webnovel

Perihal Waktu

Kecewaku pada sang waktu sudah tidak lagi terhitung. Waktu yang membuat kisah, waktu pula yang membuat terpisah

Perihal rasa,

Tidak perlu masa lalu untuk menyesal, pula masa depan jika harus menghempaskan. Hidup bukan tentang apa yang kita hasilkan, tapi apa yang telah kita perjuangkan. Terus berusaha maju melangkah, karena mundur bukanlah sebuah pilihan

Separuh dariku berkata, sampai kapan kau akan bertahan? Kukuh pada pendirian yang terlupakan, hidupmu bukan hanya tentang masa lalu atau pun kenangan, berlari sekuat kau mampu, cukup rasamu saja yang mati, jangan dengan ragamu. Masa depan akan tetap menjadi omong kosong belaka, jika kau masih bergelut dengan rasa ketakutan.

Dasar pecundang....

Duniaku tak berubah, masih tentang kepergian yang ber-transformasi menjadi kenangan, Tentangmu. Lalu, pantaskah kau ku panggil pencuri? Tapi aku sadar, aku yang dengan sukarela memberikan segalanya, memberikan apa pun yang seketika bisa menghentikan duniaku. Dan pada akhirnya, "kau pergi," aku hanya terdiam. "kau pergi" langkahku pun terhenti. "kau pergi," tidak, kali ini kau benar-benar menetap, bahkan utuh, dalam sepi yang merangsak masuk, jauh ke dasar lamunan, mencengkeram ingatan. Entah kau sengaja atau lupa membawa tentangmu di pikiranku, atau mungkin aku yang terlalu dungu, membiarkanmu masuk sedalam-dalamnya dan teramat lemah untuk pergi mengusirnya.

Muara dari segala bentuk pertemuan tetap saja adalah perpisahan. Hari di mana pernyataan itu terucap, menjatuhkan hati atas pilihan yang aku sengaja, dan sangat sukarela bahwa memang ini milikmu. Tetap saja tidak cukup kuat untuk menjadi ramuan penawar dari racun yang aku sebut kepergian. Jelas, itu memang hakmu sebagai manusia, itu pilihanmu, aku pun patut menghargainya. Termasuk dipaksa harus menelan getir sakitnya.

Mencintaimu bukanlah satu hal yang aku rencanakan, justru melupakanmu, hal yang sangat sulit untuk dapat aku lakukan. Lalu pada akhirnya aku sadar, waktu tidak selalu menjadi jawaban dari segala jenis pertanyaan.

Malam sudah terlampau larut, terlalu pagi. Sangat hening, bahkan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, beriringan dengan nyanyian jarum jam yang terus berdetak, menandakan kenestapaan yang kini sedang aku rasakan.

Bersamaan dengan rasa kantuk yang kian menyerang, kekhawatiran tentang bagaimana aku bisa tanpamu, terus menari di dalam pikiran. Jelas, aku masih tidak bisa menerima. Beberapa tahun terakhir menjalin hubungan, bukanlah hal yang mudah untuk dapat dilupakan begitu saja. Sementara, ada hak yang harus aku terima darimu, penjelasan mengapa dan ada apa sampai harus berujung seperti ini. Aku bahkan tidak ingat, terakhir kali kita bertengkar karena apa. Selain karena aku lupa hari ulang tahunmu, setelah dua bulan kita resmi menjalin hubungan, sewaktu Kelas Xl. Karena kau juga tahu, aku tidak suka jika berkurangnya usia dijadikan sebuah perayaan.

Aku berharap ini hanya mimpi, tapi tidur pun aku masih belum sanggup.

"Menaruh harapan pada segala sesuatu secara berlebihan adalah satu dari sekian banyaknya upaya merawat kesedihan. Sadarlah, kau bukan bulan. Sedang dia, adalah bintang yang semestinya berada di semesta. Bersikeras untuk tetap meraih, tentu saja kau akan meraup perih. Dan satu-satunya jawaban jika kau tetap bertahan, adalah alasan dari semua kepedihan."

Tatkala gerimis mengguyur fajar, sekelebat kenangan kembali datang tanpa perlu di undang. Kantung mata pria bertubuh ringkih ini sudah semakin terlihat coklat, namun masih bersikeras untuk tetap terjaga, meskipun tubuh kecilnya terus membujuk agar sepasang matanya dapat segera terpejam.

Kubasuh luka dengan derai air mata

Terjadi di antara cinta dan kecewa nestapa melanda

Bersama gugurnya putik bunga bermekaran

Seraya daun-daun gugur beterbangan

Aku sadar, cinta memang tak mesti harus memiliki

Tapi apakah harus dengan rasa yang selalu tersakiti?

Segelintir pertanyaan itu seketika bermunculan, menjadi alasan mengapa pria berambut ikal tak beraturan ini sangat menggilai lamunan. Abil Khoir, orang-orang biasa memanggilnya Abil, Ia bukanlah manusia cerdas ber-IQ tinggi layaknya Einstein, hanya seorang pemuda yang tidak pernah kehabisan stok pemikiran dalam garis hidupnya, sekecil apa pun itu. Salah satu alasan mengapa Ia tidak begitu suka dengan keramaian.

