webnovel

CHAPTER 3 - Melihat Masa Depan?

Hiro memandang langit - langit kamar nya dengan tatapan kosong.

Kejadian kemarin terasa sangat …

Ia tak dapat menggambarkannya.

Aneh.

Tidak masuk akal.

Saat Hiro mengantar Yue pulang, semuanya berjalan… sangat normal, seperti ia sudah pernah melakukan hal itu sebelumnya. Sampai - sampai ia merasa ini sudah kesekian kalinya ia mengantar Yue.

INI BARU PERTAMA KALI, TOSHIHIRO!!

Hiro memarahi dirinya sendiri.

"Apa kau sudah gila?!" Hiro teringat perkataannya saat menarik tangan Yue Akasaka. Wajah Yue yang bingung. Hiro menutup wajahnya dengan selimut sambil mengerang. Rasa malu menyergapnya tanpa ampun. Hiro menendang-nendang selimutnya ke atas.

"Ugh…" Ia melirik ke jam meja di sebelahnya.

Akhirnya Hiro bangun dan bersiap.

Bel tanda masuk telah berbunyi di Sekolah Meito. Murid - murid mulai duduk di kursi masing - masing. Suasana belajar berlangsung dengan tenang. Tidak ada hambatan yang berarti, namun Hiro masih merasa was - was. Bagaimana tidak, memori yang datang malam kemarin masih menghantuinya.

Sampai siang ini tidak ada visi yang datang. Jam istirahat pun tiba. Hiro dapat bernapas lega sedikit.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama.

Deg! Hiro menyangga tubuhnya yang mulai oleng ke tembok. Untung saja koridor sedang sepi sehingga tidak ada yang memperhatikannya, tapi pasti sebentar lagi akan ada murid-murid yang keluar untuk beristirahat.

"Aku tidak tahu ternyata Sensei itu guru yang genit ya."

"Aku punya bukti kalau Sensei merayu salah satu murid disini kemarin malam."

"Kalau Sensei tidak mau foto ini tersebar, jangan macam - macam!"

Dan memori pun berhenti. Hiro dapat bernapas kembali.

Alis Hiro bertaut bingung.

"Apa itu tadi?"

Wajah Kenzo Tanaka muncul dalam pikirannya. Ia kelihatan sedang memarahi bahkan mengancam Hiro dengan menunjukkan foto dirinya dan Yue sedang berjalan semalam di layar ponselnya. Lalu Hiro juga melihat Kenzo berbicara dengan begitu keras membuat murid - murid lain datang berkerumun. Hiro tak berkutik. Untungnya itu hanyalah visi. Belum menjadi kenyataan.

Tapi akan… Jika Hiro tidak melakukan sesuatu.

Mengapa Kenzo? Hiro tidak mengerti.

Apa hubungan Kenzo dengan Yue? Apakah karena Kenzo wakil representatif kelas?

Tak berapa lama, orang yang dipikirkannya tadi muncul. Dari ujung lorong terdengar suara langkah kaki, dengan ekspresi sengit sedang menatap ke arahnya. Ia membetulkan kacamata sambil membawa ponsel di tangannya. Postur tubuhnya yang tinggi ramping membuatnya menonjol.

Kenzo Tanaka.

"Sensei, punya waktu sebentar?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

"Ada apa, Tanaka-san?" Hiro masih menjawab dengan sopan. Saat inilah ia dapat menguji, apakah visinya itu benar atau tidak.

"Sensei, aku tidak percaya Sensei ternyata adalah guru yang seperti itu." ucapnya sambil menyilangkan tangan.

Perkataannya mengandung makna yang sama namun dengan kosa kata yang berbeda.

"Apa maksudmu, Tanaka-san?" Hiro menegakkan posisi badannya. Ia mendorong tubuhnya yang sedari tadi ditopang sikunya.

"Aku tidak tahu ternyata Sensei itu guru yang genit ya."

Ahh… Hiro mengerti sekarang. Jadi ini yang dimaksud visi tadi.

