webnovel

Long Blonde Hair

"Kau tahu caranya? Seperti itu. Bukan seperti tadi," ucap Matthew lirih setelah melepas ciumannya.

Brianna tak bisa untuk tak kagum dengan bagaimana Matthew menciumnya. Begitu hangat dan liar.

"Seseorang, tolong sadarkan aku bahwa ini hanyalah sebuah akting. Ini sandiwara!" pekik Brianna dalam hatinya.

Ia berharap-. Oh, tidak. Tak ada harapan. Brianna tak ingin terlalu larut ke dalam suasana. Ia harus sadar bahwa ini adalah bagian dari perannya sebagai calon istri pura-pura.

Matthew menjauhkan tubuhnya dari Brianna. Memberi kesempatan pada Brianna agar bisa menghirup napas dengan benar.

"Ambil jaket tebalmu," ucap Matthew sambil menuang anggurnya ke dalam gelas. "Kita akan bertemu dengan Pastor Erick sebentar lagi di gereja. Dia yang akan menikahkan kita besok."

"Ah, iya. Akan kulakukan," jawab Brianna. "Kau tak ingin menyarap dulu?"

"Tak ada waktu. Kita lakukan setelah pulang dari gereja saja. Bergegaslah."

"Ini sepertinya pertama kalinya aku datang ke gereja lagi. Sepertinya terakhir aku melakukannya adalah saat hari kematian ibuku," kenang Brianna sambil memakai jaket tebalnya.

"Besok adalah hari pernikahan kita. Beraktinglah yang bagus hari ini," ucap Matthew memperingatkan.

Brianna mengangguk.

Mereka berdua pergi bahkan sebelum memakan sesuatu. Hanya segelas sampanye yang mereka minum saat acara pesta natal bersama keluarga.

"Kau mengerti ucapanku tadi? Bertingkahlah seperti kita sedang menjalin hubungan. Banyak orang yang akan hadir di misa natal pagi ini."

Brianna masih amat cantik bahkan saat ia kedinginan. Ia masuk ke dalam gereja. Bergandengan tangan dengan Matthew. Bertingkah di hadapan semua orang bahwa mereka berdua saling mencintai. Padahal tidak.

"Duduklah," ucap Matthew agak sedikit berbisik. Seluruh kursi yang ada di gereja itu hampir saja penuh saat Matthew dan Brianna datang.

"Dia yang akan menikahkan kita esok hari?"

Matthew buru-buru mengisyaratkan Brianna untuk tak banyak bicara.

Tapi terlambat. Sejak Brianna dan Matthew datang, beberapa orang tersadar bahwa dua orang yang sedang mencuri perhatian di Amerika beberapa hari ini tengah hadir di antara mereka.

Bisikan dari mulut ke mulut tersebar hampir di seluruh jemaah gereja yang hadir saat misa berlangsung.

Shailene melirik tangannya yang sudah digenggam oleh suaminya sejak dua jam yang lalu.

"Cepat akhiri misa ini, Pastor Erick," batin Shailene.

Wanita itu berharap misa natal pagi itu selesai secepat mungkin agar Shailene bisa bergerak dengan leluasa. Ia tak terlalu nyaman dengan perlakuan lembut Clint macam ini.

Hal yang terjadi pada Shailene semalam, baginya bukanlah sebuah hal yang membahagiakan. Kurang lebih 4 tahun ini, Shailene menganggap hal itu adalah pelecehan.

"Kau ingin makan sesuatu setelah ini?" bisik Clint di telinga Shailene.

"Aku hanya ingin misa ini selesai dan aku bisa tidur di rumah dengan tenang," jawab Shailene kasar. Hari itu, ia tampak cantik dengan pakaian berwarna merah muda. Begitu serasi dengan rambut pirang panjangnya dan matanya yang berwarna biru. Wajahnya yang seperti bidadari itu tak menunjukkan bahwa Shailene pernah memiliki anak.

"Bersamaku?"

"Teruslah bermimpi," gumam Shailene.

"Keributan apa itu di belakang sana?" ucap Clint lirih. "Seseorang sepertinya tengah bergosip di dalam gereja."

Shailene bahkan sudah tak peduli dengan apa yang Clint ucapkan.

Segera setelah Pastor Erick mengakhiri misa, Shailene segera pergi keluar gereja. Apa yang sudah dilakukan Clint semalam membuat Shailene begadang dan jadi tak bersemangat hari ini.

