webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · Urban
Not enough ratings
268 Chs

Kebersamaan

Bab 25.

Mendengar nasihatku, sepertinya Sinta masih ragu, dan ia bertanya lagi.

"Memangnya Ibu percaya dengan semua ucapan Ayah itu?" Sinta mulai kritis dengan pertanyaannya.

"Sayang ... setiap perbuatan yang kita lakukan, baik atau buruk. Nanti akan mendapat balasannya. Biar Allah yang menegur dan menghukumnya."

"Ibu, memang wanita yang sabar." Sinta memeluk erat tubuhku.

"Oh, iya, jadi gimana nih sisa liburan nya?

Ayah kan masih sakit, jadi kita buat seru-seruan aja di rumah!" usulku.

"Maksud Ibu, kita hendak buat apa?" tanyanya bingung.

"Terserah kalian bertiga, asiknya ngapain! Ibu belum ada ide, karena sibuk ngurusin ayahmu," jawabku.

"Nantilah, aku tanya ke adik-adik dulu, ya Bu," ucap Sinta sambil berlalu.

Alhamdulillah, omzet jualan onlineku bulan ini lumayan banyak pembelinya. Karena orang mulai mengenal produk kosmetik yang ku jual. Dengan rajin posting setiap hari di medsos, yang melihatnya penasaran, lalu tertarik untuk order ke aku.

Akan tetapi tak selalu mulus seperti yang di bayangkan orang. Pernah kemarin warna lipstik yang di order, beda dengan warna yang di antar kurir. Yang beli tak mau peduli, kalau tak sesuai dengan orderan, ia tak mau membayarnya. Saabaar ... aku hanya mengelus dada.

Syukurnya, ada teman yang mau membayar lipstik tersebut. Ia suka dengan warnanya, padahal semua itu tergantung selera masing-masing. Dasarnya aja pembeli sebelumnya banyak tingkah. Tak menghargai usaha orang dan aku pun tak bisa memaksa kehendak pada orang lain.

******

 

Ternyata anak-anak hanya ingin kebersamaan di dalam keluarga. Mereka mengajak wisata kuliner, ke pusat kota. Aku tanya ke Bang Ben, tentang kondisinya hari ini. Ia bilang, sudah agak baikan, tak begitu sakit bila di bawa berjalan. 

"Bang ... anak-anak ingin di ajak jalan-jalan!" ucapku.

"Ini kan malam minggu, mereka ingin wisata kuliner ke pusat kota."

"Kali ini, biar aku yang traktir. Kebetulan omset ku, bulan ini cukup lumayan lah."

"Ya, terserah! Yang penting tak menyusahkan kamu," sahutnya.

Anak-anak langsung ku beritahu, bahwa selepas Magrib akan jalan-jalan. Tapi mereka sedikit ragu dengan kondisi ayahnya.

"Jangan khawatir, Ayah sudah lebih baik kok," ucap Bang Ben. Mereka serempak melihat ke arah ayahnya, yang sudah berpakaian rapi.

"Beneran nih! Ayah sudah bisa jalan-jalan?" tanya si bungsu Nina, sambil bergelayut manja di pangkuan ayahnya.

"Beneran, Sayang! Kan Ayah rajin minum obat yang di buat Ibu," ucap Bang Ben, sambil melirikku.

"Ya, sudah, ganti baju yang rapi ya! Entar takut hujan. Raka ganti pakaian dengan Kak Sinta,ya!"

"Nina ... sini, Sayang! biar Ibu rapikan pakaiannya."

Setengah jam kemudian, kami pun berangkat, dengan menggunakan taksi online. Tujuannya, ke sebuah warung lesehan yang menyuguhkan hidangan nusantara ciri khas kota ini.

Kemarin aku sempat punya keinginan untuk mengakhiri pernikahan ini. Tak mampu berpikir dengan jernih, hanya mengikuti ego saja. Apa salahnya ku beri kesempatan buat Bang Ben untuk memperbaiki diri. Sebahagian wanita pasti menganggap aku ini istri yang bodoh. Sudah di khianati, malah mau menerima lagi suami model begini.

Andai ku turuti ego tersebut, mungkin kami tak bersama dan tak di sini malam ini. Sementara ku lihat anak-anak masih membutuhkan figur seorang Ayah, yang dapat melindungi mereka bertiga. Syukurnya aku pergi ke tempat yang tepat, yaitu pulang ke rumah orangtua.

Jangan mengambil keputusan di saat sedang marah atau kalut. Semuanya bisa di bicarakan secara baik-baik. Aku tak mau anakku jadi korban perceraian. Cukup aku yang rasakan itu. Aku hidup terpisah dari Ibu dan kedua adikku.

