webnovel

They All Said

Sekelompok remaja yang bersekolah di sekolah yang isinya murid-murid yang memiliki kekuatan. Bertinggal di sebuah negara bernama Nusantara. Kalian bisa menemukan individu-individu yang unik dan aneh di sekolah ini. Tidak ada yang normal di dunia ini. Ya, tidak ada yang normal

Centrifugal · Fantasy
Not enough ratings
15 Chs

Jangan

Aku pulang dari apartemen Lusia mengendarai motor. Beberapa menit berlalu, akhihrnya aku sampai pada rumahku. Awalnya aku ingin memasukan motor ke garasi rumah, tetapi aku melihat empat orang sedang berdiri di halaman rumahku. Aku langsung berjalan ke arah halaman rumahku tanpa memikirkan siapa mereka. Ketika sudah dekat, aku melihat kakak perempuanku yang bernama Gia dan tiga orang yang kurasa aku tahu siapa mereka. Mataku langsung terpaku pada kakakku. Rasanya aku ingin lari ketika melihat muka dia.

Gia langsung berjalan cepat ke arahku.

"ANAK SIALAN!!! SIAPA MEREKA? APA YANG KAU LAKUKAN SELAMA AKU TINGGAL DI LUAR KOTA?" bentak Gia kepadaku sambil menarik kerah seragam sekolahku.

Aku hanya memalingkan perhatianku ke kiri.

"BERITAHU AKU?" bentak dia sekali lagi.

"Bentar-bentar, mari kita bahas ini di dalam rumah kalian," kata satu orang yang aku kenal. Dia juga bersekolah di sekolah yang sama denganku. Dia adalah anak dari pemilik perusahaan yang kaya. Nama dia adalah Ormi.

Kakakku melihat ke arahku dengan kesal, kemudian ke arah mereka.

"Baiklah," balas kakakku sambil melepas tangannya yang mencengkeram kerahku.

Aku berjalan masuk ke rumahku yang kecil ini bersamaan dengan mereka. Kami duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan tamu. Aku duduk di sofa dekat pintu keluar, Kakakku duduk di sofa yang berhadapan denganku, tiga dari mereka duduk di sofa yang mengarah dekat jendela.

"Beritahu aku, apa yang kau lakukan, Rubik?" tanya kakakku dengan geram.

"Aku "menjual" sesuatu kepada mereka dengan imbalan uang," kataku tanpa ragu.

"Menjual? Apa yang kau jual? Tidak-tidak," dia langsung melihat ke arah Ormi dengan tatapan yang penuh amarah. "Beritahu aku apa yang dia jual itu?"

"Sesuatu yang tidak rumit. Hanya informasi," kata Ormi dengan senyuman yang licik seolah-olah terdapat banyak rahasia yang masih tersimpan.

"Jangan berbelit-belit. Beritahu aku apa?"

"Jadi seperti ini. Ada seorang perempuan yang cantik dan kaya tentunya. Adik tercintamu ini memberikan informasi semua apa yang dia lakukan dan apa kelemahan dia," balas Ormi sambil membersihkan kacamatanya yang berwarna ungu.

"Siapa perempuan ini?"

"Kau tidak perlu tahu. Kecuali jika kau ingin menjadi komplotan kami atau bisa menguraikan apa yang aku katakan tadi, tetapi pilihan kedua memiliki konsekuensinya," kata dia sambil mendekatkan mukanya ke muka kakakku sambil tersenyum licik, sementara tangan kiri dia mengeluarkan sesuatu yang berkilau seperti terbuat dari besi.

Kakakku hanya melihat menatap dia.

"Haaaah ...," dia menghela nafas lalu melihat ke arahku. "Apa tidak bisa dihentikan?"

"Tentu tidak. Perjanjian adalah perjanjian."

"Sebelum itu, aku punyar pertanyaan buat adikku," kata dia sambil berjalan ke arahku. "Apakah ini semua demi uang?"

Aku tidak menjawab.

"Berarti ya."

Dia langsung menarik pakainku dan memukul mukaku dengan sangat keras.

"ANAK TOLOL!!! UNTUK APA KAU MELAKUKAN INI? Aku tahu kita ini miskin, tetapi tidak usah melakukan ini. Aku tahu ibu sakit dan perlu pengobatan, itulah mengapa aku kerja di luar kota. Tahu untuk apa? Membiayaimu sekolah dan biaya pengobatan rumah sakit ibu. DAN KAU DI SINI MALAH MEMBUAT PERJANJIAN DENGAN SESEORANG YANG MENCURIGAKAN!!! APA KAU MENGANGGAP SATU-SATUNYA KAKAKMU INI TIDAK BERGUNA?" dia menarik badanku lagi dan memukulku lagi.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku tahu perbuatanku salah, tetapi ini harus kulakukan meskipun itu sesuatu yang tidak benar. Aku sudah pernah mencoba meminta dana bantuan kepada beberapa lembaga swasta, pemerintah, hingga teman-temanku. Apa yang mereka lakukan? Tidak ada. Tidak ada yang mau membantu. Mereka justru berkata, 'kerja sana,' atau hal lain yang sama. Aku mencoba untuk melamar pekerjaan, tetapi tidak ada yang menerimaku karena umurku ini masih remaja. Aku ingin mengatakan ini semua kepada kakakku, tetapi tidak bisa.

