Wanita bertubuh gempal itu langsung menghampiri putranya yang bahkan belum turun dari mobil. Ia tergesa dan terlihat sangat kuatir.
"Kemana saja kau, Maxime?" teriaknya dengan nada kesal.
"Apa ini mobil barumu?" Belum sempat satu pertanyaan terjawab, Avreda sudah melontarkan hal lain. Matanya membelalak melihat mobil baru Maxime yang mengilat.
"Apa kabar, Bu?" tanya Maxime dengan nada merayu, ia langsung ciumi pipi sang ibu, "jawab pertanyaan Ibu dulu!" Dicubitnya lengan kekar sang putra.
"Apa Ibu lapar?" Maxime enggan menjawab ia kemudian dengan cepat membuka kunci pintu rumah yang bersebelahan dengan rolling door bengkel. Dean dan Avreda langsung membuntutinya.
Dengan satu gerakan cepat tangan Maxime segera memasukkan segala benda 'terlarang' ke dalam kantung plastik. Mulai dari sebungkus rokok-miliknya, lipstik warna matte-entah milik siapa, mungkin milik gadis dari pesta bikini minggu lalu-yang ia bawa pulang dan bercinta dengannya semalam suntuk.
Avreda mengikuti langkah cepat Maxime sembari mengomel-ngomel tentang betapa kotornya rumah sang putra.
"Apa kau tak menyewa seorang pembantu? Lihatlah, kenapa begitu banyak sampah dan debu di sini?"
"Dean ... Dean ..." panggilnya.
"Iya, Bu?" Dean Frederrick, sahabat Maxime yang sudah Avreda anggap seperti putranya sendiri.
"BIsakah kau ambil mesin penyedot debu? LIhatlah rumah ini, Ya Tuhan ... kenapa sekotor ini?" Avreda menepuk-nepuk dahinya, dari dulu sifat jorok Maxime tak pernah berubah. Sungguh berbeda dengan penampilan dan wajahnya yang rupawan.
Melihat ibunya sedang sibuk dengan Dean. Dia tak mau melewatkan kesempatan bagus ini. Maxime segera naik ke kamarnya yang berada di lantai atas. Dia harus melakukan 'sweeping' sebelum sang Ibu.
BIsa dipastikan barang 'terlarang' di kamar jumlahnya lebih banyak dari perkiraan. Lingerie, kondom, majalah dewasa, kaset film dewasa, belum lagi buku-buku kamasutera. Kalau tak segera ia amankan, mungkin buku-buku itu akan berakhir di tempat yang sama dengan otaknya. TEMPAT SAMPAH!
"Maxime! Maxime! Dimana kau?" Suara hentakan kaki Ibunya di anak tangga membuat Maxime harus cepat-cepat membereskan kekacauan di dalam kamarnya. Dia memasukkan semua benda terlarang itu ke dalam sebuah kardus besar yang sudah ia persiapkan untuk keadaan darurat seperti ini.
"S-sebentar, Bu. Aku sedang memakai baju," teriak Maxime untuk menahan agar sang Ibu tak langsung masuk ke dalam kamarnya yang sudah sangat mirip dengan lokasi syuting film dewasa. Oh .. ya jangan lupakan poster-poster wanita menantang di tembok. Maxime harus segera menggantinya dengan poster pemandangan alam yang menyejukkan mata.
"Kenapa lama sekali?!" Avreda mengrnyitkan dahi, ia kemudian mengetuk-ngetuk pintu kamar Maxime dengan cara yang menyebalkan.
"Ya Tuhan, Ibu ... aku tidak tuli, jangan mengetuki pintu seperti itu ..." protes Maxime.
"Cepat buka pintunya sekarang! Aku tahu kau tidak sedang ganti baju!"
Maxime melempar kardus penuh barang terlarang tadi ke bawah ranjang. Dia dengan terpaksa merobek dan membuang poster-poster menantang tadi ke bawah, dan jatuh di halaman rumah kosong yang terletak di sebelah rumahnya.
"Maxime!"
"Iya, iya, aku datang, Bu."
Dia segera membuka pintu. Dengan sigap ia berpura-pura memakai kaus putih ketat, untuk menutupi aksinya.
"Mencurigakan ... " Avreda memutar pandangan, matanya meneliti sudut kamar.
"Apanya yang mencurigakan, Bu?" Maxime melupakan satu celana dalam wanita berwarna merah yang terselip di antara tumpukan selimut di ranjang. Dia menghempaskan diri dan berpura mengantuk, "Ibu beristirahatlah. Aku sangat mengantuk." Tangan Maxime berupaya meraih celana itu sebelum sang ibu menyadari keberadaan benda berwarna mencolok yang kontras dengan warna seprai.
"Aku tidak mengantuk, dan aku tidak ingin beristirhat!" sahut Avreda cepat.
