#Gerbang SSMA Mahakama#
"Aswaaa…!" Jeon meneriaki Aswa yang berada tepat di depan gerbang sekolah. Saat itu Jeon mengenakan kerudung merah kepala ala cerita dongeng.
"Kamu gak pakai cadar atau semacamnya, Wa? Emang Guild Cahaya sudah gak ngejar-ngejar kita lagi?" Tanya Jeon.
Dengan santainya Aswa menjawab, "Ternyata Guild Cahaya itu cemen sista. Mereka sudah minta maaf sama kita-kita. Hehehe…"
*Plookk…!* pukulan Jeon mendarat di kepala Aswa.
"Aseeemm… yang serius donk!" bentak Jeon.
Sambil mengelus bekas pukulan Jeon, Aswa menyinyir, "Ya… ya… ya… Nanti ku jelaskan lebih detail. Pastinya kita bukan prioritas mereka lagi untuk sementara waktu. Jadi…"
Jeon langsung menyela, "Baguslah kalau demikian. Ada yang ingin ku tanyakan perihal buku yang kau berikan padaku."
"Hmm… Kalau tentang buku itu biar kita bahas sepulang sekolah. Pagi ini aku ada jam mengisi pembelajaran di kelas Yanda," ujar Aswa.
"Secepat itu?!!" Jeon kaget. "Memangnya kenapa?" Tanya Aswa dengan wajah muram karena merasa disepelekan Jeon.
"Bukan begitu… Tapi bukankah itu aneh. Kau belum lama masuk sekolah ini. Bahkan tidak mengikuti masa orientasi siswa. Ini aneh, kan?" Jeon tidak bisa menutupi rasa penasarannya.
"Pak Ansep yang mengatakan itu padaku tadi malam. Katanya ini atas permintaan Kepala Sekolah," terang Aswa.
Jeon membuka penutup kepala karena merasa tidak perlu. Setelah membuka penutup kepala, Jeon mengelus dagu sembari berkata, "Atas permintaan Kepala Sekolah? Bukankah ini tambah aneh? Sosok Kepala Sekolah kita saja sangat misterius. Rumornya, tidak pernah ada siswa yang melihatnya."
"Kau jangan khawatir…" Aswa menepuk punggung Jeon dengan halus.
*Booomm…* Jeon membalas tepukan Aswa dengan tepukan yang cukup dahsyat.
"Jangan asal sentuh lawan jenismu!!! Cukup bicara! Jangan sentuh!" bentak Jeon.
Aswa membusungkan dadanya karena merasakan tepukan Jeon sangat menyakitkan. "Anjeeerr… Kasar amat sih… Kau tenang saja. Kata Pak Ansep, Kepala Sekolah adalah pria yang baik. Dia mengawasi tiap siswa tanpa kita ketahui. Itulah hebatnya dia…" ujar Aswa.
"Ya, udah… Maaf kalau aku sudah kasar… tapi jangan diulangi, oke!" Jeon tersenyum sambil berjalan lebih cepat dari Aswa menuju kelasnya sendiri.
........................
#Kelas 10-6#
Aswa berdiri menghadapi siswa-siswa kelas 10-6. Berbeda dengan siswa di kelasnya yang disiplin dalam menaati peraturan sekolah, rata-rata siswa di kelas ini benar-benar urakan. Tidak ada yang memperdulikan Aswa sedikitpun.
Aswa membatin, "Hanya ada tiga siswa yang melakukan ritual sebelum memulai pelajaran. Sisanya hanya kroco yang sok nakal. Siswa di sini sebenarnya tidak sulit untuk diatasi. Ketua Ansep melebih-lebihkan. Tunggu saja selesai ritual, ku beri pelajaran kalian!"
........................
*Teeeeettt…* Bel untuk memulai pelajaran sudah berbunyi.
"Woi… ayo pergi ke kantin! Pagi ini gurunya tidak masuk!"