Berkaitan dengan hal magis yang bernama cinta. Baginya, ini adalah bumbu sebuah pemikiran besar untuk dapat Ia pikirkan se-detail mungkin. Renungan demi renungan kini menjadi kesibukan yang terpaksa Abil lakukan. Tidak begitu lama untuk dapat merubah kenangan manis menjadi sepahit itu, hanya butuh dua hari setelah resmi perpisahan itu terjadi. Di hari pertama, Abil masih bertanya-tanya dan tetap saja tidak percaya bahwa memang ini terjadi. Dan di hari kedua, Ia sudah merasa lelah untuk terus membohongi diri dan berharap jika ini hanya mimpi. Sebenarnya Abil telah sadar, hanya saja Ia belum berani menerima kenyataan, kenyataan telah hancurnya mimpi yang Ia tata rapi dengannya. Ah tidak, kenyataannya hanya Abil yang merapikan.

"Aku bisa menyambutmu ketika datang, tapi tak pernah bisa merelakanmu untuk pulang. Sesulit inikah menghapus kenangan, hingga meredupkan angan yang tidak lagi berkesanggupan. Darimu kutemukan rasa, juga sekaligus luka. Kau memintaku untuk pergi, setelah dengan mudahnya kau mendatangkan sebuah pelangi."

Apakah ini terjadi, apakah ini sudah berakhir? Aku tanya, bagaimana keadaanmu, apakah kau baik-baik saja setelah berakhir denganku? Ini klise, tidak nyata. Kata orang, jika salah satu dari kita masih memikirkan yang lain, dan yang lain itu pun, jelas masih belum bisa melupakanmu. Benarkah demikian, apakah kau sama seperti orang lain itu?

,.,.,.,

Hari demi hari telah terlewati, tetap saja bayangmu masih belum menepi. Aku lupa, mungkin kau telah berpindah hati, tapi apa kau tahu, rasa ini tetap tak bisa berhenti. Meskipun jika seluruh dunia akan ikut bernyanyi, tanpamu, hati ini tetaplah sepi.

Jelas, aku merasakan perbedaan setelah ini. Terutama ketika melihatmu, mungkin kau juga melihatku. Dulu, akan selalu ada senyum tatkala kita saling berpapasan. Namun kini, aku merasakan kejamnya waktu, telah mempertemukan dua angan yang tidak lagi saling berangan-angan, dua cengkeraman yang berjuang saling melepaskan. Seketika aku menjadi si bisu, hanya bisa mendongak dengan tajam memandangimu. Sedang dirimu, seolah-olah buta, menunduk tanpa pernah menyadari keberadaanku, yang padahal berada di hadapanmu, selalu saja seperti itu.

Ingatkah saat pertama bertemu, satu sore berwarna jingga, tatkala cakrawala terbakar mentari di tepian dermaga yang separuhnya dilahap lautan. Dengan lantang aku mendendangkan satu lagu semesta berwarna cinta, diiringi gitar coklat kusam yang aku pegang. Aku tahu, kau tersipu saat mendengarnya, kemudian kau melewati kerumunanku sembari menatap ke arahku, aku pun sebaliknya. Secara tidak sadar, kau sudah menanam benih-benih cinta yang berujung pada pesan-pesan rasa yang keesokan harinya aku layangkan. Pertemuan demi pertemuan mulai tercipta, tidak begitu sulit menempati posisi di hatimu, aku yang tak sungkan meminta kepastian, kau yang dengan sukarela memberikan harapan. Hingga pada pertemuan itu, di sebuah dermaga berwarna biru, pesisir pantai Tanjung Kait. Tepat malam pertengahan bulan lima, aku menyatakan keinginan untuk memilikimu. Tidak seperti kebanyakan pria lain, pernyataan yang seharusnya terucapkan, justru tidak aku utarakan. Dengan lancang, aku memegang tangan halusmu, membuatmu terpaksa menatap ke arahku, hanya terpaut beberapa sentimeter saja, sedekat itu. Empat mata saling tatap, tanpa satu kata pun terucap. Seketika ujung dermaga itu hening, gemuruh ombak menjadi teduh, semrawut angin hilang ditelan senyap, mengiringi dua hati yang bergejolak saling memandang, terpancarkan cahaya Tuhan. "plak," bibirku mendarat di bibirmu. Aku bergeming, benarkah apa yang sudah aku lakukan. Tubuhku bergetar, takut kau akan marah karena kelancanganku. Tapi apa yang aku dapat, justru kau malah memelukku erat, sangat erat. Berisyarat bahwa kau telah memilihku untuk memilikimu.

Namun kini, ternyata aku hanyalah tapi dari apa pun yang selama ini kau cari. Dan apa kau tahu, Patah hati terberat adalah ketika memohon kepada Tuhan, bukan untuk menyatukan, melainkan untuk dapat saling melupakan.

Yang berhenti hanya cerita, bukan rasa

Yang berlalu hanyalah dirimu, tidak dengan rindu

Aku mencoba melepas, meskipun tidak akan pernah ikhlas

Lalu aku coba menepikan rasa, dengan berat dan sangat terpaksa

Bagiku, akan selalu ada alasan untuk pergi menjauhimu, tapi tak pernah ada alasan untuk bisa berhenti mencintaimu.

,.,.,.,