webnovel

Chapter 19 Blood Faded

Sementara itu, Caise ada di kelasnya. Ia menatap buku tulisnya di meja, lalu teringat sesuatu. "Oh benar, aku harus memberitahu Mas Leo," ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Leo.

Namun, tiba-tiba penglihatannya menjadi buram. Di ponselnya ada setetes cairan merah. "Apa ini?" ia bingung dan mengusapnya dengan jarinya. Ketika melihat jarinya, ia menyadari itu darah dan melihat sekitarnya.

"Darah?!" ia panik, tapi tiba-tiba ada yang memegang bahunya dari belakang, membuatnya langsung berteriak. "Ah!!" ia menoleh dan ternyata itu hanya Naya.

"Ada apa? Aku memanggilmu dari tadi, tapi kau tidak mendengarkan, jadi aku mendekat," kata Naya.

"Ini... darah," Caise menunjukan jarinya, tapi Naya bingung. "Apa yang kau maksud? Aku tak melihat apapun."

Caise terkejut. Ia lalu melihat jarinya dan menyadari bahwa di jarinya tak ada apapun. "Eh, ini aneh... Kenapa tak ada apa-apa? Aku bersumpah tadi ada darah di layar ponselku," Caise menunjukan ponselnya.

"Apa ini karena pacarmu? Kau berhalusinasi buruk," tanya Naya.

Caise semakin terkejut dan menarik ponselnya. "Mungkin memang benar hanya perasaanku," gumamnya. Dia melakukan itu karena dia khawatir tidak mau berpikir Leo penyebabnya. "(Ini bukan karena Mas Leo kan?)"

Di sisi lain, Leo berada di kamar mandi umum kampus dan mencuci tangannya. Ia lalu melirik dirinya di kaca dekat tempat ia mencuci tangan. Rupanya di bagian dada bajunya ada cipratan merah. Ia juga melihat ponselnya terkena cipratan darah. "(Sialan...)" Leo kesal.

Tiba-tiba, ponselnya menyala karena notifikasi dari Caise membuatnya membuka mata lebar. Ia melihat pesan itu dan membacanya.

== Mas Leo, aku akan mulai bekerja sepulang sekolah. Jika soal penjemputan, aku bisa memberitahumu nanti. ==

Leo terdiam dan membalas, == Ya, baiklah. ==

Setelah itu, ia menyimpan ponselnya di saku dan mengusap dada di bagian yang terkena cipratan darah.

Tiba-tiba, pintu terbuka dan Noah masuk. "Leo... Sialan kau... Kau membuatku harus membersihkan mayat itu sendirian!!" ia menatap kesal.

Namun, Leo tak membalas dan melewatinya begitu saja.

"Leo, ada apa?" Noah masih menatap kesal.

Leo berhenti berjalan dan melirik Noah, lalu berkata, "Katakan saja pada semua orang bahwa aku sudah memiliki Caise. Aku tidak akan melarangmu atau menganggapmu sialan." Lalu Leo berjalan pergi, membuat Noah terdiam.

"(Sialan... Orang itu, selalu saja seenaknya sendiri... Dan sekarang ini akan menjadi kasus. Aku belum menebarkan alkohol di bekas darah tadi, aku harus cepat-cepat sebelum orang datang,)" pikir Noah, lalu langsung bergegas. Sepertinya di sini sudah menjadi rutinitas, bahwa jika Leo membunuh seseorang di sembarang tempat, Noah harus memaksakan dirinya untuk membersihkan bekas pembunuhan tersebut.

Setelah selesai, istirahat pun juga hampir selesai. Banyak mahasiswa maupun mahasiswi masuk ke kelas sambil bercanda, lalu terdiam ketika melihat Noah sedang merangkak membersihkan lantai.

"Haha, hei Noah... Sedang membersihkan lantai, bung?" mereka menatap.

"(Ha... Sialan... Aku terpaksa...)" Noah menghela napas panjang. Dari pandangan mereka, mereka memang melihat Noah membersihkan, tapi satu hal yang mereka tidak tahu, itu bekas dari pembunuhan.

Sepulang kampus, Leo berjalan ke mobilnya. Ketika ia akan membuka pintu mobilnya, ia terdiam dan melirik bagasi. Ia bingung, lalu berjalan mendekat karena mencium bau busuk.

Ia membuka bagasi dan rupanya ada plastik besar sampah, dan isinya bukan sampah, melainkan mayat wanita tadi.

Leo kesal dan langsung menutup kembali bagasinya. Lalu bersiap berteriak, "NOOOOAAAAHHHHHH!!!!"

"Kenapa?" Noah langsung membalas dari jauh, posisinya berdiri menyilangkan tangan, menatap Leo dengan serius.

