webnovel

Thorn Of Rose

Rose Miller memiliki kekayaan yang selalu menjadi objek kecemburuan orang-orang, tapi tidak banyak yang tahu bahwa dia menderita penyakit mematikan yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya. Namun terlepas dari itu, karakternya tidak pernah selemah kondisi tubuhnya. Dia kejam dan arrogan layaknya duri mawar yang dapat melukai siapa pun yang berani memetiknya. Ketika Rose menyadari ajalnya yang semakin dekat, dia dengan nekat menggunakan kedudukan dan hartanya untuk menjebak Dion Austin, pria yang dia cintai sejak kecil untuk menikah dengannya meski dia tahu bahwa pria itu memiliki seorang kekasih yang sangat pria itu cintai. Namun, tanpa Rose sadari, dirinya yang dia pikir tidak pernah dicintai siapa pun, memiliki dua pengagum rahasia yang selalu mencintainya sepenuh hati. Yakni Theodore Lee, Sahabat tampannya yang ceria dan Adam Delvin, dokter pribadinya yang menawan. Penasaran dengan kisahnya? Check it out.

May_HanMing · Urban
Not enough ratings
4 Chs

Bab 1. Pengantin Kesepian (Bagian 1)

"Apa kau senang?"

Semilir angin menggerakkan dedaunan, menebarkan bau lezat makanan di pesta itu yang saat ini sedang disantap orang-orang.

Pesta pernikahan yang baru saja berlangsung kini mencapai akhir resepsi sedangkan dua mempelainya sedang berdiri di lantai atas villa, menatap tamu-tamu yang berlalu lalang di bawah melalui kaca jendela.

"Tentu saja aku senang." Rose tersenyum lebar dan menoleh pada pria yang baru saja sah menjadi suaminya. "Kita baru saja mengucap janji suci, bukankah wajar untuk bahagia?"

Dion menoleh, menatap wanita bergaun putih gading disisinya tanpa senyuman di wajahnya. "Kau sebut ini janji suci? Bagiku ini hanyalah perjanjian, Aku tidak akan pernah mengakui kebenaran janjiku di atas altar, tidak untuk wanita sepertimu!"

Suara Dion menggema di seluruh ballroom yang kosong, ruangan yang seharusnya menjadi panggung tarian indah sepasang pengantin itu sama sekali tidak pernah di gunakan hingga acara pernikahan selesai karena dia, Dion sang mempelai pria bersikeras agar pernikahan di singkat hanya sebatas janji suci lalu selesai.

Hanya itu.

"Rose, apa menurutmu kau bisa membeli semuanya dengan uang? apa kau pikir dengan uangmu kau bisa seenaknya melakukan apa pun yang kau mau?"

"Apa kau masih perlu bertanya?" Rose memainkan buket pengantin di tangannya. "Bukankah kau di sini sekarang? Menikah denganku." Dia tertawa pelan "Karena uang."

Dion mendengus. "Kau memang menikahiku karena uangmu namun aku peringatkan, pernikahan ini bukan berarti aku akan menjadi milikmu, aku tidak sudi!" Pria itu kemudian memungut jas yang tadinya dia letakkan di sofa. "Selamat tinggal, nikmati resepsimu sepuasnya."

Rose mengikuti punggung pria itu dengan tatapannya. "Kau mau kemana?" tanyanya.

"Tentu saja bertemu dengan gadis yang aku cintai untuk membersihkan semua kenangan buruk yang ada di sini." Dion menjawab tanpa menoleh.

"Baiklah." Rose mengangguk santai. "Aku akan mengirimkan alamat rumah baru kita, jangan lupa untuk pulang ...

Baamm...

Sebelum Rose menyelesaikan ucapannya, Dion telah membanting pintu dengan sangat keras.

Rose tertawa pelan. "Malam ini adalah malam pertama kita dan sepasang suami-istri baru harusnya bersama," ucapannya menggema di ruangan kosong tanpa balasan.

Ruangan itu sangat besar, memuat hingga ratusan orang. Rose, pengantin wanita yang bahkan masih mengenakan pakaian pengantinnya berdiri di sana sendirian. Terlihat begitu kecil di dalam ruangan besar itu.

Drrtt

Rose menoleh dan menemukan ponselnya yang terletak di sofa bergetar, nama yang tertera di layarnya hanyalah huruf A besar.

Rose menatapnya tanpa berkedip namun bergeming untuk mengangkat mau pun mendekati ponselnya, hanya menunggu beberapa waktu hingga layar ponselnya kembali menjadi gelap.

Seperti dugaannya, alih-alih menelpon untuk kedua kalinya, Ayahnya yang baru saja menelpon hanya meninggalkan pesan singkat.

'Aku harus pulang lebih dulu, Romi agak rewel jika tidak makan denganku.'

Hanya itu dan pria yang seharusnya menjadi wali paling berbahagia itu pergi begitu saja. Tidak menyapa atau pun memberikan pelukan untuk putrinya yang baru saja membuat lembaran baru.

Alih-alih marah, Rose hanya menampilkan senyum tipis lalu kembali berdiri menghadap jendela berkaca besar, menatap kembali ke bawah, di mana kini tamu-tamu undangan mulai pergi satu persatu karena keabsenan tuan rumah yang bahkan tidak menyapa mereka sebelum pulang. Namun, meski diperlalukan seperti itu, tak ada sedikit pun raut kesal di wajah mereka.

Kenapa?

Karena sejak awal, mereka datang bukan hanya sekedar untuk menghadiri pesta, namun juga untuk meraup pundi-pundi rupiah. Mereka bukanlah tamu undangan dari kedua mempelai tapi hanyalah tamu bayaran yang disewa agar pernikahan ini tidak menjadi kosong.