"Woiyooo…"
"Siapa itu yang duduk di meja guru? Perlu kita beri pelajaran… hahaha…"
"Jangan dihiraukan, anggap saja orang gila… hahaha…"
Kelas begitu berisik. Aswa sebenarnya sangat tenang, tapi saat ini ia pura-pura marah.
*Darrr…* Aswa membanting daun pintu hingga tertutup.
Hampir seluruh siswa menatap tajam ke mata Aswa. Terlebih siswa yang sudah berada dekat dengan pintu.
*Bam..!!* Aswa menendang pinggang seorang siswa di depan pintu hingga terjerembab di meja.
"Asseeeeemmm…" seorang siswa berteriak sambil melayangkan pukulan ke arah Aswa.
*Bam…!!!*
Dengan mudah Aswa menghindar lalu memukul siswa lain yang turut menyerangnya. Siswa-siswa lain bereaksi.
*Bam!!* *Bam!!* *Bam!!* *Bam!!* *Bam!!*
Serangan demi serangan dihindari Aswa. Sebaliknya, ia sangat mudah melakukan serangan balik.
"Aaaagghhh…" beberapa siswa mengerang kesakitan.
Aswa lalu berjalan ke arah sudut dinding dan lalu menarik sebuah tuas. Dengan perlahan salah satu bidang dinding terangkat. Di balik dinding ternyata ada ruangan seluas kelas untuk latihan mini pertarungan.
"Pergi ke ruangan ini kalau kalian masih punya nyali! Aku akan mencium kaki kalian jika kalah! Ayoo…!!! Maju kalian semua…!!!" teriak Aswa.
*Darrr…* pintu tiba-tiba terbuka.
"Ada keributan apa ini?" Tanya Bu Bunga yang tiba-tiba datang dari kelas sebelah.
Wajah Aswa sedikit memerah melihat kecantikan Bu Bunga. Sangat cantik dengan mimik natural saat sedang marah.
"Bu Penuh Pesona Tiada Tara… Saya minta maaf jika sudah mengganggu pelajaran Anda. Saya hanya ingin memberikan sedikit pelajaran kepada siswa yang kurang ajar," jawab Aswa.
Bu Bunga meletakkan kedua tangannya di pinggang sambil melotot ke arah Aswa. "Apa hakmu melakukan hal itu? Kau bukan guru! Lagi pula ini mimbar akademik, bukan arena pertarungan!"
"Sekali lagi saya minta maaf, Bu Cantik… Saya tidak akan mengulanginya lagi…" ujar Aswa.
Sebenarnya Aswa paham peraturan sekolah membolehkan guru memberikan pukulan kepada siswa yang kurang ajar. Oleh karena itu setiap kelas difasilitasi dengan ruangan bertarung bagi siapa saja yang sedang bersitegang dan ingin menyelesaikannya melalui pertarungan.
*Bleeesss…*
Tiba-tiba sebelas siswa menyerang Aswa dengan tenaga dalam. Aswa pun terlempar ke ruangan latihan. Tidak ada yang ditakuti siswa-siswa ini dari Aswa. Bahkan mereka tidak menaruh hormat pada Bu Bunga.
"Habisi diaaaa…!!!" teriak seorang siswa yang mengeluarkan segenap tenaganya untuk menghajar Aswa. Begitu pula siswa-siswa lain.
Pertarungan sebelas melawan satu tidak terhindarkan. Bu Bunga hanya bisa menggelengkan kepala. "Anak-anak ini memang kurang ajar. Sulit untuk diatasi… Aku sendiri tiada harganya di mata mereka," ujar Bu Bunga dalam hati.
*Bam!!* *Bam!!* *Bam!!* *Bam!!* *Bam!!* *Bam!!*
Satu per satu siswa yang menyerang dapat diatasi Aswa dengan mudah. Bahkan tanpa tenaga dalam.
Setelah beberapa lama pertarungan berakhir juga. Tidak ada satupun dari siswa-siswa tersebut sanggup melawan Aswa lagi.
