webnovel

They All Said

Sekelompok remaja yang bersekolah di sekolah yang isinya murid-murid yang memiliki kekuatan. Bertinggal di sebuah negara bernama Nusantara. Kalian bisa menemukan individu-individu yang unik dan aneh di sekolah ini. Tidak ada yang normal di dunia ini. Ya, tidak ada yang normal

Centrifugal · Fantasy
Not enough ratings
15 Chs

Verborum

Jadi ini adalah kelas mereka. Lusia berada di kelas XI-3 bersama dengan Natur. Weka dan Yursa berada di kelas XI-6. Perempuan tadi yang menggunakan bando berwarna hijau berada di kelas XI-5. Lusia dan Natur memang bisa akur, tetapi bagaimana dengan Yursa dan Weka yang hari pertama mereka pindah saja sudah dihukum oleh guru yang mengenakan pakaian serba hitam. Guru ini namanya-

"Dwi. Itulah nama bapak. Kalian mungkin sudah pada tahu, tapi mereka," sambil menunjuk Yursa dan Weka. "Tidak. Hey, kalian!"

"Y-ya?" balas Yursa.

"Duduk sana!" suruh Pak Dwi sambil menunjuk ke arah tempat duduk yang berada di tengah-tengah kelas yang kebetulan kosong dua-duanya.

"Baik," balas Weka.

"Kamu sih, ngapain lari-lari," kata Yursa sambil berbisik-bisik.

"Kamu ngepain mukul," balas Weka sambil berbisik-bisik juga.

Mereka akhirnya duduk. Setelah mereka duduk, mereka merasakan seperti satu kelas sedang melihat mereka. Yursa yang merasa tidak nyaman langsung melihat sekitar. Weka malahan hanya melihat Pak Dwi.

Tiba-tiba seseorang dari belakang menoel pundak Yursa. "Kalian sungguh tidak beruntung," kata dia sambil menggelengkan kepalanya tanda kasihan.

"Hah?" balas Yursa dengan heran. Kemudian dia melihat semua orang yang ada di kelas mulai menggelengkan kepalanya tanda kasihan.

"Nanti kau juga tahu," kata teman sebangku orang yang menoel Yursa tadi.

"Perhatian! Kalian diperkenankan pulang cepat-"

"WOOOOHHHH. YEAAAAAAAAH," sorak semua siswa termasuk Weka yang hanya ikut-ikutan memotong pembicaraan Pak Dwi. Setelah itu sorakan mereda secara perlahan karena mereka merasakan hal yang tidak mengenakan akan terjadi.

"Sudah selesai jadi pemandu soraknya?" sindir Pak Dwi sementara Yursa tidak mengerti apa-apa. Oh ya, hanya Yursa yang tidak ikut bersorak.

"Ya, sudah selesai pak," kata seorang murid yang duduk di depan bagian tengah.

"Karena besok ada sebuah turnamen untuk menget-"

'BRAKKK!!!' bunyi kursi Yursa yang jatuh akibat dia berdiri tiba-tiba

"TUNGGU DULU?!" teriak kaget Yursa sambil berdiri. Semua orang melihat dia dengan tatapan seperti 'sialan mati kita' atau semacamnya. Intinya tidak mengenakan. Yursa langsung sadar setelah melihat ekspresi teman satu kelasnya. Dia membalikkan badan, membetulkan posisi kursinya, dan mulai duduk. "Silahkan lanjutkan, pak."

"Terima kasih. Intinya besok ada turnamen untuk mengetes kemampuan Verborum kalian. Tenang saja hanya antar kelas. Kelas ini harus menang," kata Pak Dwi dengan nada yang dingin.

Yursa berbisik ke teman belakangnya. "Apa ada hadiahnya?"

"Dari sekolah memang ada, tetapi dari guru sadis ini tentu saja tidak ada," balasnya.

"Owh," balas dia dengan nada yang pasrah.

"Ini saja pemberitahuan dari bapak. Kalian boleh pulang sekarang," kata Pak Dwi sambil mebereskan tas dan mejanya.

"Tidak ada perkenalan untuk mereka berdua?" tanya salah satu murid yang duduk di pojok kanan depan.