"Maksudmu karena aku mengantar Akasaka-san kemarin malam?" Hiro tidak bisa membiarkan apa yang ia lihat tadi terjadi sampai akhir. Ia harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya.

Apakah sebuah visi dapat dihentikan kalau aku melakukan sesuatu yang berbeda? Tanya Hiro dalam hatinya.

Kalau ia tidak melakukan apa-apa, Hiro akan kalah telak dari muridnya sendiri, meskipun ia hanya mengajar sementara di sekolah ini. Hiro dapat melihat dirinya berakhir dengan Kenzo yang membully-nya terus menerus.

"Aku punya bukti kalau Sensei merayu salah satu murid disini kemarin malam." ucap Kenzo dengan yakin.

Hiro dapat melihat senyum Kenzo yang congkak. Ia merasa di atas awan. Hiro pun menatap mata Kenzo lekat - lekat. Kenzo mundur selangkah, bingung dengan apa yang dilakukan gurunya berbeda dari apa yang duga.

"Merayu? Jaga bicaramu, Tanaka-san." Hiro berbicara dengan suara yang sangat pelan namun tegas.

Ia maju selangkah.

"Ta-tapi…" Kenzo berusaha melawan, tapi Hiro sudah mengetahui apa yang akan ia katakan.

"Jika yang kau maksudkan itu mengantar muridku sendiri karena ia berjalan sendirian malam-malam disebut merayu… kau salah besar."

Hiro berusaha menutup jarak di antara mereka.

"Ka-ka…kalau…"

"Apa ada yang masih ingin kau katakan Tanaka-san?"

"Mmmm-Tidak Sensei!" jawab Kenzo dengan cepat. Wajah Kenzo merah seperti seperti kepiting rebus. Ternyata Mabuchi Sensei tidak selemah yang ia kira. Kenzo menunduk kemudian berbalik arah dan berlari tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Hiro seorang diri.

Hiro menghembuskan napas lega. Jika saja visi tadi tidak datang. Mungkin hal yang akan terjadi memang akan…

Hiro bukanlah orang yang pemberani, apalagi di tempat baru seperti ini dengan orang - orang yang tidak ia kenal. Sudah pasti ia akan terintimidasi jika memang ada yang mengancamnya seperti itu.

"Hufff.. Benar - benar…"

Alam semesta sedang mengerjainya… atau membantunya?

Apakah mungkin… ia bisa melihat masa depan?

Hiro menggeleng.

"Tidak masuk akal." ujarnya dalam hati.

Hiro berjalan sambil melamun, Tidak sadar kakinya melangkah ke ruang laboratorium kimia. Lamunannya berhenti sebelum tangannya menggeser pintu.

Visi yang lain muncul. Ia melihat dirinya masuk ke dalam ruang laboratorium dan bertemu lagi dengan Yue Akasaka. Dirinya dan Yue akan berbincang mengenai sesuatu. Hiro sebelumnya tidak tahu Yue menyukai pelajaran kimia dan sering memakai laboratorium.

Sekarang ia tahu…

Dan benar saja. Di balik jendela kecil di pintu, ada siluet seseorang yang mengenakan jas putih sedang mengerjakan eksperimen dengan serius. Hiro mengenali punggung yang menghadapnya. Sejak beberapa kali bertemu, punggung itu begitu familiar olehnya.

Hiro melepaskan gagang pintu dan berjalan menuju arah sebaliknya.

Ia akan kembali nanti.

Kalau memang kejadian Kenzo tadi dapat dicegah…

Bagaimana kalau ia melakukan hal yang berbeda pada kejadian Akasaka juga?

Akankah masa depan berubah?

"Apakah aku melakukan hal yang benar? " tanyanya dalam hati. Hiro tak sadar ia berjalan dengan cepat. Suara langkah kakinya memantul di koridor yang sepi.

"....buchi-kun!" Seseorang memanggilnya dari belakang.

"Apakah semua ini memang kebetulan atau…"

"Toshihiro Mabuchi-kun!" Panggil seseorang dengan lebih keras.