Ibu menitipkan aku ke kakaknya yang orang kaya, sedangkan mereka bertiga pergi menumpang ke saudara yang lain. Karena rumah peninggalan Kakek, di jual untuk membayar hutang Ibu kepada penjual agen obat, yang dulu sering datang ke toko.

Aku jauh lebih bahagia hidup seperti sekarang ini, di bandingkan waktu kecil dulu. Sekarang yang orang tau, aku itu selalu senang, banyak uang, lebih tepatnya menikmati hiduplah. Padahal kuncinya hanya banyak bersyukur atas nikmat yang di berikan Allah saat ini. Soal miskin atau kaya sudah takdir seseorang, selagi kita berusaha, maka Allah pasti memberi jalan.

*******

 Selesai makan, anak-anak bermain sejenak. Hanya Bang Ben yang belum menghabiskan makanannya, karena makanan yang di hidangkan masih panas. Di sekitar warung lesehan ini, ada taman dan ayunan juga, di hiasi oleh lampu kelap-kelip, menambah hangatnya suasana. Semakin malam, pengunjung pun tampak semakin ramai. Maklum lah week end, waktunya untuk berkumpul bersama keluarga atau pasangan.

Aku sangat beruntung, punya anak gadis seperti Sinta. Ia sayang dengan kedua adiknya. Aku tak perlu repot mengasuh lagi, karena Sinta selalu membantu aku, untuk menjaga mereka. Jarak usianya cukup lumayan dengan sang adik, jadi lebih mengerti cara menjaga adiknya. Sedangkan waktuku lebih banyak untuk mengurus rumah.

Mengurus kebutuhan suami ini, kadang membuat kesal. Mulutnya suka nyinyir minta ampun. Semua maunya harus di turuti, membuat kesal satu rumah. Sinta paling paham sifat ayahnya ini. Kalau sakit, barulah terdiam, tak lagi banyak cakap dan banyak maunya.

Kalau ayahnya sedang memanggil, aku suruh Raka atau Nina menemuinya. Mereka paling senang di suruh, karena dapat upah uang jajan. Biasalah anak kecil memang itu maunya. Yang membuat kesal itu, nyuruhnya tak mau sekalian. Kadang sampai tiga kali pergi ke warung. Kasihan sekali lihat anak kecilku. Sudah lah hari panas, beli di warung mengantri pula. kesalnya pun sampai ke ubun-ubun.

Sejak beberapa hari ini, ia kan sakit, sepi rasanya rumah. Tak ada suara nyinyir memanggil Raka dan Nina bahkan memanggil namaku. Ia tergolek lemah di tempat tidur, karena perutnya perih. Bersuara saja terasa sakit, apalagi memanggil sambil berteriak. Aku jadi kasihan juga ini.

"Bang, bagaimana perut, kamu? Masih terasa perih kah?" tanyaku.

"Kadang masih perih, kalau banyak bergerak."

"Tapi sudah bisa buang angin. Buang air besar pun sudah normal," jelas Bang Ben.

"Karena kamu sabar, dan teratur memberiku obat, sekarang aku merasa lebih baikan." 

"Hmm ... begitu ya," sahutku.

"Syukurnya gak jadi operasi, kalau gak sudah di potong ususku ini," ucap Bang Ben sambil berkelakar.

"Menurut ilmu kedokteran, semua orang punya usus buntu di perut. Coba lah lihat di buku pelajaran anak-anak kita, ada gambar kerangka manusia, terus gambar usus yang kecil letaknya paling sudut," jelasku.

"Tapi usus yang sehat itu yang ujungnya bersih, gak ada penyumbatan sisa makanan," kali ini Bang Ben yang menjawab.

"Tumben kamu ngerti," ledekku sambil meraih hape di dalam tas untuk melihat waktu.

"Sudah setengah sepuluh malam, panggil anak-anak untuk pulang!" ajak Bang Ben

"Sintaaa ... ajak adik-adik kamu pulang! Entar kemalaman, susah pesan taksinya," teriakku.

"Iya, Bu!"

Tak lama anak-anak datang, dengan wajah yang berkeringat karena habis lari-larian.

"Bu, kok cepat sekali pulangnya, baru aja main?" tanya Raka sambil menggerutu.

"Sudah malam, Sayang. Sebentar lagi warung ini tutup," bujukku.

"Lain kali ke sini lagi, ya, Bu!" Pinta Raka dan Nina.

"Iya, Sayang, yuk kita pulang!" Aku menggandeng tangan Nina.

Bersambung ....