webnovel

The Three of Us [Indonesia]

Apa jadinya kalau kau terbangun di suatu pagi dan mendapati dirimu berubah dari atas hingga bawah. Aku tekankan: HINGGA BAWAH. Nah, inilah yang terjadi pada Faza. Pagi itu, ia terbangun dan mendapati dirinya sudah memiliki payudara dan... ehem, kelamin baru. Faza memiliki tubuh kakak perempuannya! Sejak itu, ia harus bertahan dari gempuran cinta dan rayuan maut dari lelaki yang selama ini mengincar sang kakak, Farel. Padahal, sumpah mati, Faza super duper benci dengan si playboy Farel. !!!! WARNING KERAS !!!! - banyak konten 21+, mohon bijaksana dan bijaksini, sadar umur kalo blm nyampe 21. - ada BxG (straight), ada juga BxB (gay). - tidak butuh pembaca yg mengangkat SARA atau para pengkotbah suci lainnya. - DLDR (don't like don't read)

Gauche_Diablo · Realistic
Not enough ratings
35 Chs

Keraguan

Farel tadi sempet membelalakin mata waktu dia dicium Sarah. Umm... menggunakan bibir Faza, sih. Dan ajaibnya... dia gak ngerasa jijik. Sumpah! Kagak! Tapi... dia gak mau ngomongin itu secara blak-blakan ke Sarah.

Sekarang, ia kudu kasi jawaban yang sebagus mungkin. "Umm... itu... gak terasa menjijikkan, sih bagiku... ummhh... mungkin... mungkin karena aku mikirnya itu kamu, Sar?"

Farel berdoa dalam hati semoga itu bukan jawaban yang salah.

Ucaplah Farel itu maruk. Atau playboy juga gak apa, deh! Karena dia ingin mendapatkan keduanya.

"Pa-pacaran?" Farel pun inget ucapan Sarah lainnya. Dia nelan ludahnya agak susah payah. Kini Sarah ngajakin pacaran setelah dulunya susah banget digapai. Ada apa ini? "Kamu yakin?" Farel justru tanya balik. Ingin memastikan pendengarannya aja, siapa tau korslet barusan tadi.

Bukannya ngejawab, Sarah cuma ketawa kecil dan balik lagi baringan setelah tadi sempet nyoba duduk.

Farel lucu kalau lagi grogi atau gugup, beda banget kalau ngadepin Faza yang beringas macam preman aja.

"Kamu aneh, Farel. Masa semuanya kamu anggap aku, sih? Kalau Faza tahu, dia bakalan mukul kamu kayak biasanya, loh," ucap Sarah sambil natap langit-langit ruangan dimana ia dirawat—maksudnya tubuh Faza.

Sarah itu ... sayang banget ama Faza, makanya pas si adik bilang agar dia jauhin Farel karena tuh cowok katanya playboy, ia nurut manut aja.

"Aku cuma mau tahu aja, kamu sebenarnya suka aku atau cuma bodi aku, Farel."

Sarah noleh ke Farel. Senyum mengembang lagi di wajah Faza. Gak ada kemarahan sama sekali meski tahu Farel macam cowok maruk. Tapi Sarah juga gak mau masuk dalam permainan absurd kayak gini.

Ia suka Farel, tapi Faza lebih berharga daripada apapun.

"Aku gak maksa kamu untuk terima atau gak, tapi aku gak mau pacaran ama orang yang macarin adik aku sendiri," jelas Sarah cukup nge-jleb. Suer, itu nusuk lho ya.

Kesannya kayak 'lo maruk bener, Farel. Macarin dua saudara tanpa mau tahu perasaan mereka kayak gimana'.

.

.

Dan Faza kayaknya udah sampai di rumah, jalan ke kamar sendiri dan ambrukin bodi seksi itu ke kasur.

Faza masih bingung, kenapa Farel gak mau putus dari dia padahal kan sudah ada Sarah.

''FAREL TUKANG PHP!! MATI AJA LO!'' jerit Faza kesal, kemudian tenggelamin wajah ke bantal. Faza terisak, mungkin saking gondoknya yang susah ia keluarin.

.

.

Di rumah sakit, Farel sekarang speechless. Gak tau lagi musti kasi respon apa. Iya dia emang maruk dan ini keterlaluan. Tapi... dia kagak mau kehilangan satupun dari mereka. Dua bersaudara itu seakan sudah melekat di jiwa Farel.

"Kok kamu ngomong gitu sih, Sar?" Farel mencelos mendengar Sarah bilang ogah pacaran ama orang yang macarin adeknya. Lah ini kan gak bisa dihindari!

.

.

.

Sesampai di rumah, Farel lesu, jatuhin bodi jangkungnya ke kasur. Otaknya berasa akan memuai jadi asap dan habis gegara urusan ini.

Farel kangen Faza. Tapi, kalo dia nelpon, pasti Faza bakal kasi omongan yang bikin Farel pusing. Ya, kan? Dan Farel belum siap. Maka, dia pun membiarkan hari terlewati.