"Bagaimana kalau kita mendengar alasan adikmu terlebih dahulu," kata Ormi.

Kakakku langsung berhenti memukulku.

"Baiklah," dia melihat ke arahku. "Bicaralah."

"Aku hanya ingin membantu keluargaku. Aku sudah melakukan semua cara, tetapi tidak ada yang berhasil," kataku.

"CARA APA? DENGAN MEMBUAT PERJANJIAN DENGAN MEREKA?"

Pikiranku langsung buram. Mulutku terbuka secara tiba-tiba di luar kendaliku. Tangaku memukul meja ruang tamu yang terbuat dari kaca tersebut hingga pecah. Aku tidak peduli rasa sakit yang ada di tanganku akibat pecahan kaca tersebut.

"AKU SUDAH MENCOBA UNTUK MEMINTA BANTUAN KE TEMAN-TEMANKU, LEMBAGA SWASTA, HINGGA PEMERINTAH. DAN KAU TAHU APA YANG MEREKA KATAKAN? 'KERJA SANA' ATAU 'SALAHKAN ORANGTUA YANG MELAHIRKANMU'. ITU SEMUA MEMBUATKU MUAK. TERUS KAU TAHU APALAGI? AKU SUDAH MENCOBA UNTUK BEKERJA PARUH WAKTU, TETAPI TIDAK ADA YANG MENERIMAKU KARENA AKU MASIH REMAJA!!!"

"ITULAH SEBABNYA AKU BEKERJA DI LUAR KOTA!!! HARUSNYA KAU MENGERTI, ASTAGA."

Kakakku diam sejenak dan duduk dengan air mata yang mengalir dan wajahnya yang memerah akibat amarah yang tidak terbendung. Dia menghela nafas dan melihat ke arah Ormi.

"Apakah perempuan ini dari sekolah dia?" tanya kakakku yang ketenangannya sudah kembali, sementara aku hanya terduduk dengan kepala tertunduk.

"Ya."

"Apa dia dari keluarga kaya?"

"Sekalai lagi, ya."

"Apa dia ada masalah dengan adikku?"

"Apa kau ingat, adikmu mengatakan bahwa dia sudah meminta bantuan ke lembaga swasta?"

"Iya. Hubungannya ap-"

Kakakku yang menjeda perkataannya, langsung sadar akan sesuatu.

"Perempuan itu adalah anak dari perusahaan itu?"

"Kau pintar juga, tidak seperti adikmu," kata dia sambil tersenyum.

"Informasi ..., kelemahan," dia langsung sadar akan sesuatu lagi. "Aku tahu kalian juga memiliki motif terhadap anak perempuan ini kan?"

Tatapan Ormi langsung berubah. Tatapan dia penuh dendam dan amarah. Dia seperti seseorang yang berbeda. Senyum yang dia pakai tadi sudah hilang.

"Tentu saja," balas dia dengan nada bicara yang berubah seperti orang yang habis dirasuki oleh iblis.

Kakakku berjan ke arahku.

"Kau menjual temanmu demi uang, meskipun kau tahu yang salah adalah lembaganya bukan dia. Siapa yang mengajarimu begini?" kata kakakku dengan nada suara seperti orang pasrah dengan apa yang terjadi. Dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya menanyakan ini padaku dengan air mata yang mengalir.

Aku hanya mengangguk untuk membalas dia.

"Aku hanya mengatakan ini sebagai awal dan akhir hidupku. Kau melakukan ini berarti kau sudah menjual kakak dan ibu. Aku harap kau bisa lepas dari penyesalanmu ketika ini sudah berakhir. Maaf sudah memukulmu. Dan ini terakhir. Aku mencintaimu."

Aku melihat kakakku mengatakan hal tersebut dengan ekspresinya yang tersenyum dan air mata yang mengalir. Bukan senyuman kebahagiaan, melainkan pasrah. Bukan air mata kesedihan, melainkan kekecewaan. Tetapi, tatapan dia berkata lain. Tatapan dia mengatakan bahwa dia tetap mencintaiku meskipun aku sudah menjual keluargaku secara tidak langsung. Ini adalah terakhir kalinya aku melihat kakakku, sebelum Ormi menggorok leher kakakku menggunakan tangan kirinya.