"Kalau kau tidak menikah, lantas siapa yang akan menjadi penerus keluarga kita?" Pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu tak lagi dapat menahan diri atas pemberontakan putrinya.
"Velvet, tolong untuk sekali ini saja, dengarkan kami. Kami melakukan ini demi kebaikanmu ... " pinta Dilara dengan nada memohon.
"Ma, bukankah sudah kubilang ... "
"Kau adalah putri kami satu-satunya," sela Dilara coba goyahkan pendirian sang putri.
"Aku tidak mau menikah!" jawab gadis berpenampilan anggun itu dengan setiap tekanan pada kalimatnya.
"Papa tidak peduli. Kau harus segera menikah. Ingat! usiamu sudah tidak muda lagi—"
"Tidak bisakah kita lewatkan satu malam ini saja tanpa membicarakan hal yang membuatku mual? Aku jadi kehilangan selera makan," gumam Velvet Halviosa. Wanita cantik itu segera meletakkan kembali gelas berisi anggur ke meja, makan malamnya tak tersentuh.
Ia sudah tak merasa lapar lagi, dan putuskan untuk segera pergi dari meja makan. Menghindari perdebatan yang bila ditanggapi akan semakin memanjang ke segala aspek.
"Velvet, jaga sopan santunmu!" Tuan Arios Halviosa—papa Velvet berteriak keras. Tetapi putri semata wayangnya itu seolah tuli, dan tetap teruskan langkah cepatnya menuju kamar.
"Kenapa mereka terus saja memintaku untuk menikah. Kalau hanya untuk mendapatkan cucu, bukankah bisa mengadopsi satu dari ribuan bayi korban perang? Bukankah itu justru lebih mulia?" Sepanjang jalan menuju kamar, ia terus mengomel tanpa henti.
"Ada apa Nona muda? Anda tampak sangat kesal?" celetuk seorang wanita bertubuh bongsor bernama Anne itu.
"Ohh ... Anne, aku lelah, mereka berdua selalu saja menekanku agar segera menikah. sedangkan aku benar-benar tak ingin. Mereka tampaknya tak suka melihatku bahagia menjadi wanita single."
"Ayolah nona, mungkin mereka khawatir ..." sahut Anne sambil memasukkan buah-buahan ke lemari es di kamar Velvet.
"Apa yang harus mereka khawatirkan? Aku wanita mandiri yang bisa dan terbiasa mencukupi hidupku sendiri, aku sama sekali tidak membutuhkan laki-laki. Satu-satunya hal yang kubutuhkan adalah kebebasan, aku tak ingin terikat dengan siapapun!" tegas Velvet yang membuat wanita tua di depan menganggukkan kepala, hanya demi menenangkan nona muda yang sudah dia rawat sejak bayi.
"Nona ... " panggil Ann lembut.
"Apa kau tidak ingin menggendong bayi mungil yang lucu?" tanya Anne sambil berpura menimang bayi dengan lengannya.
"Ya tuhan Anne, ternyata pemikiranmu sama saja dengan mereka. Sudah kubilang aku tak mau mengandung, Aku tak mau hal itu terjadi pada tubuhku, kalau pernikahan hanya tentang beranak pinak. Aku rasa ... aku tak perlu melakukannya. Kita bisa mengambil bayi cantik ataupun tampan dari panti asuhan. Bagaimana menurutmu?" Velvet masih teguh pada pendiriannya.
Sudah hampir satu tahun terakhir kedua orang tuanya memintanya untuk segera menikah.
Hal yang dulu ia anggap sebagai angin lalu, lambat laun mulai mengganggunya. Apalagi sejak sang mama dengan segala cara coba mengenalkan Velvet pada anak-anak dari kolega sang mama yang rata-rata adalah milyarder. Atau sang papa yang terus menawarkannya pada para rekan bisnisnya yang masih single.
Puncaknya adalah tiga hari yang lalu, ketika seorang duda tua bernama Mr. Reymond datang ke kantor Velvet. Dia adalah rekan papanya yang terkenal sebagai duda hidung belang penakluk wanita.
Pria berumur hampir lima puluh tahun itu dengan tanpa rasa malu ingin mempersunting Velvet menjadi istrinya.
"Nona, ada seseorang yang ingin bertemu anda," ujar sang sekretaris yang juga sahabatnya sejak SMA.
"Siapa?" Velvet menggamit gagang telepon dengan bahu, karena tangannya terlalu sibuk memisahkan ratusan dokumen yang berada di atas meja.
"Mr. Reymond," bisik Andrea lirih.
"Katakan padanya aku sedang sibuk dan tak bisa diganggu," tegas Velvet.
