitu, Caise menjadi kecewa karena dia harus pura-pura melakukan ini.

"(Apa yang harus kulakukan?)"

Sementara itu, Noah tampak mencoret-coret banyaknya kertas di meja sofa, dan ruangan itu benar-benar berantakan dengan kertas. Rambutnya kusut, dan dari tadi dia menggigit pulpennya.

Seharusnya wajahnya tampak sabar, tapi tiba-tiba dia berteriak, "Aaaakkkhhh!!! Aku pusing!!"

Saat itu juga, Leo membuka pintu rumah dan terkejut. "Hoi, kenapa berantakan? Kertas apa ini?" Ia kesal sambil mengambil selembar kertas yang ada di bawah.

"Skripsi? Apa ini? Kau sudah di skripsi? Kenapa aku belum?" Leo menatap bingung.

"Itu bukan skripsiku, itu milik kenalanku, angkatan yang sudah lulus. Aku belajar dari materinya karena satu minggu lagi... kita akan mengalami ujian kampus secara besar-besaran," kata Noah.

Leo terdiam dan tersenyum sombong. "Cih, hanya soal hukum, siapa yang tidak bisa..." Dia meremehkan ujian tersebut.

"Oh, kau benar-benar meremehkan. Kudengar jurusan hukum itu memang tidak mudah, karena selain belajar public speaking, mereka dituntut untuk berbicara logika, tak hanya bicara, melainkan memecahkan masalah, berbisnis, dan yang lainnya... Jika sudah lulus, pasti sudah diperebutkan banyak perusahaan. Tapi jika nilaimu buruk, siapa yang akan membayarmu?" kata Noah.

". . . Kau tahu kan, aku kuliah hanya sekedar mencari ijazah, agar aku bisa menunjukkannya pada wanita itu..." kata Leo dengan wajah kesal. Siapa wanita yang dia maksudkan?

"Ye... Yeah... Aku tahu itu. Kalau begitu aku pergi dulu sekarang."

"Hah, mau ke mana?! Kau belum membersihkan tempat ini!" Leo menatap kesal.

"Aku bisa membersihkannya nanti... Aku harus menemui Kazumi untuk memastikan keadaannya baik-baik saja atau tidak," kata Noah.

Tapi Leo berbicara lagi. "Motormu diservis."

Seketika Noah terkejut, tapi ia mencari cara. "Kalau begitu, aku pinjam motormu--"

"Aku sudah jauh-jauh hari menyuruhmu untuk memulangkan motorku yang ada di Persia. Kupikir kau tidak melakukannya," Leo langsung membalas dengan wajah dingin, membuat Noah terkejut memegang kepala. "(Aku lupa... Astaga, motor itu berharga puluhan miliar... Semoga tak ada yang ambil...) Maaf, aku lupa... Kalau begitu, mobilmu," kata Noah.

Tapi Leo menyilangkan tangan. "Bensin habis. Aku sudah jauh-jauh hari memberitahumu bahwa setiap Senin harus diisi bensin. Sekarang oli pun tidak kau ganti," tatapnya.

"(Apa?! Kenapa bisa begitu kebetulan?!!) Akhh... Baiklah... Aku akan melakukannya nanti. Aku naik bus saja..." Dia berjalan pergi dengan rasa kesal.

Hingga akhirnya dia benar-benar menunggu bus di halte pinggir jalan.

Lalu bus berhenti di depannya dan dia masuk, tapi ia terdiam karena tak ada kursi tersisa.

Tapi sopir di depannya bicara. "Tuan, di belakangku masih ada..." Tunjuknya ke belakang.

"Oh, baiklah..." Noah duduk di samping wanita yang menatap ponselnya.

Dia duduk diam di sana hingga pintu bus tertutup dan posisinya duduk di belakang sopir bus. "(Ha... Sabar... Hanya perlu menunggu bus ini sampai di tujuanku,)" pikirnya sambil menghela napas panjang.

Lalu bus berhenti di halte. Ada seorang wanita yang hendak keluar karena bus memang berhenti.

Tapi Noah memegang tangan wanita itu, membuat wanita itu terkejut dan menoleh. "Hei, jangan sentuh!" dia menarik tangannya.

Lalu sopir bus mengatakan, "Nona, tadi ada mobil yang hampir menabrakmu," tatapnya.

Wanita itu menoleh ke pintu. Rupanya, Noah memegang tangannya tadi karena ketika wanita itu hendak keluar, dia pasti tertabrak mobil. Sekarang dia selamat karena Noah.

"Terima kasih, dan maafkan aku," wanita itu menatap Noah yang melepasnya dan kembali fokus ke depan, sama sekali tak menatap pandangan wanita itu membuat Noah terdiam.