Aswa menunjuk salah seorang siswa dan berucap, "Kau..! Bukan seperti itu caranya menggunakan tenaga dalam. Dengan siswa lebih lemah kau mungkin bisa menang, tapi jangan harap kau bisa menang menghadapi siswa dari sekolah lain. Kalau kau ingin jadi orang jahat, kau harus sangat kuat. Karena penjahat pasti memiliki banyak musuh."
Siswa yang diceramahi Aswa tertunduk malu. Apa yang dikatakan Aswa ia akui benar adanya.
"dan Kau..!" Aswa menunjuk seorang siswa perempuan. "Kok, Aku?" kilah siswa tersebut. "Iya, Kau! Potensimu bagus. Tapi kau malas berlatih. Mungkin kau terlalu membawa perasaan hingga tidak bisa maju untuk menjadi lebih baik lagi," tambah Aswa.
Siswa ini pun malu dengan Aswa. "Apakah orang ini bisa membaca pikiran? Kok dia bisa tau kalau aku kesulitan mengembangkan potensi gara-gara gebetanku pacaran dengan orang lain?" pikirnya.
Aswa lalu berorasi. Menatap wajah-wajah siswa yang tidak berani mengangkat kepalanya karena sudah malu dengan kekalahannya. "Kita sama-sama siswa di sini. Tidak ada perbedaan di antara kita. Aku sama seperti kalian ingin menimba ilmu di sini. Hanya karena aku ditunjuk untuk mengisi pembelajaran di kelas, maka aku seratus persen akan memberikan yang terbaik dari diriku.
Sebenarnya Aku juga tidak ada niat menjadi guru saat mendaftar di sekolah ini. Kepala Sekolah lah yang memilihku. Kalau saja aku tidak kesulitan ekonomi, aku akan menolaknya. Jadi… mari kita berteman. Bersama-sama mengembangkan kekuatan untuk menghadapi musuh kita nantinya. Bahkan jika musuh kita itu adalah teman kita saat ini. Manfaatkan waktu untuk menggapai hasrat yang terpendam di dalam diri kita…" tutup Aswa.
Setelah sejenak suasana menjadi hening, para siswa saling menatap satu sama lain.
"Teman-teman… mari kita kembali ke tempat duduk kita…" ajak Aswa.
Siswa-siswa yang terkena pukulan Aswa dengan patuh berjalan menuju tempat duduknya masing-masing. Rasa sakit masih mereka rasakan di bagian tubuh yang tidak fatal jika terkena serangan. Sebagian yang lain merapikan kelas yang cukup berhamburan.
Selama periode Aswa memberikan pelajaran kepada siswa kelas 10-6, Bu Bunga terus memperhatikan situasi yang terjadi. "Aswa ini… Dia bukan remaja sembarangan. Pidatonya tadi seperti pedang tertajam yang pernah ada. Sangat disayangkan jika dia benar-benar beridiologi iblis. Potensinya sangat bagus untuk bangsa ini," pikir Bu Bunga.
Sadar telah mendapat perhatian dari Bu Bunga, Aswa memasang wajah kucing seraya berkata, "Bu Jelita… Maafkan saya lagi karena tidak bisa menahan diri. Memang saya tidak pantas…"
Bu Bunga langsung memotong perkataan Aswa, "Selama siswa-siswa di sini tidak mempermasalahkan. Aku anggap kejadian barusan tidak pernah terjadi." Bu Bunga segera berbalik badan dan kembali ke kelasnya.
"Aduhaaaiii… Amboy… anggunnya nih bidadari…" Aswa terbuai dengan keindahan Bu Bunga hingga tak sadar seluruh kelas memperhatikannya. Hanya saja karena kalah dari Aswa mereka tidak berani melakukan serangan susulan.
......................