"T—tapi, dia ... " Belum selesai Andrea berkata padanya. Tiba-tiba seseorang dengan sangat tidak sopan merangsek masuk begitu saja ke dalam ruang kerjanya.
"Hello Nona Velvet," sapa Mr. Reymond yang kini sudah berdiri tepat di depannya dan hanya berjarak beberapa meter saja.
"Ck!" Sebuah tanda kekesalan keluar dari bibir Velvet yang terpulas warna senada dengan namanya.
Pria berpenampilan parlente dengan parfum berbau maskulin itu semakin mendekat. Matanya tak lepas dari blouse kerah rendah yang Velvet kenakan. Dan tentu saja Rambut brunette yang Velvet biarkan tergerai menambah kesensualan alami yang terpancar. Membuat para adam termasuk si tua bangka Reymond kesusahan menelan ludah.
"Nona Velvet, aku hanya ingin—"
"Urusan bisnis kita sudah selesai berbulan-bulan yang lalu. Saya rasa tidak ada lagi yang perlu kita diskusikan, Tuan Reymond," kata Velvet dengan penekanan di akhir kalimat. Mata coklatnya menelisik wajah Reymond yang ditumbuhi bulu halus. Untuk usia hampir separuh abad, pria ini tak terlihat menua. Tubuh atletisnya masih kokoh dan tegap. Rambutnya yang hitam selalu disisir rapi ke belakang. Belum lagi alis tebal yang bertaut sama lain, menunjukkan dominasi.
"Aku kemari bukan untuk urusan bisnis, Nona—"
"Kalau begitu, mungkin anda sedang tersesat Tuan. Silakan pintu keluarnya ada di sana." Jemari lentik bercat merah tua itu mengarah pada pintu.
"Apa kau mengusirku?" tanya Mr. Reymond tidak percaya.
"Aku hanya menunjukkan jalan yang benar, agar anda tidak tersesat .... Tuan." Velvet beranjak dari kursi putar empuknya. Seketika langkah anggun, yang suara hak tingginya mengetuk-ngetuk lantai granit di bawah kakinya.
"Rea ... " panggilnya pada sang sekretaris yang meja kerjanya terletak tak jauh dari
pintu.
Tak berapa lama, wanita dengan penampilan sederhana itupun muncul.
"Ya bos, ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong antarkan Tuan Reymond keluar dari sini, aku takut dia tersesat," pinta Velvet yang kontan membuat Rea menutup mulut menahan tawa.
Andrea pun berjalan menuju Mr. Reymond yang terlihat sangat kesal.
"Mari Mr. Reymond saya akan mengantar anda ke—"
"Aku bisa sendiri!" teriak pria itu sembari beranjak dari duduknya.
"M—maaf."
Andrea melirik ke arah Velvet yang kini berdiri angkuh di depan pintu. Keduanya sedang menahan ledakan tawa.
Mr. Reymond berhenti di depan Velvet, "ini adalah sebuah penghinaan Velvet! Aku akan mengatakan pada Ayahmu, kalau dia telah gagal mendidik anak perempuannya."
Velvet hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan santai.
"Aku datang kemari untuk menawarkan kebaikan padamu, tapi kau justru memperlakukanku seperti ini!" imbuh Mr. Reymond dengan nada marah, tapi Velvet sama sekali tak terpengaruh dengan intimidasi si pria tua.
"Silakan saja, Tuan Reymond. Kita lihat saja, siapakah yang lebih tidak sopan. Kau atau aku?" bisik Velvet dengan suara lembut nan menantang.
Setelah kepergian Mr. Reymond, baik Velvet ataupun Andrea tak lagi dapat menahan tawanya. Velvet tahu konsekuensi apa yang akan ia dapat kalau papanya tahu tentang hal ini.
Tepat seperti dugaannya, akan ada sesuatu yang terjadi dengan salah satu proyeknya. Karena kebetulan perusahaan Reymond menjadi rivalnya dalam mendapatkan tender untuk sebuah proyek besar.
Dan benar saja, serangan-serangan balik dilancarkan Mr. Reymond kepadanya, hingga ia harus rela kehilangan proyek besar itu. Namun, Velvet sudah mengantisipasi hal tersebut. Sehingga hal itu tidak terlalu mengganggu stabilitas perusahaan.
Namun, apapun usaha yang dilakukan tua bangka itu untuk menguasai Velvet tak pernah berhasil. Terlebih sekarang Velvet sudah punya karir stabil yang integrasinya tidak perlu diragukan lagi. Dia masuk ke dalam jajaran 'woman of the decade' dalam sebuah majalah bisnis internasional. Sepak terjangnya diakui. Dan karena hal itulah dia tahu, kalau dia tidak memerlukan pria untuk bertahan hidup.