Hiro berbalik dan menemukan kepala sekolah sedang mengejarnya dengan terengah - engah. Kakinya yang panjang membuatnya langkahnya lebih lebar daripada orang lain pada umumnya.

"Jimmu Gakkou-chou! Selamat siang!" Hiro menunduk hormat.

Jimmu, kepala sekolah Meito yang sudah berumur 50-an berhenti di depan Hiro sambil mengambil napas. Wajahnya terlihat bijaksana dan helai rambutnya sudah memutih karena usia. Walaupun usianya sudah tidak muda lagi namun ia masih terlihat gagah.

Ia mengibaskan tangannya sambil tersenyum. Kerutan di sudut matanya semakin terlihat.

"Ahh… sudah tidak apa - apa. Toshihiro-kun apakah kau sedang terburu - buru?"

"Oh tidak, Gakkou-chou. Maaf saya sedang melamun tadi." Hiro membalas tersenyum.

"Ada apa memanggil saya?"

"Begini… sebelumnya saya memohon maaf terlebih dahulu dikarenakan karena keterbatasan tempat. Apakah Sensei bersedia dipindah ruang kerjanya di sebelah laboratorium kimia?"

Hiro terdiam.

"Laboratorium k-kimia?"

"Maafkan saya sekali lagi. Sebenarnya meja kerja yang anda tempati akan dipakai oleh guru lain. Dan saya pikir laboratorium itu lebih besar dari meja kerja saat ini, tapi banyak yang tidak mau karena ruangan itu hanya untuk satu orang dan…"

"Saya mengerti."

"Maafkan saya jika anda tidak… Oh! Anda bersedia?" Sekarang giliran kepala sekolah yang terkejut.

Hiro mengangguk, "Ya saya bersedia untuk dipindahkan."

Ruang pribadi untuk dirinya? Tentu saja!

Kepala sekolah langsung menjabat tangannya dengan bersemangat.

"Terima kasih banyak, Toshihiro Mabuchi Sensei! Ini kuncinya. Silahkan ditempati! Selamat siang Mabuchi-kun!"

Kepala sekolah pun menghilang. Hiro menggaruk kepalanya.

"Uhmmm…" Hiro bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.

Ia menatap kunci di tangannya.

"Haaahh… sudah lama aku tidak mendapat ketenangan seperti ini." tuturnya sambil melemparkan dirinya ke sofa di ruang barunya. Ia sudah membawa barang - barangnya dari meja kerja lamanya. Guru-guru lain terlihat sedih karena tidak satu ruangan dengan Hiro. Namun Hiro hanya membalas dengan anggukan dan senyuman saja. Hiro lebih menyukai kesendirian.

Hiro melihat ke sekeliling ruangan barunya. Di ujung ada sebuah kursi beroda dan meja kayu layaknya ruang guru. Namun jendela yang besar di belakangnya memberikan kesan yang estetik. Di depan meja ada sofa yang sedang didudukinya dengan sebuah meja teh untuk menemani. Dan di hadapan Hiro sekarang terdapat sebuah rak buku yang menempel ke tembok dari ujung ke ujung. Ia tidak tahu buku - buku apa saja di sana.

Ruangan ini cukup luas untuk dirinya. Dan yang terpenting, tidak ada siapa-siapa disini selain dirinya.

Hiro melihat ada 2 pintu di sampingnya. Tepat di dekat sofa ada sebuah pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan laboratorium. Mungkin untuk memudahkan guru melakukan eksperimen dan mengambil buku tanpa harus keluar ruangan terlebih dahulu.

"Hmm." Hiro puas dengan ruangan barunya. Ia pun memejamkan mata. Masih ada waktu beberapa menit sebelum kelas dimulai kembali. Di luar terdengar bunyi langkah murid - murid yang berlalu lalang.

Tiba-tiba Hiro mendengar sesuatu.

Matanya terjaga kembali. Ada suara samar yang tak lazim ia dengar dari luar ruangan ini. Ia mulai mencari sumbernya.