"Aku akan pergi ke toilet," ucap Shailene sambil melepas tangan suaminya. Ia kemudian bergegas menuju pintu keluar.

Ujung matanya menangkap sesosok Matthew. Pria itu sedang berbisik pada seorang wanita yang ada di sebelahnya.

Shailene menggumam.

"Benarkah?" Ia hampir tak percaya melihat pria itu sedang berada di sini. Shailene memastikan pria itu lagi. Ternyata memang ini hanya ilusinya saja.

Wanita itu pergi ke toilet segera. Bukan untuk buang air kecil. Tapi hanya untuk menghindar dari Clint.

Shailene kembali hampir beberapa saat sebelum misa diakhiri.

"Kau dari mana saja?"

"Perutku sakit," jawab Shailene singkat. "Sampai di mana misanya?"

"Kau bahkan sudah melewatkan hampir seluruh misanya, Sayang. Tapi tak apa-apa. Kau butuh obat untuk perutmu? Kita akan cari dokter yang buka di tanggal merah."

"Aku tak apa-apa. Aku hanya perlu buang air besar tadi," elak Shailene.

Clint mengamati rambut cepol Shailene yang agak berantakan. Ia kemudian mendengus kesal.

"Kau tak ingin memangkas rambutmu? Sepertinya sudah beberapa tahun kau membiarkannya panjang sampai ke pinggang, Shail."

"Tidak," ucap Shailene setelah berpikir beberapa saat. "Lagipula aku memotong ujung rambutku beberapa centi saat ia bertambah panjang."

Ada alasan di balik Shailene tak memangkas rambutnya. Alasan klasik tentang janjinya pada seseorang.

Beberapa saat kemudian, misa benar-benar berakhir. Shailene berjanji pada dirinya sendiri untuk tidur setelah ia sampai di rumah.

"Clint," panggil Shailene pada suaminya. "Aku lupa memberikan ini pada Pastor Erick. Sumbangan kita untuk gereja. Aku akan segera kembali."

"Aku tunggu kau di mobil! Jangan berlari, Shail!" pekik Clint sambil menatap istrinya yang berlari ke dalam gereja lagi. "Wanita itu. Lihatlah. Memelihara rambut sampai sepanjang itu." Cepol rambut wanita terlepas karena kakinya yang menghentak berlari sekencang mungkin.

Shailene tak ingin untuk melewatkan kesempatannya untuk menyumbang sejumlah uang secara rutin pada gereja. Ia meniatkan ini agar ia bisa membantu panti asuhan yang gereja kelola. Tanpa Shailene tahu bahwa Pastor Erick sedang berbincang dengan tamu yang akan menikah esok hari.

"Kau hanya datang ke gereja saat akan menikah saja, Matt?"

Matthew terkikik. Ia tak tahu tertawa karena apa. Yang jelas, ia tak bisa menahannya kali ini. Ia memang hampir tak pernah datang ke tempat ini.

"Aku tadi sudah meminta ampun pada Tuhan, Pastor," ucap Matthew sekenanya.

"Aku lega kau akan segera menikah," ucap Pastor.

Matthew mengalihkan pandangannya pada Brianna.

"Pria ini," batin Brianna. "Menatapku seolah benar-benar sedang begitu mencintaiku."

"Kau tampak terpuruk saat gagal menikah dengan Shailene beberapa tahun lalu," ucap Pastor Erick.

"Ehem." Isyarat Matthew agar Pastor Erick mengalihkan pembicaraan.

"Ah, maaf jika kau tersinggung, Nona Westbrook. Ini juga salah calon suamimu. Ia tak pernah membawa kau kemari dan tiba-tiba berkata membutuhkanku untuk menikahkan kalian besok. Jadi yang kuingat adalah wanita yang terakhir kali ia bawa. Ah, iya. Ngomong-ngomong, aku tadi melihat Shailene datang bersama suaminya."

Matthew mematung,

"Pastor, maaf aku terlupa untuk memberikanmu ini."

Matthew adalah orang yang pertama kali menoleh pada suara yang baru saja datang itu.

Suara napas Shailene yang terengah-engah itu seolah sedang tercekat sekarang.

Matthew juga agak terkejut bertemu dengan Shailene di tempat ini. Satu hal yang masih sama dari wanita itu. Rambut pirangnya masih sama. Panjang tergerai.