webnovel

Chapter 17 Don't Cry

"(Jika dia sabar menunggu, aku yang harusnya menuntut diriku untuk melakukannya duluan...) Baiklah, aku siap," Caise menatap serius, membuat Leo terdiam.

Seketika Caise mendekat dengan menutup mata dan mencium bibir Leo. Tapi karena pengetahuannya yang kurang, dia tidak tahu apa itu ciuman dalam, karena dia tidak membuka mulutnya dan hanya melakukan ciuman singkat saja.

Hal itu membuat Leo bingung. "(Baiklah... Aku paham dengan hal ini. Sepertinya aku harus menghukum diriku sendiri karena memaksamu melakukannya duluan.) Karena kau sudah melakukannya duluan, mari gantian aku yang melakukannya duluan," kata Leo.

"Ta... tapi..." Caise berwajah sangat merah.

"Ingat, Caise, kau harus membuka bibirmu dan biarkan lidahku masuk ke dalam mulutmu," kata Leo. Seketika Caise gemetar mendengar itu.

Leo mendekat dan mencium bibir Caise. "(Apa aku harus membuka bibirku? Mungkin sekarang,)" Caise perlahan membuka bibirnya dan seketika Leo memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya.

Hal itu membuat Caise terkejut dan langsung mendorong Leo, membuat tubuhnya terdorong menjauh. "Cough... cough... maafkan aku... maafkan aku... hiks..." Caise menangis.

Leo terdiam. "Kenapa kau minta maaf?" dia menatap khawatir.

"Hiks... aku tidak bisa... ini benar-benar sangat aneh... maafkan aku... aku tak bisa melakukannya... hiks... kau boleh kecewa padaku, hiks... maafkan aku," Caise malah menangis.

Leo masih terdiam melihatnya menangis sambil mengusap air matanya secara acak-acakan.

Kucing-kucing Caise yang ada di dekat mereka menatap Caise dan melirik Leo, membuat Leo tidak nyaman.

"Caise..." dia menyilakan rambut Caise yang terurai menutupi wajahnya, membuat Caise menatapnya dengan air mata yang masih mengalir.

"Caise, kau mungkin belum sepenuhnya memahami hubungan kita, itu karena kau sama sekali belum bisa mempelajari cinta yang sesungguhnya. Bagaimana membuat pasanganmu nyaman dan bagaimana membuat hubungan itu terus berjalan. Jangan khawatir... kita sama-sama belajar. Inti dari cinta adalah mengajari masing-masing sifat dan kepedulian dari kedua pihak. Jangan khawatir dan kau tak perlu bilang aku kecewa padamu. Aku suka Caise yang seperti ini," kata Leo. Dia menatap dengan sangat tulus, membuat Caise terdiam dan menangis haru.

"Terima kasih... tolong ajari aku lebih banyak," ia menatap.

"Ya, tentu... aku akan melakukannya untukmu, selagi kau benar-benar menerimaku," Leo memeluknya dengan hangat, membuat Caise meletakkan wajahnya di pundak Leo. "(Ini sangat hangat... kenapa pria seperti ini harus dikatakan pembunuh di dalam mimpiku, jika dia sebaik ini, benar-benar sangat baik...)"

Namun, tiba-tiba ponsel Leo berbunyi, membuat suasana terdiam.

"Caise... maafkan aku," tatap Leo.

"Ini baik-baik saja, aku akan turun, Mas Leo bisa menerima panggilannya."

"Untuk apa turun? Aku tak mau mengubah posisi," Leo menahan pinggang Caise untuk tidak bergerak ke mana pun, membuat Caise terdiam kaku.

Leo mengambil ponselnya di saku dan melihat itu dari Direktur Mandara. "(Sialan...)" ia langsung berwajah kesal.

"Mas Leo... apa ini baik-baik saja? Aku bisa mendengar semuanya nanti..." Caise menatap khawatir.

"Haha, kau mendengarnya, tapi apa kau mengerti topik apa yang akan dibahas nanti," kata Leo. Ia bersandar di sofa dengan satu tangan memegang pinggang Caise dan satu tangan lainnya memegang ponsel.

"Leo..." terdengar suara Tuan Mandara.

Caise terdiam mendengar itu. "(Suaranya seperti pria dewasa... apa yang harus aku lakukan selagi Mas Leo menerima panggilan itu?)" Caise menatap dada Leo. Ia lalu mendekat perlahan dan meletakkan kepalanya di dada Leo.