Perlahan… suara itu mulai membesar. Telinganya menempel ke tembok yang membatasi ruang laboratorium dengan ruangan ini.

Ada suara isakan yang terdengar.

Tepat di balik tembok ini!

"Han-tu…?" Hiro cepat - cepat menggeleng untuk menepis pikirannya. Sejak kapan ia percaya hantu?

"Lalu siapa yang…" Hiro menarik nafas, ia berdiri di depan pintu penghubung sambil menelan ludah.

Brak!

Pintu terbuka dengan satu hentakan keras. Tidak ada orang! Hiro mulai panik. Suara tangisan berhenti.

Dari sudut matanya ia melihat seseorang…

"WAAAAAGHH!!"

Hiro berjengit ketika melihat seorang wanita berjubah putih sedang berjongkok di dekatnya.

Tunggu!

Orang itu…

"Aka…saka-san?" tanya Hiro ragu.

Mereka bertatapan selama beberapa detik.

"Pfffftttt… Sen.. Sensei mengira aku hantu…?" Yue tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena terhalang tawanya sendiri. Karena kejadian tadi, Ia terpaksa mengundang Yue ke ruangannya. Hiro yang sedang membuat kopi berusaha mengabaikan komentar Yue dan berkonsentrasi dengan cangkir kopi di hadapannya.

"Susu? Gula?"

"Susu."

"Oke pakai susu."

"Uhmm… Sensei, aku belum menjawab apapun."

Hiro berhenti.

Ternyata yang ia dengar tadi adalah sebuah visi.

"Darimana Sensei tahu aku akan menjawab susu?"

"Uhmm… Oh! Biasanya gadis seumuran dirimu sedang menghindari gula kan?"

Alis Yue bertaut.

Hiro menahan napas.

"Benar juga…" balas Yue. Hiro menghembuskan napas lega. Ia membawa dua gelas kopi dan meletakkannya di atas meja kecil di depan sofa depan Yue. Yue mengucapkan terima kasih kemudian mulai menyeruput kopinya.

Yue melihat ke sekeliling dengan ekspresi penasaran.

"Jadi ruangan ini milik Sensei sekarang?"

"Begitulah." jawabnya singkat. "Aku bisa menempati ruangan ini sampai praktek kerjaku berakhir."

"Ahh.. begitu rupanya. Berarti aku bisa sering - sering kemari?" tanya Yue tiba-tiba.

Hiro hampir saja menyembur kopinya. Ia terbatuk - batuk karena tersedak. Yue bangkit berdiri kemudian segera mengambil segelas air dan menyodorkan pada Hiro.

"Terima kasih…"

"Maaf, Sensei. Aku hanya bercanda." ucap Yue sambil tersenyum lebar.

"Tapi aku tidak keberatan."

"Ehh…"

"Jadi apa yang membuatmu menangis tadi?" Hiro kembali serius.

"Aku tidak menangis!"

Hiro melihat jawaban Yue dalam pikirannya. Kali ini visi yang datang tidak membuatnya kaget lagi. Ia sudah mulai terbiasa dengan Yue Akasaka yang secara acak muncul dalam pikirannya.

"Menangis? Siapa? Aku? Tidaakk…" Yue mengalihkan wajahnya ke arah lain sambil meyeruput kopinya.

Hiro tersenyum kecil. Ia melihat dirinya terus memancing Yue namun sia - sia. Yue tetap tidak mau membicarakannya.

Bagaimana kalau ia melakukan pendekatan yang berbeda kali ini?

"Tidak apa - apa, Akasaka-san. Anggap saja aku tidak melihatnya."

Lebih baik pura - pura tidak mempedulikannya.

Yue menunduk sambil memutar gelas di tangannya.

"Kalau aku menceritakannya, Sensei jangan marah ya?"

Hiro mengangguk.

"Sebenarnya… tadi aku menangis karena mataku kena cipratan etanol di laboratorium."

Waktu berhenti selama beberapa detik. Jawaban Yue sangat tak terduga.

"Apa?! Kenapa tidak bilang?!" Hiro bangkit dari sofanya.

