webnovel

The Third Eye(Sebuah Cerita Mengenai Kematian) (Tamat)

mayhard20 · Horror
Not enough ratings
10 Chs

Part 6 Permintaan Tolong

Part 6

Permintaan Tolong

Part sebelumnya :

Tiba-tiba saja sebuah vas bunga yang berada di sudut ruangan terjatuh ke semen dan lalu pecah, terlihat Lysa hanya mengibaskan jemarinya ke arah vas tersebut. "Kau membuatku kesal!" balas Lysa acuh. Kemudian, ia pun segera meninggalkan rumah Hanes tersebut. Hanya tersisa Hanes yang terpaku melihat kekuatan Lysa dan memperhatikan vas bunga yang hancur berkeping-keping.

***

Hari ini panas matahari begitu terik terasa. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu. Di mana biasanya sekolah akan libur, Hanes sudah terbangun dari tadi dan mulai merapikan rumah ini. Debu-debu mulai banyak bertebaran dan harus segera disapu agar tidak menumpuk. Begitu juga dengan kaca-kaca dan lantai yang perlu dipel dan dilap sampai bersih. Hari itu, Hanes benar-benar full membersihkan rumah. Hingga akhirnya, ia pun tergolek di atas kursi goyang yang ada di ruang tengah karena kecapaian. Tampaknya sudah lama Lysa tidak muncul di rumah Hanes. Hal ini mungkin sudah 1 minggu berlalu sejak kejadian itu terjadi.

Kehidupan sekolah Hanes biasa-biasa saja. Di mana ia juga sedikit menjauh dari sosok Raka yang populer di sekolah. Ia juga tidak terlalu memikirkan lagi perihal ular naga hitam besar yang selalu mengikuti Raka. Bahkan sekarang sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Hanes sendiri, ketika melihat ular naga itu terbang melayang atau pun berjalan di atas tanah dengan menggerak-gerakkan badannya. Setelah menyadari ia memiliki kemampuan The Third Eye seperti anak-anak Indigo lainnya, Hanes mulai terbiasa dengan pemandangan tak lazim tersebut, seperti melihat roh yang terbang melayang, kuntilanak, pocong, tuyul bahkan jin yang berbentuk api.

Selama ini, ia hanya mendengarkan hal tersebut dari omongan orang-orang saja. Bahwa di sini ada hantu ataupun di tempat itu ada jin. Tapi kali ini, ia benar-benar bisa melihat hal tersebut jika ada makhluk-makhluk gaib di sekitarnya. Efek samping dari semua itu adalah bulu kuduk Hanes akan meremang dengan cepat, lalu terasa gravitasi bumi menariknya ke bawah dan tubuhnya menjadi lemas. Mungkin itu adalah tanda bahwa sebenarnya tubuh Hanes tidak terlalu kuat untuk menahan kekuatan yang ada di dalam dirinya. Walau sebenarnya Hanes juga tidak mengetahui kekuatan apa yang ia miliki. Hanes hanya tahu, bahwa ia bisa melihat apa yang orang lain tidak lihat.

Setelah merasa rumahnya sudah cukup bersih, Hanes pun segera memasak untuk lauk makan siang dan malamnya hari ini. Dengan cepat setelah mandi dan juga mengunci pintu rumah, Hanes pun berangkat menuju ke pasar tradisional yang berada tidak jauh dari rumahnya. Ia berjalan kaki menuju ke sana, karena memang Kakek Purnadi tidak memiliki kendaraan seperti motor atau pun mobil. Beruntung Kakek Purnadi masih memiliki rumah dari hasil kerja kerasnya sendiri yang kini ditinggali oleh Hanes. Kakek Purnadi tinggal sebatang kara tanpa istri dan juga anak. Saudara-saudaranya berkerja di luar negeri, tepatnya di Singapura dan Malaysia. Hubungan mereka memburuk beberapa tahun belakangan. Bahkan saat Kakek Purnadi akan dikebumikan keluarganya juga tidak kunjung datang. Beruntung Kakek Purnadi adalah sosok yang baik dan dicintai oleh tetangga atau pun teman-teman di lingkungan rumahnya, jadi walaupun tanpa sanak family, pemakaman hari itu masih terasa khidmat tanpa kurang suatu apa pun. Dengan langkah gontai, Hanes pun berjalan ke arah pasar. Di mana mulai banyak orang yang menjual sayur mayur, ikan ataupun daging. Hanes hanya membawa uang sebesar Rp.20.000,- saat itu. Ia ingin membeli ikan, sayuran dan juga bumbu untuk memasak ikan tersebut. Setelah 15 menit berkeliling akhirnya ia sampai di pasar ikan. Ia pun mulai memilih-milih ikan mana yang akan dia makan siang ini. Tanpa terasa, Hanes pun tidak sengaja menjatuhkan ikan nila yang ia pegang ke tanah. Dengan cepat, Hanes pun menunduk dan mencoba mengambil kembali Ikan tersebut.

