webnovel

The Third Eye(Sebuah Cerita Mengenai Kematian) (Tamat)

mayhard20 · Horror
Not enough ratings
10 Chs

Part 8 Pesan dan Kerabat Dekat

Part sebelumnya :

"Aku tahu kalau ini di luar nalar dan logika, Bapak. Tapi, jika tidak saya sampaikan kepada Pak Iwan sendiri, maka hidup saya tidak akan tenang. Saya sudah berjanji dengan mendiang Ibu Pak Iwan untuk menyampaikan ini kepada Bapak dan juga Adik kecil ini," ucap Hanes jujur. "Memangnya apa isi pesan tersebut?" kali ini Pak Iwan terlihat semakin penasaran dengan apa yang Hanes bicarakan.

***

Hanes pun mulai bercerita tentang asal muasal, bagaimana kejadian ini terjadi. Di mana Nenek Rani menemui Hanes dan menjelaskan maksudnya tersebut. Istri Pak Iwan pun datang dan menyuguhkan segelas es teh dingin untuk Hanes. Pak Iwan pun hanya terpaku dengan penjelasan Hanes. Tampaknya masih terdapat sedikit keraguan di mata suami istri ini terhadap Hanes. Nenek Rani terlihat memeluk erat cucunya tersebut. Terlihat, ia begitu bahagia saat itu sembari tersenyum ke arah Hanes. Ia begitu menikmati masa-masa seperti ini pikir Hanes.

Suami Istri ini pun saling tatap satu sama lain sembari mendengarkan penjelasan Hanes tersebut dan kemudian berkata, "Maaf sebelumnya, Dik. Bukan saya tidak percaya dengan omongan adik ini! Tapi ... adakah kiranya cara lain agar kami bisa lebih percaya dengan perkataan adik barusan?" ucap Pak Iwan. "Benar itu, Dik Hanes. Bukan berarti kami meragukan adik yang sudah datang ke sini jauh-jauh. Tapi, bisakah membuat kami benar-benar percaya dengan semua ini? Rasanya sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat," ucap Istri Pak Iwan. Hanes pun terdiam sejenak mendengarkan pertanyaan tersebut. Ia mulai memutar otak tentang bagaimana menyakinkan kedua suami istri ini terhadap pesan dari Nenek Rani tersebut.

Tidak lama kemudian, Hanes pun mendapatkan sebuah ide. "Sebentar Pak Iwan ... Saya punya sebuah ide," ucap Hanes sembari tersenyum. Hanes pun mencoba berkomunikasi dengan Nenek Rani yang masih asik dengan cucunya tersebut. Terlihat cucunya mulai risih karena merasakan aura berat di belakang tubuhnya. Bocah ini pun berkata, "Suasana di sini sangat dingin Ayah!" ucapnya polos sembari mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang. Seperti mengerti maksud Hanes, tiba-tiba saja gelas yang berisi es teh manis itu pun terangkat ke udara. Hal ini dikarenakan Nenek Rani yang memegang benda tersebut dan kemudian menaruhnya kembali. Kemudian, ia pun melangkah menuju ke kamar kosong yang berada di sudut ruangan. Terdengar suara pintu terbuka dengan perlahan-lahan.

"Srett!!" terdengar suara daun pintu yang terbuka.

Pak Iwan dan Istrinya hanya terkejut melihat kejadian aneh tersebut, Hanes pun tersenyum dan berkata, "Nenek Rini ada di sekitar sini. Mari kita ke kamar yang terbuka tersebut. Itu kamar Nenek Rani bukan, Pak Iwan?" tanya Hanes dengan ramah. "Benar ... itu adalah kamar Ibuku," balasnya cepat. Sembari bangkit dari tempat duduknya dan kemudian berjalan ke arah kamar gelap yang berada di sudut ruangan tersebut. Tidak lama kemudian, setelah lampu kamar itu dinyalakan, pemandangan aneh kini terjadi sekali lagi. Laci meja rias itu pun terbuka dengan sendirinya dan sebuah kotak perhiasan pun terangkat ke atas meja. Tidak lama kemudian, sebuah Liontin berwarna perak pun melayang-layang di udara dan mendekat ke arah Hanes, terlihat Nenek Rani hanya tersenyum setelah hal itu selesai.

Hanes pun kembali berkata kepada Pak Iwan dan juga Istrinya, "Ini adalah liontin yang diberikan oleh Nenek Rani untuk cucunya. Ia masih belum tenang kalau hal ini tidak tersampaikan.