"Sudah dibilas air?! Apa masih sakit?" tanya Hiro dalam kepanikan. Ia menyentuh wajah Yue dengan telapak tangannya.

"Sensei… Sensei! Aku hanya bercanda, bukan itu alasan sebenarnya." Yue menyentuh lengan Hiro untuk menenangkannya. Hiro terdiam sesaat. Wajah mereka berdua dekat sekali. Jantung Yue ikut berdebar karenanya. Ia dapat merasakan napas Mabuchi Sensei di wajahnya.

Hiro harus mencerna beberapa detik sebelum akhirnya kembali duduk di sofa.

"Maafkan aku, Sensei." ujarnya sambil tertawa kecil untuk menyembunyikan rasa gugupnya.

"Benar - benar…" Hiro tidak percaya ini. Ia sudah berkali - kali melakukan hal yang memalukan di depan Yue Akasaka.

Seperti citranya sudah tercoreng di depan anak muridnya sejak hari pertama.

"Sebenarnya alasanku menangis itu hanyalah alasan bodoh." Tangan Yue mengepal. Ia terlihat gugup.

"Mungkin Sensei kenal dengan Kenzo Tanaka, wakil representatif kelas?"

"Tanaka? Ya aku ingat." Kilas balik kejadian tadi masih segar di ingatannya.

"Dan… dia.. Kami pernah berpacaran."

"Oh." Hiro mulai mengerti kemana arah cerita ini, tapi ia tetap memperhatikan penjelasan Yue.

"Dia melihat aku dan Sensei kemarin malam dan..."

Yue mendesah napas lelah.

"Sensei jangan marah ya, aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa kita bertemu tidak sengaja dan… dia malah semakin marah padaku dan pada Sensei."

"Aku mengerti."

''Untuk itu aku minta maaf soal sikapnya pada Sensei. Dia punya… masalah emosi…"

"Sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Aku mengerti." Hiro bersandar di sofa yang berhadapan dengan Yue. Posisinya mulai rileks.

"Tenang saja, Akasaka-san. Urusan dengan Tanaka kuanggap sudah selesai, dia sudah bertemu denganku tadi."

"Benarkah? Syukurlah!" Yue menghembuskan napas lega.

Hiro membalas dengan senyuman tipis. Akasaka tidak perlu tahu kejadian yang sebenarnya.

"Jadi Sensei…"

Bel tanda istirahat usai telah berbunyi. Murid - murid mulai kembali ke kelas mereka masing-masing.Yue yang mendengar bel sontak bangkit berdiri dan tersenyum pada Hiro sambil menunduk hormat.

"Terima kasih, Mabuchi Sensei untuk kopinya. Aku pamit dulu." Hiro mengangguk kemudian mempersilahkan Yue.

Setelah Yue menutup pintu, wajah Hiro kembali serius. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Jadi… jika aku melakukan hal yang berbeda? Masa depan dapat berubah?"

Hiro menyimpulkan dari dua kejadian kemarin, adanya perbedaan alur yang terjadi namun hasilnya tetap sama.

"Menghindari jembatan untuk menghindari Akasaka, aku tetap bertemu dengannya. Tidak pergi ke laboratorium, tetap bertemu dengannya di jam yang lain. Membalas Kenzo dengan jawaban yang lain apakah akan ada efeknya?" Hiro bergumam di tengah keheningan. Bahkan saat ini ketika ia memberikan jawaban yang berbeda pada Akasaka, ia juga mendapatkan hasil kejadian yang berbeda.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sampai kapan hal ini akan berlangsung?

Hiro teringat salah satu buku yang pernah ia baca.

"Apa ini termasuk efek kupu - kupu?" Ia termenung beberapa saat.

Hiro melihat jam tangannya.

"Oh ya, aku harus mengajar!"

Hiro bangkit berdiri, meninggalkan semua kekalutan pikiran di belakang.

Di atas meja, ada sebuah pesan masuk ke ponselnya.

'Hey'

'Punya waktu malam ini?'