Tapi, alangkah terkejutnya Hanes. Ketika, ia melihat ke bawah meja tempat menjual ikan ini terdapat sesosok makhluk kecil dan pendek dengan dua buah taring yang mengarah ke bawah. Kepalanya botak dengan bola mata besar dan hanya memakai cawat saja. Terlihat makhluk ini sedang asik menghisap darah ikan yang sedang berceceran. Seketika, Hanes pun merasakan mual yang teramat sangat dan tanpa sadar, ia pun muntah di depan los ikan tersebut.

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Ibu sang penjual ikan. "Tidak apa-apa, Bu. Maaf saya sedikit alergi dengan darah ikan," balas Hanes. "Oh pantas kalau begitu, Nak. Baiklah Ibu akan benar-benar membersihkan ikan ini agar tidak ada lagi darahnya ya," ucap si Ibu ramah tanpa curiga sama sekali dengan apa yang terjadi dengan Hanes. "Terima kasih, Bu!" Hanes masih bungkam seribu bahasa perihal apa yang ia lihat. Makhluk itu pun mendelik ke arah Hanes dan kemudian lari terbirit-birit. Entah apa maksud dari makhluk yang mirip tuyul tersebut. Tapi tampaknya, ia memang gemar dengan segala sesuatu yang berbau amis seperti darah.

Setelah merasa cukup dengan segala sesuatu yang diperlukan untuk memasak, Hanes pun segera pulang ke rumah, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Menandakan matahari sedang bersinar dengan teriknya. Setelah sampai di rumah, yang pertama kali Hanes pikirkan adalah untuk segera mengambil air minum. Tidak terasa kerongkongannya benar-benar haus, dikarenakan cuaca yang sangat panas ini. Sekitar 30 menit kemudian bahan-bahan yang Hanes beli tadi sudah selesai di masak dan tiba saatnya untuk makan siang. Dengan cepat, Hanes pun duduk di meja makan dan mulai melahap semua masakan yang ia buat. Selama ini, Hanes selalu diajari oleh Kakek Purnadi tentang cara bagaimana memasak dan mengurus rumah. Karena memang tidak ada orang lain lagi di rumah ini selain Hanes dan juga Kakek Purnadi sendiri. Kini Kakek Purnadi sudah tiada dan hanya tersisa Hanes yang harus menjalani kehidupannya.

Setelah perut telah diisi dengan makanan tadi, Hanes pun kini merasa kenyang dan mulai bersantai di depan teras sembari membuat segelas kopi. Ia memperhatikan orang yang berlalu lalang di depan rumah yang terkadang menegur dan menyapa Hanes. Hanes selalu membalasnya dengan ramah dan santun tanpa membedakan siapa pun itu. Hanes adalah orang yang ramah dan juga baik kepada para tetangganya. Tidak jarang para tetangga sering membawakan makanan untuk Hanes yang kini tinggal sendiri di rumah Kakek Purnadi tersebut. Langit seketika berubah menjadi gelap. Awan hitam mulai menutupi sinar matahari yang masuk dan terlihat rintik hujan kecil-kecil pun mulai perlahan turun. Tiba-tiba saja sesosok perempuan tua yang entah darimana datangnya dan berumur sekitar 70 tahunan berada di depan rumah Hanes. Sosok tua itu pun menyapa Hanes.