"Sialan kau... Kau meletakkan barang busuk di sini!!"

"Itu karena salahmu sendiri!! Biarkan aku mengurus identitasnya dan memberitahu keluarganya!! Sementara kau urus mayat itu!!! Ini semua juga salahmu, aku harus melakukan ini..." kata Noah. Ia lalu berjalan pergi, membuat Leo berwajah kesal.

Namun, saat itu juga, ponselnya berbunyi. Ia melihat itu dari direktur Mandara. "Sialan ganda...!" Leo semakin kesal, lalu mengangkat ponselnya.

"Leo... Hahaha... Maaf mengganggu, tapi aku harus memberitahumu bahwa... Aku telah mengetahui sesuatu soal hubunganmu, dan ini akan menjadi kunci untuk menyandera nya," kata Tuan Mandara, membuat Leo terkejut membuka mata lebar.

"Sialan, jika kau melakukan itu, aku tak hanya akan membunuhmu, semuanya akan kubunuh!!!!"

--

"Mohon bantuannya, aku Caise," Caise tampak menundukkan tubuhnya pada seorang lelaki. Mereka berhadapan di luar pintu kaca sebuah kafe, dan ada banyak kucing yang melihat Caise dari balik pintu kaca itu. Rupanya itu kafe kucing.

"Ya, senang bertemu denganmu, Caise. Aku manajer di sini, namaku Sakala. Panggil saja sesuka hatimu, Caise," kata lelaki itu.

Caise mengangguk. "Senang bertemu dengan Anda juga..."

"Baiklah, sebelumnya mohon maaf karena membuatmu salah paham soal jam kerja. Aku sudah memberitahumu kemarin, tapi malah mengubahnya sekarang," kata Sakala.

"Ah, tidak apa-apa... Ini baik-baik saja. Um, sebelumnya boleh aku meminta tolong dijelaskan tentang sistem kerja di tempat ini?" Caise menatap.

"Ya, tentu. Caise bersekolah dari Senin hingga Jumat, bukan? Pulangnya jam 3 semua?"

"Ya, Senin sampai Jumat aku pulang jam 3."

"Baiklah. Soal jam kerja, kamu akan bekerja sambilan dari Senin hingga Jumat juga, tapi Sabtu dan Minggu kamu libur. Kafe mungkin tidak libur, tapi ada staf lain yang menggantikanmu."

"Ah, aku mengerti."

"Soal jam pulang, sebelum jam 6 akan ada staf yang menggantikanmu. Karena kamu masih SMA, aku cari aman saja. Ketika sudah jam 6, ada orang lain yang lebih bisa menjaga dirinya di malam hari. Jadi, kamu bisa pulang sebelum jam 6 sore. Untuk keberangkatan, jam setengah 4 kamu harus sudah ada di kafe ini. Apa kamu mengerti, Caise?"

"Ya, sangat dimengerti. Terima kasih," Caise menundukkan badan.

"Karena kafe ini tidak terlalu ramai, jadi per staf hanya satu orang saja. Jadi, kau akan di sini sendiri. Apa tidak apa-apa?"

"Tentu, ini baik-baik saja untukku."

"Baiklah, untuk mengusir waktu luang, kamu bisa merawat kucing-kucing itu. Kamu suka merawat kucing, bukan?"

"Ya, di tempatku ada kurang lebih 10 ekor."

"10 ekor?! Kamu merawatnya sendiri?"

"Ehehe iya..."

"Kalau begitu, kamu boleh membawa kucingmu ke kafe ini, kecuali jika mereka harus berbaur dengan kucing di kafe. Karena kafe ini hanya punya 4 kucing, dan itu pastinya kekurangan. Kamu boleh membawa kucingmu ke sini, Caise," kata Sakala.

"Ya, aku mengerti. Terima kasih atas pemberitahuannya, Manajer. Aku akan mulai bekerja dengan baik. Jangan khawatir, Manajer, aku tidak akan mengecewakanmu," kata Caise.

"Ya, baiklah. Sebelumnya, boleh aku melakukan tes dulu?"

"Eh, tes? Tapi kenapa? Bukannya aku sudah diterima?"

"Haha, tes soal kucing-kucing di kafe ini... Apakah mereka suka padamu atau takut?"

"Ah, baik," Caise mengangguk. Lalu mereka masuk. Seketika, tiga kucing itu langsung menghampiri Caise.

"Meong," mereka menengadah menatap Caise.

"Wah... Hahaha... Rupanya mereka suka padamu," kata Sakala.

"(Haha, semua kucing memang suka padaku.) Halo," Caise berlutut dan mengelus bulu mereka satu per satu, membuat mereka nyaman.