Sebenarnya, seperti apa hari pernikahan itu? Jika ada yang bertanya maka 99 dari 100 orang akan menjawab, hari bahagia di mana sepasang kekasih mengabdikan diri untuk satu sama lain pada pasangan mereka, berjanji untuk saling menyayangi satu sama lain dalam suka maupun duka dan blablabla namun Rose akan menjawab bahwa hari pernikahan adalah hari di mana dia menjebak seorang teman hidup untuk menemaninya hingga ajal menjemput.

Terlalu dingin? Tak berperasaan? tapi seperti itulah kebenarannya. Namun bukan berarti Rose tidak memiliki cinta, justru karena cintalah dia menjebak Dion dalam bahtera rumah tangga meski tau bahwa pria itu mencintai wanita lain.

Dia mencintai pria itu tanpa mengingat kapan dia memulai perasaannya. bermain dengan pria itu sejak kecil, menghargainya sepenuh hati dan menatap punggungnya hingga tumbuh dewasa namun hanya bisa tersenyum ketika melihatnya memeluk wanita lain.

Rose tidak pernah menganggap dirinya lemah, namun dalam kisah cintanya dia tidak bisa melakukan apa pun, hanya karena dia kekurangan satu hal yang paling berharga untuk memperjuangkan cintanya. Yakni Waktu, dia kekurangan banyak waktu yang bisa dia gunakan untuk mengejar dan bersaing secara adil dengan gadis lain.

Jadi Rose mulai berfikir mengapa tidak menjebak pria itu saja dalam pernikahan palsu? Toh ini tidak akan berlangsung lama, capat atau lambat Dion akan segera terbebas. Rose hanya ingin memilikinya tidak lebih dari dua tahun, dan waktu ini bisa memendek kapan saja.

Dan seolah menjawab keinginanya, kesempatan itu datang ketika usaha keluarga Dion mengalami kendala dan memerlukan suntikan dana besar untuk membuatnya bertahan.

Rasanya masih segar diingatan Rose, bagaimana ayah Dion datang dengan wajah kuyu dan meminta bantuan padanya.

"Aku akan memberimu dana sebanyak yang kau perlukan tanpa perlu membayar kembali tapi aku ingin putra bungsumu menikah denganku." Rose menyilangkan kaki dan menjawab semua ratapan panjang pria paruh baya itu dengan beberapa patah kata di atas dan pernikahannya dengan Dion langsung dijadwalkan minggu itu juga.

Pada hari yang sama, Dion juga datang di tengah malam, mengamuk dan merusak beberapa barang sebelum berdiri dengan tatapan amarah di ruang tamu kediaman Rose.

"Apa masalahmu?! Mengapa menikah denganku? Kau tahu aku memiliki tunangan!" Malam itu sedang hujan, dan Dion yang basah kuyup membasahi lantai keramik tanpa perduli.

Rose yang masih mengenakan gaun tidurnya bersandar pada aquarium besar yang memantulkan cahaya ke wajah ayu nya. "Aku tahu. Tapi bukankah kalian tidak akan merencanakan pernikahan hingga lulus kuliah?"

"Lalu apakah hal itu lantas memberimu keberanian untuk datang dan memporak-porandakan hubunganku?" Dion berteriak marah.

"Apakah aku memintamu putus dengan Laura?" Rose menatap Dion seolah melihat orang bodoh. "Aku hanya ingin menikah, bukan memintamu mencintaiku."

"Apa perbedaannya?"

"Tentu saja berbeda, menikah hanya menikah. Kau tidak perlu putus dengan Laura mau pun mencintaiku. Kau cukup menjadi suamiku selama dua tahun perjanjian kita. Apakah sulit?"

Dion mengeryit tidak mengerti. "Apa kau pikir menikah itu seperti bermain rumah-rumahan?"

Rose tertawa pelan lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana, berhadap langsung dengan Dion yang masih berdiri menunggu penjelasannya."Jangan terlalu percaya diri, aku hanya memerlukanmu sebagai suami selama dua tahun." Rose mengeluarkan beberapa lembar kertas dari bawah meja. "Aku hanya punya dua persyaratan, menikah dan serumah. Sisanya kau bisa menulis apa pun yang kau inginkan." Dia meletakkan kertas itu di meja.

Dion diam, masih sulit mencerna apa yang teman masa kecilnya itu katakan.

Rose menyilangkan kaki dan menopang dagu. "Ingatlah Dion, masa depan keluargamu sedang di pertaruhkan pada pilihanmu."

Masih dengan kerutan di dahinya, Dion berjalan mendekat dan melihat berkas di meja, dengan tangan yang masih sedikit basah, dia membuka setiap lembarannya dan menemukan setiap perkataan Rose benar dan bahkan wanita itu telah membubuhkan tanda tangannya di sana.

"Untuk apa kau melakukan semua ini?"

Rose berdiri dan merenggangkan otot-otot lengannya sembari menguap. "Karena aku bosan dan berfikir bahwa bermain rumah-rumahan denganmu akan menyenangkan." Dia mengedipkan sebelah mata.

Dion mendengus, menyesali pertanyaan sia-sianya. "Otakmu pasti sakit." ujarnya sarkastik. Masih dengan berkas di tangannya, dia berbalik dan pergi begitu saja, bahkan tidak repot untuk menutup pintu.

"Otakku masih sangat sehat." Rose berbisik dan menatap pantulan wajahnya pada kaca meja yang bening. Wajahnya masih terlihat sehat, tanpa cekungan mau pun tirus yang seharusnya di miliki orang pesakitan. Namun, Rose tahu bahwa di dalam, dia hanyalah sebongkah daging yang sebentar lagi akan kehilangan jiwanya.

Dia sedang sekarat.

Bersambung...