Tanpa meminta maaf Aswa memulai pembelajaran dengan sebuah harapan, "sebagaimana yang Aku janjikan, Aku akan membantu teman-teman menyentuh teknik seni bela diri tingkat tinggi. Itu benar-benar memungkinkan. Seperti yang teman-teman telah lihat, dengan tingkat ranah pikiran rendah Aku masih bisa unggul. Bahkan saat kalah jumlah dengan teman-teman sekalian. Itulah pentingnya memiliki ilmu pengetahuan umum. Tidak akan ada yang Aku rahasiakan. Ini demi kemajuan ilmu pengetahuan kita. Aku meyakini, ilmu yang dibagikan bukan menjadi berkurang. Sebaliknya, ilmu itu akan bertambah. Dan Aku juga meyakini, siapapun yang mengulang-ulang pelajaran dari suatu ilmu, dia akan mendapatkan ilmu yang belum pernah ia pelajari."
"Seberapa penting ilmu pengetahuan umum?" salah seorang siswa menyeletuk.
"Ya, bisa diulang?" Aswa merespon pendek.
Siswa yang menyeletuk terdiam. Kebiasaannya itu ia sadari sebagai sebuah kesalahan untuk saat ini.
Siswa disebelahnya menyenggolnya dengan siku. "Pengetahuan umum tidak sebanding dengan pengetahuan spiritual…!" merasa kaget siswa tersebut keceplosan. "Apa yang kau lakukan?!! Tuh kan aku keceplosan!!!!"
Melihat siswa itu memarahi teman di sebelahnya, Aswa tersenyum. "Pengetahuan spiritual memang sangat penting untuk ledakan tenaga dalam. Tapi, sehebat apapun tenaga dalam, tanpa teknik yang tepat tidaklah efektif dan efisien. Tidak heran lulusan sekolah kita kalah bersaing dengan lulusan dari daerah lain," terang Aswa.
Segelintir siswa mengangguk. Mereka mulai paham pangkal kekalahan mereka dari Aswa. Sebagian yang lain menolak untuk paham. Ini salah satu kegagalan dalam berkomunikasi.
"Aku ambil contoh," lanjut Aswa. "Sosiologi. Ilmu tentang berkawan. Banyak orang yang menganggap ini ilmu sampah. Tapi dengan sosiologi, Aku bisa memahami karakteristik kalian dan dengan cepat belajar gaya bertarung teman-teman sekalian. Teman-teman mengalami latah saat satu orang berkata 'serang'. Dengan reflek mereka yang latah ikut menyerang. Aku akan mewaspadai penyerang yang berada di dekatku dan menyerang penyerang yang latah. Mereka yang latah sebenarnya tidak seratus persen mampu mengeluarkan kemampuannya. Aku tinggal membereskan mereka yang mendekatiku dan sesekali mencoba menyerang orang yang sedang menunggu kesempatan memukulku. Akhirnya Aku menang tanpa menggunakan tenaga dalam."
Mereka yang menolak Aswa mulai menyadari kebenaran perkataan Aswa. "Bagaimana dengan ilmu matematika?" seorang gadis memberanikan diri bertanya kepada Aswa.
"Oh… Matematika sangat penting bagi kita untuk memperhitungkan jumlah lawanmu. Anggap saja kita sendirian hanya bisa menghadapi dua lawan. Karena kita tidak tau perbedaan dua dengan tiga, kita menghadapi tiga lawan. Maka matilah kita. Hehehe…" jawab Aswa cengengesan.
Sebagian siswa tersenyum dengan jawaban Aswa, sedangkan si gadis cemberut karena tidak puas dengan jawaban Aswa.
"Hehehe… cuman bercanda. Tapi memang dalam kajian Matematika banyak konsep yang dapat kita terapkan dalam mengimprovisasi serangan. Seperti konsep Trigonometri, fungsi integral, deret hitung, dan ya… masih banyak konsep lainnya, sih…" lanjut Aswa.
"Kalau ilmu percintaan bagaimana, Bosku? Ada kegunaannya, gak?" seorang siswa yang duduk paling belakang ikut bertanya. Pertanyaan ini menimbulkan gelak tawa dari siswa lain.
"Weisss… jangan heran! Dalam pertarungan ilmu percintaan bisa membalikkan keadaan. Misalnya nih…" Aswa terus menjelaskan hingga siswa-siswa ini larut dalam suasana pembelajaran yang harmonis. Walaupun sebagian masih tidak mau menerima kekalahan dari Aswa.