"Eh, kenapa hanya 3?" Caise bingung.

"Oh, soal itu, yang satu mageran karena tubuhnya," Sakala menunjuk seekor kucing yang sangat besar, kucing gemuk yang sedang tidur di atas meja.

"Wah, imut banget... Aku suka kucing yang besar begini," Caise langsung menghampiri kucing itu.

"Ya, ingat Caise, jika ada waktu luang, kamu bisa menyisir bulu mereka. Jika bulu mereka rontok, bersihkan, tapi jangan dibuang," kata Sakala.

"Ah, aku mengerti. Bulu-bulu itu bisa dijadikan boneka kecil, kan?" Caise menatap.

"Bagaimana kau tahu?"

"Hehe, aku sering menyisir kucing-kucingku dan membuat bentuk lucu dari bulu mereka yang rontok," kata Caise.

"Ah, rupanya Caise sudah profesional menjaga kucing dan tahu segalanya ya. Itulah yang membuatmu disukai kucing, bahkan kucing yang baru dikenali sekalipun," kata Sakala sambil menatap Caise yang tersenyum dan mengangguk.

Di hari pertamanya bekerja, Caise menyisir kucing-kucing itu di karpet. Karena tak ada pelanggan, dia bisa berjalan-jalan melihat tempat itu. "Tempat ini memang seperti kafe kucing yang sangat imut dan manis," gumamnya.

"Meong... Meong..." Kucing-kucing itu menatap Caise.

"Ya, ada apa? Kalian ingin sesuatu?" Caise menatap lembut. Di antara ia bermain dengan kucing-kucing itu, tiba-tiba saja ia berwajah terkejut dan menahan napasnya.

"Ack..." ia menekan dadanya. "(Astaga... Jantungku... Sakit sekali...)" Caise seperti menahan sakit, ia benar-benar sesak dan sulit bernapas.

"Hng... Ini sangat dingin... Kenapa harus sekarang...?" ia meremas dadanya.

Kucing-kucing yang menatapnya menjadi bingung. "Meong... Meow..."

"Cough... Cough... Ha... Ha... Ini baik-baik saja... Ini baik-baik saja... Huf... (Sudah hilang, aku tahu itu hanya sebentar,)" Caise menghela napas panjang.

Tapi ia berwajah kecewa. "(Bagaimana ini bisa terjadi... Aku memang memiliki takdir mimpi, tapi ini juga membawa dampak buruk padaku. Jantungku terkadang tidak nyaman, dadaku sesak, dan aku sulit bernapas... Padahal takdir mimpi itu tidak sering muncul. Akhir-akhir ini hanya memberitahuku soal satu orang saja, yakni Mas Leo... Tapi... Tadi, saat aku tidur dengan Mas Leo secara tidak sengaja, kenapa aku tidak ingat mimpi apa aku semalam? Atau malah aku tidak mimpi? Padahal selama ini, jika aku tidur sendiri, aku selalu bermimpi buruk, dan yang berada di mimpiku hanyalah Mas Leo... Mulai dari dia memukuli orang, sampai membunuh orang... Apakah ini benar? Bahkan sampai sekarang aku belum bisa memperbaiki takdir mimpi itu yang mengatakan hal sesungguhnya padaku. Padahal sudah jelas sifat Mas Leo baik...)" pikir Caise dengan khawatir.

Lalu ada pesan masuk di ponselnya dari Leo.

== Caise, jam berapa aku harus menjemput? Dan di mana tempatmu bekerja?== tanya pesan itu.

Lalu Caise tersenyum dengan wajah merah dan membalas pesan itu. ==Jam setengah enam nanti, Mas Leo bisa menjemputku di tempat yang aku kirimkan nanti.==

==... Oke (^з^)-☆Chu!!==

"(Hehehe, dia membalas dengan sangat manis... Aku bisa membayangkan bagaimana dia mengatakan kalimat terakhir itu, hehe...)" Caise tersenyum-senyum salah tingkah sendiri. Tapi ia menggeleng dan menyadarkan dirinya.

"(Astaga, jangan sampai aku kehilangan kendali lagi... Aku tak mau kehilangan kendali hanya soal ini... Aku ingat ketika aku bersama seseorang, tentu orang itu bukan Mas Leo. Sebelum dia, pastinya pria seperti Mas Leo pernah bermain dengan wanita. Aku tak tahu apakah dia masih bermain dengan wanita lagi atau tidak, tapi Mas Noah memang begitu... Oh, jika dipikir-pikir... Aku sudah lama tidak bertemu Mas Noah. Haruskah aku bertanya pada Mas Leo?)"