"Perkenalan ketika turnamen saja. Udah sana pulang kalian. Latihan yang benar. Kalau kalian kalah, tahulah ya."

Yursa melihat Weka. "Entah mengapa aku merinding."

"Yah."

Sementara itu di kelas XI 3.

"MAKAN NIH BUKU!"

"ANAK-ANAK TOLONG DIAM!"

"TERBANGLAH BURUNG-BURUNGKU, HAHAHAHAHA!"

Lusia yang baru masuk kelas ini langsung terdiam. Dia melihat ke sekeliling kelasnya untuk mencari seseorang yang bisa ditanyakan. Entah apa yang ada dipikirannya padahal ada guru di depannya. Apa karena bada guru ini sangat pendek sehingga dia menganggap itu murid.

Guru tersebut baru melihat Lusia. "Ah, murid pindahan ya? tanya dia sambil membungkukkan badannya untuk menghindar dari buku-buku dan benda-benda aneh lainnya yang berterbangan secara tidak beraturan. "Namamu Lusia Martin ya? Kamu duduk pojok kanan depan," kata dia sambil menunjuk tempatnya tanpa melihat.

"Hmm ..., saya hanya melihat bongkahan kayu," balas Lusia sambil menunjuk tempat duduknya yang sudah hancur tidak beraturan.

Guru tersebut langsung melihat tempat duduk itu dengan wajah terkejut. Sangat terkejut malah. "Astaga!!!"

Setelah itu, sebuah besi tajam mengarah ke arah Lusia. Lusia tanpa melihat langsung menghalang besi tersebut yang mengarah ke mukanya seolah-olah dia sudah tahu. Besi tersebut menancap di tangan Lusia membuat darahnya bercucuran. Murid-murid tersebut tidak ada yang peduli bahkan tidak tahu malah. Lusia mencoba mencabut besi tersebut, tetapi dia berhenti karena guru tadi tiba-tiba membungkuk seperti ketakutan.

Lusia mencoba untuk memberitahu mereka untuk berhenti. "Di-"

"-AAAMMMM!" suara keras seperti auman binatang buas memenuhi ruangan kelas ini. Auman tersebut berasal dari sebelah Lusia yang ternyata itu adalah guru pendek tadi. Guru tersebut fisiknya berubah. Matanya memerah, muncul tulang tajam yang memanjang ke belakang dari sikutnya, kukunya menjadi tajam, dan muncul sebuah sayap campuran selaput katak dari bawah lengannya.

Semua kelas langsung berhenti dan kembali ke tempat duduknya dengan ekpsresi takut sekaligus terkejut, bahkan Lusia pun lumayan terkejut. Mereka semua terkejut. Aku tidak tahu apakah ini guru baru di sekolah ini atau pengganti wali kelas mereka. Guru tersebut langsung kembali ke wujud normalnya. Dia memegang tangan Lusia yang tertancap tadi.

"Sini ikut ibu. Lukamu harus diobati supaya tidak infeksi," dan guru tersbeut terus bicara tanpa henti sambil membawa Lusia ke UKS, sementara Lusia hanya menganggukkan kepalanya.

Tak lama kemudian datanglah Natur yang terlambat akibat menaiki tangga yang lebih jauh daripada lift. Dia membuka pintu dan melihat kelasnya sudah sangat-teramat berantakan.

"Mana gurunya dan tumben sekali kalian diam?" tanya dia ke semua murid kelas ini.

"Kau tidak akan mau melihatnya," balas salah satu dari mereka.

"Maksudmu wali kelas pengganti ini?"

"Ya."

"Dimana dia?"

"Lagi membawa salah satu murid ke UKS. Kurasa dia murid pindahan. Aku baru melihatnya."

Natur menepuk jidatnya. "Apa yang kalian lakukan sih?"

"Dia melempar sebuah besi ke arah anak pindahan tersebut," kata salah satu murid dengan pena yang dikalungin sambil menunjuk murid yang mengenakan jaket abu-abu bergambar musang.

"Apaan? Aku kan gak sengaja. Kamu juga salah, jika tidak kamu belokkan pasti tidak akan mengenai dia."

"Lah, kok salahku?"