Pagi datang.

Farel udah bersiap ke kampus. Ia tau, di sana nanti bakalan ketemu Faza. Yeahh! Siap tak siap, dia musti hadapi Faza. Terserah deh apa jutekan dari Faza ntar, yang penting mereka kagak putus!

Benar aja. Begitu dia selesai parkirin motor, Farel ketemu Faza yang lagi jalan ke gedung Fak-nya. Farel ampe usap tengkuk saking groginya.

"Fa—Sarah..." sapa Farel.

Gadis itu hanya diam sembari menoleh, hingga temukan cowok jangkung yang lagi nyapa dia. "Oh, Farel. Pagi," sapanya balik. Cuma itu, sama sekali gak ada terjangan kasar kayak biasa. Gak ada kalimat Faza yang penuh semangat, bahkan sapaan tadi biasa saja.

Memang Farel ngarepin apa darinya? Bukankah pujaan hati cowok itu sudah bangun? Jadi ia merasa gak diperlukan lagi sekarang.

"Ada yang mau gue omongin." Tiba-tiba, Faza berubah jadi serius dan nyeret Farel ke tempat sepi, lebih tepatnya ke toilet cowok karena jarang didatangi. Beda kalau punya cewek, mereka bahkan pergi cuma untuk sekedar perbaiki make-up.

Sesampainya di sana, Faza langsung pepet tubuh Farel di dinding dengan dua lengannya. Meski tubuh Sarah lebih mungil ketimbang Farel, tapi kan sisi macho sebagai cowok gak hilang sama sekali.

"Kita ... putus."

Dua kata keluar tiba-tiba. Faza sama sekali gak bercanda soal itu. Ia benar-benar minta putus dari Farel. Hei! Faza itu bukan makhluk maso yang rela nunggu satu jawaban dimana orangnya juga sok bingung.

Come on!

"Lo idiot atau apa sih, Rel? Kak Sarah udah bangun, noh! Kenapa lo mau aja pacaran ama gue, heh? Gue cowok, Farel! Lo cuma suka bodi kak Sarah dan gue udah buktiin dari semua ucapan dan tindakan mesum lo!!"

Faza teriak. Persetan lah kalau didengar orang di luar. Pokoknya Faza mau akhiri ini semua. Daripada ia yang galau-galauan gak jelas dan bikin kurang fokus sama semua aktifitas.

Faza mungkin ... yeah, suka Farel, sedikit.

Oke, sepertinya banyak.

Maka dari itu sejak kemarin ia seolah gak terima kalau Sarah bangun dari koma—meski secara visualisasi dan harfiah itu Faza.

"Gue capek nunggu, Rel!! Lo kang php! Lo tukang gantung! Lo egois! Cuma mau mikirin nafsu ama batang lo doang! Gue pacaran ama lo bukan untuk nge-sex terus ama lo! Udah, kita putus aja, deh!" Faza menjerit marah, terus akhirnya terisak. Baru kali ini bocah beringas itu semarah ini sampai ingin menangis.

Farel melongo. Lagi-lagi Faza ngucapin putus ke dia. Putus. Dan Farel—entah kenapa—ngerasa nyesek. Apalagi ngeliat Faza nangis.

Tangan Farel terulur menggapai tubuh itu, ia rengkuh dan benamkan ke dadanya. Mata Farel emang tidak basah, tapi hati dia udah berasa berdarah-darah.

"Kenapa lo ngomong hal ini lagi? Bukannya gue dah bilang untuk gak ngomong ginian?" Farel meluk erat tubuh itu. Apa yang harus dia lakuin? Apa?

Dan sebuah kalimat edan meluncur dari mulutnya. "Gue sayang elu, Za. Gue sayang elu. Gue... entah dah... mungkin juga cinta elu."

Akhirnya Farel ngeluarin kalimat sakti tadi. Ia gak tau harus ngomong apalagi. Dalam benaknya cuma ada rasa tak terima dan perih membayangkan dia udahan ama Faza.

Aneh? Gila? Semprul? Koplak? Otak geser? YA. Dan TERSERAH. Farel udah gak punya amunisi kata-kata lainnya selain itu.

"Udah dong, Za... jangan nangis. Gue ngerasa sakit kalo lo nangis."

Faza angkat kepala dan tatap Farel kurang percaya. Mungkin karena yang ia tahu, cowok itu selalu aja bikin dirinya galau kayak orang frustasi.

"Beneran?" tanya Faza memastikan. Apa benar soal ucapan cinta Farel tadi? Gak cuma buat menghibur doang, kan?

"Beneran lo cinta ama gue, Rel? Bukan cuma bodi kak Sarah, atau hanya buat ngehibur gue biar gak minta putus lagi?" Pertanyaan Faza memburu Farel, ingin tahu. Ia gak mau merasa di-PHP lagi, terus sakit hati dan kemudian galau gak jelas.