Lagipula, terlihat ia benar-benar menyayangi cucunya," Hanes pun mengelus rambut dari adik kecil ini. "Namanya siapa adik manis?" tanya Hanes ramah. "Namaku Indira, Kak!" terlihat ia tersenyum kepadaku. "Nah ini adalah kalung yang nenekmu titipkan ke Kakak. Pesan nenek, kalungnya dijaga ya sama Indira!" aku kembali tersenyum ke adik kecil ini. Dengan bersemangat, Indira pun mengambil kalung tersebut dan meminta Ibunya untuk memasangkan kalung tersebut.

Setelah semuanya usai, Hanes pun berniat untuk segera berpamitan dengan keluarga ini, karena hari memang sudah mulai malam. Tidak terasa sekarang sudah pukul 19.30 WIB pikir Hanes. Terlihat ia memperhatikan jam dinding yang ada di dekat pintu tersebut. Kedua Suami Istri ini pun saling tatap dan kemudian menangis tersedu-sedu. Kini yang terlihat adalah Nenek Rani yang menatapku sembari tersenyum. "Terima kasih, Nak. Kau sudah menepati janjimu. Entah akan jadi apa aku ini, jika kalung itu tidak bisa aku berikan. Mungkin mereka akan lupa dengan keberadaan kalung itu dan bahkan membuangnya. Aku sangat menyayangi cucuku yang bernama Indira ini. Aku harap, ia menjadi anak yang sukses nantinya," terlihat air mata mengalir dari tubuh renta Nenek Rani. Hanes pun membalasnya sembari tersenyum, "Sama-sama, Nek. Aku juga senang bisa membantu Nenek, sekarang ada baiknya Nenek kembali ke alam Nenek. Urusan Nenek sudah usai saat ini," ujar Hanes pelan.

Nenek Rani hanya tersenyum dan kemudian tubuhnya yang samar kini menghilang perlahan-lahan dan menjadi cahaya-cahaya putih yang terbang ke atas. Pelajaran yang dapat Hanes ambil dari kisah Nenek Rani adalah

"Sebuah janji harus ditepati sampai mati. Karena janji adalah hutang!"

Bahkan karena janji seperti ini sang nenek tidak bisa tenang di alamnya. Hanes sebenarnya tidak bisa menilai apakah Nenek Rani ini adalah arwah atau jin qarin yang mendampingi setiap manusia. Tapi yang paling realistis adalah jin qarin. Karena setahu Hanes setiap yang meninggal rohnya akan kembali ke alam arwah dan bukan bergentayangan di dunia.

Hanes pun segera mengambil tas sekolahnya yang berada di ruang tamu dan kemudian mencoba berpamitan dengan keluarga ini. Terlihat Pak Iwan tersenyum kepada Hanes dan berkata, "Terima kasih atas bantuanmu, Dik." Sang istri pun ikut berkomentar, "Aku juga mengucapkan terima kasih banyak, Dik Hanes. Mungkin aku sendiri tidak akan mengingat janji dari mendiang Ibu Mas Iwan kepada Indira. Lagipula Indira juga begitu menyayangi Neneknya!" sembari menatap ke arah Indira. Indira kini sedang asik memperhatikan liontin perak yang ia pakai.

"Kalau begitu saya izin undur diri terlebih dahulu, Pak Iwan," ucap Hanes pelan.

"Eh sebentar ... kamu pulang ke arah mana?" tanya Pak Iwan kepada Hanes. "Saya pulang ke daerah Kemang Manis, Pak Iwan. Kenapa rupanya?" tanya Hanes heran. "Kalau begitu biar saya yang mengantarkan Dik Hanes pulang. Bagaimana?" terlihat Pak Iwan menawarkan untuk mengantar Hanes pulang. "Ah tidak usah, Pak Iwan. Saya bisa pulang sendiri kok," ucap Hanes sembari mengaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal. Hal itu terjadi karena ia juga yang merasa tidak enak merepotkan Pak Iwan. Tapi karena hari sudah malam tidak ada pilihan lagi selain menerima hal tersebut pikir Hanes. "Baiklah, Pak Iwan. Kalau boleh, saya minta tolong diantarkan pulang. Lagipula tidak ada kendaraan lagi untuk pulang ke daerah rumah saya," ujar Hanes polos.