Leo tersenyum kecil dan mengusap punggung Caise. "Ada apa? Bicara saja," Leo membalas panggilan Tuan Mandara tadi.

"Kau yakin tidak mau menerima tawaranku? Aku akan menambah uangnya menjadi empat kali lipat. Barang itu harus aku ambil segera karena sudah terlanjur dikirim."

"Yah, aku juga menuruti perintah dari Direktur Walwes sendiri. Aku hanya akan mengambil barang miliknya, bukan barang milikmu."

"Apa?! Kenapa?! Jalurnya sama, tidak mungkin kau tidak mengambilnya?"

"Aku hanya akan meninggalkannya."

"Leo, ini harus terjadi... ambil barang itu untukku. Setelah ini, kau minta apa pun, akan aku turuti."

"Tetap tidak, aku sudah punya semua," kata Leo, dalam kalimat yang ia katakan itu, ia juga memegang pundak Caise seakan menunjukkan bahwa Caise miliknya.

Caise hanya terdiam, dia nampak memasang wajah mengantuk. "(Daripada mendengarkan perbincangan yang bahkan tidak aku pahami satu katapun, aku benar-benar mengantuk dan ingin tidur. Tidur di dada Mas Leo benar-benar nyaman sekali...)" pikirnya sambil perlahan menutup mata.

"Apa aku perlu mengulanginya? Itu akan ribet untukku," kata Leo, dia mengatakannya sambil mengusap pelan punggung Caise dan itu membuat Caise merasa nyaman.

"Leo... aku terpaksa harus melakukan sesuatu agar kau mau melakukannya."

"Hahaha... lakukan saja... aku tak takut sama sekali," Leo benar-benar meremehkan, lalu Tuan Mandara tersenyum kecil dan sangat licik. "Baiklah, lihat saja nanti."

Lalu panggilan berakhir dan Leo menyimpan ponselnya. Ia terdiam sebentar dan menatap kepala Caise.

"Caise...?" ia mencoba melihat wajah Caise dan rupanya Caise memang tertidur, membuat Leo terdiam.

Tak lama kemudian, Leo meletakkan Caise secara perlahan di tempat tidur. Ketika sudah berhasil meletakkan Caise, dia perlahan akan menarik tangannya, tapi siapa sangka, Caise menarik kerah Leo dalam tidurnya, membuat Leo terkejut tertarik.

Tubuhnya hampir jatuh menimpa Caise, jadi dia menahan tubuhnya sendiri dengan tangannya yang ia tekan di ranjang, sementara kerahnya terus diremas oleh tangan Caise. Di sini, Caise benar-benar pulas tidur, tapi genggamannya kuat.

Leo berpikir bagaimana ia melepas tarikan itu, ia terdiam melihat sekitar. Kamar Caise juga gelap karena ia tidak menyalakan lampu. "Caise..." ia menatap, lalu terdiam dan mendapatkan ide yang tidak akan membuatnya bebas dari tangan Caise itu.

Hari selanjutnya, tepatnya pada pagi hari, Caise terbangun dengan membuka mata dan merasakan sesuatu yang tidak selalu terjadi di pagi hari.

"(Kenapa ranjangku sempit sekali... perasaan aku tidak menambahkan boneka maupun bantal dalam tidur... ini apa?)" Ia meraba sampingnya karena tadi posisinya, kepalanya seperti ada di atas sesuatu dan di sampingnya sangat dekat ada benda keras.

Ia meraba sampai memegang sesuatu seperti perut keras dan kaki seseorang. Ia baru sadar kalau itu orang dan langsung menarik tangannya.

Ia membuka matanya dan seketika melihat bahwa itu Leo yang tertidur terbaring dengan lengannya tadi menjadi bantal untuk Caise.

"E... Aaaa!!!!!" ia langsung berteriak, membuat Leo membuka matanya tiba-tiba dan langsung duduk.

"Ada apa?" ia menoleh, dan di saat itu juga, Caise menampar pipi Leo secara tidak sadar.

"Uakhhh!!" Leo tertampar hingga kepalanya hampir terputar, seketika pipinya membekas tamparan merah.

"Mas Leo mesum!!" teriak Caise, membuat Leo terkaku. Caise langsung keluar dari ranjang dan berlari keluar dari kamar.

"Ah, tunggu, Caise!! Aku bisa jelaskan!!" Leo juga keluar dari ranjang dan berlari mengejar.

"Caise, tunggu!" ia akhirnya menangkap tangan Caise ketika Caise ada di ruang tamu.

