Leon kembali ke apartemennya dan mendapati Nadia yang sudah ada di dalam apartemennya. Ia melepas headset yang ia kenakan dan berjalan ke arah Nadia.
"Juice?" Nadia menawarkan jus jeruk yang sedang ia tuang kepada Leon.
"Sure," sahut Leon. Ia menatap Nadia dengan keheranan. "So?"
Nadia menyerahkan gelas berisi jus jeruk yang sudah ia tuang kepada Leon. "So what?"
Leon menerima jus jeruk tersebut dan segera menandaskan isinya. "I know you very well, Nad. Ini terlalu pagi buat lu dateng kesini. Pasti ada seuatu." Ia meletakkan gelas yang ada di tangannya ke meja yang memisahkannya dengan Nadia.
Nadia mengangkat bahunya. "Ngga salah kalo lu dapet gelar Cumlaude di Columbia dulu. Lu emang pinter."
Leon menghela napasnya. "Ngga perlu jadi cumlaude buat nebak orang kaya lu. You're so predictable. What's going on?"
"Inget pasangan Widjaja semalem?" tanya Nadia.
Leon mengangguk. "What's going on with them?"
Nadia menghela napasnya. "Kayanya mereka diam-diam ketemu sama Nyokap lu dan ngomongin sesuatu yang--"
Leon langsung melirik penasaran pada Nadia.
"Mulai tertarik?" tanya Nadia seraya melirik pada Leon.
Leon terus menatap Nadia dengan penuh rasa penasaran.
"Siang ini, anak perempuan keluarga Widjaja datang. Dan, seperti kebanyakan keluarga Indonesia pada umumnya," Nadia tersenyum menggoda Leon. "Mereka kayanya mau ngenalin anak perempuannya sama lu."
"Ada hubungannya sama bisnis?" Leon mendadak ketus.
"I guess not," jawab Nadia.
"Kalo gitu, hapus mereka dari jadwal gue hari ini. Waktu gue terlalu berharga buat urusan ngga penting kaya gitu," ujar Leon. Ia lalu memicingkan matanya pada Nadia. "Lu dateng kesini pagi-pagi cuma mau ngomong soal itu?"
"Gue pikir itu sesuatu yang penting buat dibahas sama lu," jawab Nadia.
"Berapa lama kita saling kenal?" Leon kembali bertanya pada Nadia.
Nadia langsung menghitung menggunakan jarinya. "Gue pindah kesini pas high school. Terus gue kenal sama lu, karena kebetulan Nyokap gue kerja di rumah keluarga lu." Nadia berhenti sejenak dan kembali berpikir. "Kayanya udah hampir sepuluh tahun gue kenal lu."
"Nah," seru Leon sembari menjentikkan jemarinya. "Harusnya buat urusan kaya gitu lu ngga usah repot-repot dateng kesini pagi-pagi."
"Buat lu mungkin urusan itu ngga penting. Tapi, buat gue penting karena Nyokap lu yang langsung nelpon gue," sahut Nadia.
"Lu, kan, tinggal bilang jadwal gue hari ini penuh. Masa gitu aja harus gue ajarin." Leon berdecak dan kemudian meninggalkan Nadia yang masih berdiri di ruang makannya.
Nadia mendengus kesal sambil melirik punggung Leon yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Ia memanyunkan bibirnya seraya merapikan gelas sisa jus yang baru saja mereka minum.
----
Aslan melemparkan tas selempang miliknya ke atas sofa usang yang ada di sasana tinju tempatnya berlatih sepulang kerja. Ia kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas sofa usang tersebut. Seorang pria yang sedang berlatih di atas ring seketika menoleh ke arah Aslan yang baru datang. "Bentar, kita lanjut nanti," ujar pria tersebut pada lawan latihannya.
Pria itu kemudian berjalan keluar dari ring dan menghampiri Aslan. "Kok, lu udah kesini aja. Ngga kerja?"