Setelah berhasil meraih celana dalam itu, Maxime segera memasukkannya ke dalam kantong celana yang ia pakai. Dengan sangat hati-hati, bahkan dengan gerakan yang tidak disadari Ibunya.
"Kau juga tidak boleh tidur, bantulah Dean untuk membersihkan kandangmu! Cepat!" titah sang ibu, yang tidak menerima penolakan. Titah absolut yang tak boleh dibantah.
Meski ia malas sekali, tapi Maxime tetaplah Maxime. Putra semata wayang yang sangat menyayangi ibunya melebihi apapun.
"Bu... " panggilnya pada perempuan yang berjalan cepat menuruni tangga.
"Apa? " Avreda menoleh.
"Aku sangat kelaparan, " keluhnya sambil mengelus perut.
"Aku akan memasakkan sesuatu untukmu. " Si ibu bergegas turun dan langsung menuju dapur.
"Dean ... apa kau juga ingin makan sesuatu? " teriaknya pada Dean yang sedang sibuk mengutak-atik mesin penyedot debu yang ditutupi debu tebal.
"Ya, Bu. Aku juga lapar, " sahutnya sambil melambaikan tangan ke arah Maxime yang duduk malas di anak tangga.
"Bantulah aku! Kenapa kau duduk santai disitu, " kesal Dean.
Maxime menopang dagu, dan menatap Dean dengan wajah innocent, "aku lelah. "
"Ya Tuhan Maxime! " jerit Avreda keras. Maxime dan Dean saling melempar pandang. Dean menggeleng dan mengangkat bahu. Lalu beberapa detik kemudian Maxime melompat karena teringat sesuatu yang mungkin saja membuat sang ibu histeris.
"Horny goat weed-mu! " pekik Dean tertahan saat melihat Maxime berlari cepat menuju dapur.
Saat Maxime sampai di dapur ia melihat Avreda sedang menangis sambil memegangi kepalanya. Wanita itu terduduk lemas, seolah sedang menanggung beban berat.
"Ibu kenapa kau menangis?" Maxime menghampiri sang ibu lalu duduk di kursi sebelahnya.
"Kenapa kau menyimpan obat-obatan ini anakku?" Si ibu mengelus rambut putranya dengan lembut.
"I-itu b-bukan milikku," elak Maxime.
"JANGAN BERBOHONG!" semprot Avreda, kemudian histeris lagi.
"A-aku tidak berbohong, Bu. B-barang itu milik teman dari Dean." Maxime masih berusaha berkelit.
"Lagipula what's the deal, Mom?" imbuh Maxime.
"Ini adalah obat impotensi, kau kira ibumu ini takkan sedih jika tahu kalau anak laki-laki satu-satunya sakit? Ibumu ini sangat ingin melihat kau menikah, dan mempunyai anak. Kalau kau terkena impotensi lalu dari mana ibu akan mendapatkan cucu?" teriak Avreda di tengah-tengah tangisannya.
Seandainya ini adalah adegan kartun, mungkin ekspresi Maxime bisa digambarkan dengan adegan jatuhnya rahang bawah hingga membentur lantai.
"I-ibu, dengarkan aku. Anakmu ini laki-laki perkasa. Apa ibu perlu bukti?"
PLak! Avreda layangkan tamparan kecil di pipi sang putra. "Ouch!" Maxime mengusap-usap pipinya.
"Membuktikan keperkasaanmu? Dengan apa, huh?" Wanita lemah lembut yang histeris tadi seketika berubah menjadi singa galak yang mengaung.
"Kau pikir akan membuktikan keperkasan dengan cara menghamili anak gadis orang? Huh? Apa kau mau ibu cincang hidup-hidup?"
Plak! Satu pukulan ringan di lengan kekar Maxime. Lelaki itu meringis, "t-tidak Ibu, b-bukan begitu maksudku."
"Ibu ingin kau segera menikah, dan buktikan keperkasaanmu dengan memberiku seorang cucu! Apa kau dengar itu?" Avreda kemudian berdiri dan membuang sebotol horny goat weed tadi ke dalam tempat sampah.
"Aku pasti akan menikah, Bu. Tapi tidak sekarang," sahut Maxime setelahnya. Avreda melirik sang putra dengan tatapan kesal, "kau harus segera me-"
Ting Tong Ting Tong
Bel pintu depan berbunyi.
"Dean, lanjutkan saja pekerjaanmu, biar aku saja yang membukakan pintunya!"
Avreda dengan cepat berjalan menuju pintu depan dan Maxime mengekori langkah sang ibu dengan tergesa. Perasaanya tak enak, ia takut kalau-kalau yang datang adalah tamu tak diundang, kedatangannya mungki bisa membawa bencana bagi keberlangsungan hidup Maxime.