"Selamat siang, Nak," ujarnya pelan. "Selamat siang, Nek! Apa yang bisa saya bantu?" balas Hanes ramah. "Bolehkah aku meminta bantuanmu?" tanyanya dengan muka memelas. "Bantuan apa yang Nenek minta dariku?" terlihat Hanes kebingungan dengan orang yang pertama ia temui tapi langsung bertanya seperti itu kepadanya. "Baiklah dengarkan sedikit ceritaku," ucap sang Nenek. Ia pun mulai bercerita kepada Hanes. 

"Aku sebenarnya sudah mati. Yang kau lihat ini hanyalah penjelamaanku saja. Aku merasa hanya kau yang bisa melihatku disekitar sini. Tampaknya juga, kau tidak takut denganku! Bantulah aku, Cu! Aku ini hanya seorang Nenek yang masih ada janji dengan cucu kesayanganku. Karena itu tidak memungkinkan aku untuk memenuhi janjiku kepada cucu kesayanganku tersebut. Aku pernah berjanji dengan cucuku akan memberikan ia sebuah liontin berwarna perak. Liontin itu sudah aku beli dan aku taruh di rumah. Tolong beritahukan kepada anakku yang bernama Iwan. Beritahu dia, bahwa aku memiliki sebuah kado untuk cucu tercintaku Indira. Aku masih memiliki hutang kepada cucuku tersebut. Oleh karena itu, aku belum bisa tenang," terlihat air mata menetes dari wajah keriput sang Nenek.

"Tapi ... bagaimana mungkin anakmu akan percaya dengan semua ini, Nek?" tanyaku pelan. "Ya aku pun kesulitan dengan semua itu. Aku ingin berinteraksi dengan anakku. Tapi sayang, ia sama sekali tidak dapat melihat dan merasakan aku. Begitu juga aku yang tidak bisa merengkuh tubuhnya lagi. Kini aku benar-benar menjadi hantu yang penasaran. Bantulah aku, Cu. Apakah kau tega melihat nenek tua sepertiku ini menjadi hantu gentayangan?" balas si nenek dengan raut muka sedih.

"Baiklah, aku akan berusaha membantu sebisanya, Nek. Tapi aku tidak berjanji bahwa ini semua akan berhasil. Dapatkah nenek menunjukkan kepadaku? Di mana rumah dari cucu dan anak kandungmu itu?" aku mulai bertanya tentang di mana lokasi rumah tersebut. "Tempatnya berada di Jalan Srikaya No. 35. Rumah bercat biru itu adalah rumahku dan kalung liontin perak itu terdapat di laci meja kamarku. Tanyakan saja itu kepada anakku nanti," terang sang nenek.

"Baiklah kalau memang seperti itu, Nek. Aku akan segera ke sana nanti. Sekarang sedang hujan, Nenek kembalilah. Besok pasti aku akan pergi menemui cucu dan anak kandungmu itu!" balas Hanes ramah. "Terima kasih, Nak!" tidak lama kemudian sosok tersebut pun hilang.

Ketika Hanes menoleh ke arah belakang ternyata Lysa sudah duduk dengan santai di kursi teras, di mana Hanes duduk tadi. Terlihat, ia menatap langit yang mulai mendung. "Baik juga kau mau membantu arwah penasaran seperti nenek itu tadi," ucapnya ketus. "Hmm ... maafkan aku perihal yang kemarin Lysa. Tidak ada maksudku untuk menghina atau pun menyindir perasaanmu itu," balas Hanes dengan nada bersalah. "Sudah lupakan saja. Lagi pula aku sudah mati! Untuk apa aku dendam dengan orang sepertimu itu. Hanya menghabiskan energiku saja," balas Lysa ketus. "Apakah salah? Jika aku membantu nenek itu tadi?" aku kembali bertanya kepada Lysa. "Itu urusanmu dan silahkan kau pecahkan sendiri Hanes. Lagi pula kau sudah berjanji kepadanya bukan?" ucap Lysa datar. Hantu cantik bermuka pucat ini pun masih memandangi langit tanpa bicara sepatah kata pun.

Bersambung