..............................….
*Teeeettt…* bel sekolah meraung panjang. Tanda berakhirnya jam pelajaran pertama.
Beberapa menit setelah bel berbunyi, Aswa berupaya menghentikan pembelajaran. Antusiasme siswa untuk menggali informasi dari Aswa memang cukup tinggi saat itu.
Sesosok orang dengan mode hampa bergumam di dalam hati, "Anak ini… Mendorong kemauan tanpa menakuti… Dia mengajak, bukan mengancam… Menambah wawasan, tapi tidak menggurui… Untaian katanya tulus, wujud cinta pada pengetahuan… Berlaku keras agar tidak diinjak-injak… Di depan memberi teladan… di belakang memberikan motivasi… di tengah membangun kemauan…"
Dengan kecerdasannya, Aswa sudah memprediksi kalau ada sosok yang akan mengawasi setiap guru mengajar. Hanya saja, sayangnya ia tidak dapat merasakan kehadiran sosok tersebut.
...............................
Aswa berjalan menuju kelasnya. Tugas pertama memberikan pembelajaran sudah ia lewati. Semua sudah seperti yang ia inginkan. Bonusnya, ia mendapat perhatian dari Bu Bunga. Salah satu wanita idamannya.
"Yanda kok gak masuk sekolah, ya?" pikir Aswa. Kelas yang baru saja ia isi adalah kelas Yanda. Namun Yanda tidak ada keterangan hadir.
"Wa…!" tegur Jeon.
"Hmm… Ada apa?" balas Aswa.
Jeon lalu menjambak rambut Aswa. "Kamu jangan sok gak peduli begitu! Kamu tau kan Yanda tidak masuk hari ini? Beberapa kali ku telepon gak diangkat," ujar Jeon.
Aswa menggenggam tangan Jeon sambil meringis, "Aduh.. duh… duh… Ya… bentar ku chat Neng Mawar…"
Jeon langsung melepaskan tangannya dari tangan Aswa. "Idiihh… Malasnya dipegang sama si mesum ini… Jangan chat! Telepon aja langsung…" ujar Jeon dengan nada jijik.
"Iya nih dah ku telepon…"
"Halo, Neng… Ada Yanda gak di situ?"
"..."
"Bagaimana?" Tanya Jeon yang sudah khawatir dengan Yanda.
Aswa menjawab, "Santai aja keles… Ini masih dicek sama Neng Mawar. Yanda sudah besar, buat apa kau cemaskan?"
"Yanda sering bertengkar dengan Ibunya. Ras Neofelis sangat keras sama anaknya. Kalau Yanda dibunuh bagaimana? Tadi malam dia ku chat… tapi sampai sekarang tidak dibalas," terang Jeon.
"Oh… Pulang sekolah kami langsung ke situ… dah…"
"Bagaimana?" Tanya Jeon kembali.
"Yanda lagi bolos di rumah pohon. Ia lagi latihan sama Neo. Yuk ke kantin! Kamu bayarin, ya…" ujar Aswa.
*Plokk…!!!* lagi-lagi Jeon meninju kepala Aswa.
"Seenaknya kau, ya!!! Bukannya kau sudah jadi guru?" bentak Jeon.
"Kalau kau sering pukul kepalaku, lama-lama aku bisa jadi bego, Jeon!" ringis Aswa.
Jeon lalu berteriak, "Kau kan memang sudah bego. Kalau kau pintar mana mungkin kau memprovokasiku!"
*Plokk…!!!* satu lagi pukulan dari Jeon.
"Itu bonus buatmu… Ayo ke kantin…" ujar Jeon.
Berulang kali dipukul Jeon, Aswa masih bisa bersuara, "Oke… Aku yang bego menurut ajaaa… lumayan ditraktir…"
"Mau dipukul lagi?" ancam Jeon.
"Heh…" kali ini Aswa hanya bisa menggeleng…
***