Dan kelas kembali ribut. Seperti biasa, Natur langsung menggelengkan kepalanya. Dia ingin menuju tempat duduknya, tetapi kelas sudah sangat berantakan dengan adanya buku-buku yang bercecera dan berterbangan ke sana-kemari, lalu ada beberapa lemari yang jatuh, meja yang rusak, dan hal-hal lainnya yang sangat susah dijelaskan. Natur langsung membalikkan badannya setelah melihat kelasnya yang sudah seperti medan perang, lalu keluar dari pintu kelasnya untuk ke UKS. Tujuan dia entah untuk bertemu dengan Lusius atau tidur.

Sementar itu di UKS, guru pengganti sekaligus baru ini sedang mengobati luka yang ada di tangan Lusia. Lusia duduk di sebuah di kursi kerja berwarna hitam, sementara guru ini berada dibawah jongkok sambil mengobati luka Lusia.

"Tolong tahan," kata guru tersebut sambil menarik besi yang menancap di tangan Lusia dengan perlahan. Tangan Lusia terlihat sudah dibersihkan sebelumnya dengan antiobiotik bisa dilihat dari tangannya yang sudah lumayan bersih daru darah.

Lusia hanya membalasnya dengan anggukkan.

"Apakah sakit?" tanya guru tersebut setelah mencabut besi tersebut.

Lusia hanya membalas dengan menggelengkan kepala.

"Baiklah, ibu akan mencari perban dulu," kata guru ini sambil mencari perban di kotak P3K. "Ah, ketemu," guru ini kemudian lanjut mengobati tangan Lusia dengan melilitkan perban. "Sepertinya kamu jarang berbicara. Terima kasih sudah berdiri buat ibu. Maaf jika ibu menakutimu. Penampilan ibu yang itu memang menyeramkan bukan?"

"Tidak juga," jawab Lusia yang daritadi melihat tangannya yang sedang diobati.

"Baiklah ini sudah cukup. Hmm ..., kalau mau tidur di UKS terlebih dahulu silahkan, soalnya keadaan kelas takut membuat lukamu lebih parah," kata guru ini sambil bersiap untuk kembali ke kelas.

Tiba-tiba datang Natur dari pintu UKS. Dia melihat Lusia yang sedang duduk di kursi tadi dan guru pindahan yang mau keluar dari UKS. Guru tersebut masih berada dekat Lusia. Natur melihat ke arah mereka dengan heran.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya guru ini.

Natur berjalan ke depan sehingga bisa melihat Lusia di balik badan guru ini yang pendek. Natur menunjuk guru ini. "Pacarmu?"

"Hahaha, tidak mungkin ibu mengkencani murid," balas guru tersebut yang menganggap perkataan Natur hanyalah candaan. Padahal dia serius.

Natur langsung menutup mulut dengan tangannya dan membungkukkan sedikit badannya karena membuat suasana menjadi canggung. "Maaf. Haha, aku hanya bercanda."

"Ya ibu tahu, candaan anak-anak semakin berkembang ternyata," kata guru ini sambil berjalan keluar UKS. Dia berhenti di pintu keluar UKS dan membalikkan badan. "Kalau ada masalah lagi tolong panggil ibu."

"Siap bu!" kata Natur sambil melambaikan tangannya. "Ngomong-ngomong itu guru pengganti?"

"Ya."

"Cantik banget dan badan dia juga pendek seperti anak SMA," kata dia sambil membetulkan kacamatanya. "Oh ya, dia belum tahu ya aku berada di kelasnya."

"Kurasa."

"Fyuuh. Kalau tahu aku bisa mati dimarahin gara-gara dianggap bolos," kata dia sambil melihat kasur. Dia berjalan ke arah kasur tersetut, menaruh tasnya, dan tiduran di kasur ini. Dia melihat ke arah Lusia. "Mau gabung?"

Lusia hanya melihatnya dengan jijik.

"Bercanda. Oh ya, nama guru cantik tadi siapa?"

Sementara itu di kelas XI-5.

Hari baru, udara baru, cahaya baru, dan tentunya muka baru. Bagi yang tidak tahu kami semua ini baru naik kelas. Aku ingin melihat kenaehan apa yang dimiliki oleh individu-individu di sini. Oh ya namaku-

"Dien?"

"Hadir."

Mari kita akhiri di sini.