"Lepaskan aku!!" Caise mendorongnya, membuat Leo mundur sedikit, dan siapa sangka, kakinya tersandung mangkuk makanan kucing yang jika terinjak sangat sakit.

Leo menginjaknya dan seketika wajahnya menggigit bibir karena sakit tiba-tiba, namun dia masih memegang lengan Caise, membuat Caise tertarik.

"Akh!!" Caise juga ikut terjatuh hingga suara keras datang dari apartemen Caise, membuat tetangga di sebelah mendengarnya.

"Aw...." Caise terbangun, karena ia jatuh di tubuh Leo.

Sialnya bagi Leo, dia jatuh ke belakang dan kepalanya jatuh duluan, sekarang posisinya terlentang di bawah dengan kucing-kucing mendekatinya.

"Hah, Mas Leo!!" Caise terkejut melihat Leo.

Leo terdiam menatap ke atas, tatapannya kosong. Dia ingin marah, tapi ada Caise, jadi dia lebih memilih diam.

"Mas Leo... Katakan sesuatu, kamu tidak gegar otak kan?" Caise menatap panik, bahkan menampar pelan pipi Leo.

Leo masih dengan tatapan kosong sambil mengatakan sesuatu. "Aku rasa aku lumpuh...."

---

"Aku benar-benar minta maaf, hiks... Maafkan aku." Caise menangis di depan Leo yang masih duduk di karpet bawah.

"Ini baik-baik saja, lagipula ini salahku karena tidak memberitahumu yang sebenarnya."

"Tidak, Mas Leo tidak salah... Justru aku yang salah karena tidak mau mendengarkannya, aku benar-benar minta maaf, hiks...."

"Jangan menangis, ini baik-baik saja," Leo membelai kepala Caise.

Caise terdiam dengan air mata yang masih mengalir.

"Tadi malam, kau tertidur di pangkuanku dan aku meletakkanmu di kamarmu, tetapi tanganmu benar-benar menahanku dengan kuat, jadi aku menetap di sini sampai kau benar-benar melepas tanganmu, tapi ketika kau melepasnya, aku juga ikut tertidur," kata Leo.

"(Rupanya begitu, tapi aku tidak percaya aku memegang erat dia,)" Caise terdiam.

Namun, di saat itu juga, ponsel Leo berbunyi. Dia mengambilnya dari saku dan melihat bahwa itu dari Nona Walwes.

"Ck...." ia langsung kesal lalu menoleh ke Caise. "Kalau begitu, aku bisa pergi, Caise? Jam berapa kau ke sekolah?" Leo menatap.

"Um, nanti jam 7, Mas Leo pulang saja, siapa tahu ada yang mencari," kata Caise.

"Yeah, baiklah, sampai jumpa.... Aku akan kembali nanti, love ya...." Leo membelai kepala Caise dan berjalan melewatinya, membuat Caise benar-benar berwajah merah.

Leo berjalan ke mobilnya yang terparkir di depan apartemen. Ketika ia mencari kunci mobil di sakunya, tiba-tiba saja ada yang langsung menyerangnya. Leo menoleh, tetapi terlambat. Orang itu menarik kerah Leo, meremasnya, lalu mendorongnya hingga punggung Leo bertabrakan di pintu mobilnya.

"Egh! Sialan!!" dia menatap kesal.

Rupanya hanya seorang berandalan. "Kau!! Kau berani menantang gengku, terima akibatnya!!" Orang itu berlagak berani pada Leo.

"Bangsat! Jika menyerang itu bilang-bilang!!" teriak Leo, seketika dia memukul perut orang itu hingga ia melepas kerah Leo dan kesakitan.

Tak sampai di sana, Leo menarik kerah orang itu hingga terangkat. "Berani sekali kau!! Menyerangku begitu!! Katakan padaku siapa atasanmu!! Biarkan dia mewakili kematianmu!!" Leo menatap dengan marah, amarahnya tak bisa tertahan.

"Moonhyuk!!! Namanya Moonhyuk!!" ia berteriak.

"Aku copy itu, jika kau berani, bilang padanya sekarang, aku akan menunggu di tempat yang dijanjikan!!" kata Leo. Dia lalu melepaskan orang itu ke bawah dan membenarkan kerah bajunya. "Ini pertama kalinya aku melepas orang seperti kau hanya karena kau akan menyampaikan pesanku pada atasanmu, sial...." lirihnya, lalu ia berjalan masuk ke mobil dan meninggalkan orang itu yang kesal sendiri. "(Sialan.... Aku akan bilang pada atasan!!)"