Kemudian Pak Iwan pun segera mengambil kunci mobilnya dan menghidupkan mobil tersebut. Istrinya dan juga anaknya Indira pun diajak ikut bersama mengantarkan Hanes pulang. Kurang lebih sekitar 30 menit kemudian, Hanes pun sudah sampai di depan rumah. Terlihat Pak Iwan terkejut, karena rumah yang ia datangi masih gelap gulita pada saat malam seperti ini. "Ini benar rumahmu, Dik Hanes?" tanyanya penasaran. "Iya pak ... ini rumah orangtua saya," balas Hanes cepat. "Tapi ... kenapa gelap sekali? Apa tidak ada orang di rumah?" tanya Istri Pak Iwan. "Oh itu ... kebetulan orang tua angkat saya baru beberapa hari yang lalu meninggal Pak Iwan. Jadi, sekarang terpaksa saya harus tinggal sendiri," balas Hanes sembari tersenyum.

Kemudian terlihat Pak Iwan mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dari balik saku celananya dan menyerahkan kepada Hanes. "Terimalah ini, Dik Hanes. Bapak turut berduka cita atas meninggalnya orang tua angkatmu. Mungkin bantuan ini bisa sedikit membantu biaya hidupmu sehari-hari," tawar Pak Iwan. "Terima kasih banyak, Pak Iwan!" Hanes pun mengambil uang tersebut dan memasukkan ke dalam kantung baju. Pikirnya jika ia menolak uang tersebut belum tentu uang sejumlah serupa akan ia dapatkan kembali. Setidaknya mungkin ini imbalan untuk bantuannya tadi. Tidak lama kemudian mobil hitam itu pun berlalu dari rumah Hanes.

Hanes sendiri pun segera masuk ke dalam rumah dan kemudian menghidupkan semua lampu rumah yang ada. Ketika akan menghidupkan lampu yang ada di tengah, ia pun terkejut karena melihat Lysa yang sudah duduk di sana. Lysa pun tersenyum ke arah Hanes. "Jadi bagaimana? Berhasil bukan?" tanya Lysa kepada Hanes. "Kau ini mengejutkan aku saja. Iya berhasil, Lysa. Untungnya mereka percaya," balas Hanes cepat. "Jadi apa perasaanmu sekarang? Lega?" tanya Lysa kepada Hanes. "Hmm ... entahlah. Aku juga tidak tahu apakah ini benar atau salah?" terlihat Hanes menunduk ke arah bawah. "Haha ... ternyata kau ini benar-benar manusia yang perasa. Jangan pernah sesali apa yang pernah kamu perbuat. Jika memang itu salah jadikan pelajaran hidup agar tidak diulangi. Jangan menjadi seekor keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama!" terlihat Lysa berkomentar dengan sedikit sarkastik waktu itu. Hanes hanya terdiam dan kemudian berlalu masuk ke dalam kamar mandi.

Keesokan paginya, Hanes pun terbangun karena suara berisik di depan rumahnya. Terdengar suar seseorang mengetuk pintu rumah Hanes. Dengan mata yang masih mengantuk, Hanes pun segera menuju ke arah pintu depan.

"Tok ... Tok ... Tok!!!" "Permisi Pak Purnadi!!! Pak Purnadi!!!" terdengar suara seseorang yang memangil nama Kakek Purnadi, pikir Hanes. "Iya, siapa di sana?" dengan muka masih mengantuk, Hanes pun membuka pintu tersebut. Apa yang ada di hadapan Hanes sekarang adalah seorang pria muda dengan kaca hitam dan rambut klimis. Dengan wajahnya yang sangat rupawan dan bau yang sangat wangi, sosok ini pun kemudian mendekat ke arah Hanes. "Kamu yang bernama Hanes?" tanya pria muda ini kepada Hanes. "Iya aku Hanes ... Bapak ini siapa?" terlihat Hanes sama sekali tidak mengenali orang ini. Dengan cepat, pria muda ini pun memeluk Hanes dengan erat. "Syukurlah Nak!!! Kau sudah tumbuh besar sekarang. Maafkan aku!" terlihat orang ini memeluk Hanes sembari menangis dengan tersedu-sedu. Hanes yang sedang dilanda kebinggungan pun bertanya-tanya di dalam hatinya. Siapa orang ini sebenarnya?

Bersambung

Terima kasih yang sudah berkenan membaca cerita ini.

Bagi kalian yang ingin memberikan Vote sangat dipersilahkan dan jika ingin menanyakan spoiler cerita bisa lewat instagram di mayhard20

Penulis akan dengan sangat senang hati menerima apresiasi, kritik dan saran kalian terhadap cerita ini.

Selamat membaca