Aslan menggeleng. Kepalanya menengadah ke arah langit-langit sasana tinju yang atapnya terbuat dari seng dan sudah bolong di sana sini. Lubang-lubang kecil di atap tersebut membuat cahaya matahari sore menerobos masuk ke dalam sasana yang sudah tidak terawat itu dan membentuk titik-titik cahaya di lantai. Beruntung sore ini cerah, jika sore ini hujan, maka yang terjadi adalah ia pasti sudah berlari kesana kemari untuk menaruh ember atau benda apapun yang bisa digunakan untuk menampung air hujan yang masuk ke dalam sasana melalui lubang-lubang tersebut. "Gue abis dipecat."
Pria yang berbicara dengan Aslan membelalakkan matanya. "Hah? Lu dipecat lagi?"
Aslan mengangguk. "Ngga tau kenapa, belakangan ini gue sering telat bangun."
"Bukannya lu emang kebo kalo lagi tidur?" sahut pria tersebut.
Aslan melirik kesal ke arah pria yang sedang berbicara dengannya. "Kali ini lebih parah, Bang."
"Badan lu juga perlu istirahat, Lan. Pasti semalem lu abis ikut tinju ilegal lagi," ujar pria tersebut. Ia memperhatikan bekas luka pada sudut bibir dan pelipis Aslan.
Aslan menatap pria tersebut. "Duitnya lumayan," sahutnya sambil tersenyum masam.
Pria itu kemudian duduk di sebelah Aslan. "Gue bingung sama lu. Kenapa lu napsu banget ngumpulin duit. Bukannya gaji lu selama ini cukup buat ngidupin diri lu sendiri."
Aslan mengangkat bahunya. "Gue juga ngga tau buat apa itu duit." Ia kemudian menegakkan tubuhnya dari sofa. "Latihan sama gue aja, Bang. Gue punya banyak waktu luang sampe dapet kerjaan baru lagi." Aslan berdiri dan berjalan ke arah lemari loker usang tempat menyimpan sarung tinju miliknya.
Pria pemilik sasana tua itu hanya bisa memandangi Aslan yang kini sedang membalut tangannya sebelum mengenakan sarung tinjunya. Jelas sekali Aslan punya alasan tersendiri kenapa ia bekerja begitu keras selama ini. Setiap kali ia bertanya mau diapakan uang yang ia kumpulkan selama ini, Aslan hanya akan menjawab bahwa ia juga tidak tahu apa yang mau ia lakukan dengan uang tersebut.
----
"Mana Leon?" tanya seorang wanita paruh baya dengan setengah membentak pada Nadia.
"Sorry, Ma'am. Aku udah berusaha buat menyesuaikan jadwal Leon. Tapi, hari ini jadwal Leon benar-benar padat," jawab Nadia pada wanita tersebut.
Wanita itu menatap Nadia tidak percaya. "Jangan bilang kamu sudah sekongkol sama Leon?" Ia menatap Nadia penuh selidik.
Nadia dengan cepat menggeleng. "Ma'am bisa pastiin sendiri."
Masih dengan menatap Nadia penuh selidik. Wanita itu langsung menghubungi Leon. Satu kali nada dering, dua kali, tiga kali, hingga nada dering terakhir, Leon tidak menjawab telponnya.
"Leon lagi meeting untuk bahas pusat data di kawasan Asia Pasifik," terang Nadia.
Wanita itu hanya menghela napasnya ketika mendengar penjelasan Nadia. "Kalau dia meeting, kenapa kamu malah ada disini?"
Nadia mesam-mesem pada wanita tersebut. "Dia suruh saya dateng buat gantiin dia."
Wanita itu langsung menggeleng cepat. "Ngga perlu. Kamu susul dia aja."
Nadia mengangguk. "Kalau gitu, saya pergi dulu." Sembari berjalan meninggalkan wanita tersebut, Nadia menghubungi Leon. Baru satu kali nada panggil Leon langsung mengangkat telponnya. "Awas lu, ya, kalo berani nyuruh gue buat ngelawan Nyokap lu. Hampir aja gue mati dimakan sama Nyokap lu."
Leon tertawa di seberang telpon. "But, you still alive, babe."
"Babe, babe. I'll kick your ass immediately," seru Nadia sambil mematikan sambungan telponnya dengan Leon. Pipinya memanas setiap kali Leon memanggilnya dengan sebutan 'babe'. Meski ia tahu panggilan tersebut tidak berarti apa-apa bagi Leon. Hanya sebuah panggilan kepada sahabat seperti pada umumnya.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^