webnovel

Sebuah Pengakuan

"Berhubung kamu sudah tahu namaku, nampaknya kita tak perlu basa-basi," desis Nay parau. Ada perlu apa datang kemari?" tanya Nay dengan ketus.

Ditatapnya wanita berambut panjang itu dengan nanar.

Entah darimana wanita ini bisa mengetahui namaku. Ahh! aku pribadi tak peduli.

Di zaman media sosial seperti sekarang, bukan hal sulit untuk bisa stalking kehidupan seseorang apalagi hanya sebuah nama, termasuk dirinya. Akun-akun sosial beterbaran di mana-mana, membuat seseorang sangat mudah menjelajahi dunia maya. Termasuk Nay, yang mengenal Yusuf dari sebuah akun Facebook.

Wanita yang berdiri tegak dihadapan Nay berparas cantik. Dibandingkan dengan dia sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya saja, wanita itu dengan leluasa memperlihatkan rambut panjangnya yang sedikit dibuat blonde sedangkan rambut Nay terbungkus rapih dengan jilbabnya. Diakui oleh Nay, nyali wanita yang ada dihadapannya cukup besar. Ia berani datang tanpa peduli seandainya diusir seperti seekor kucing sekalipun!

"Bisakah kamu tinggalkan Mas Yusuf?" pinta wanita yang menyebut dirinya Indri.

Sesaat Nay terenyak. Tidak mampu membuka mulutnya. Berani-beraninya, dia meminta hal yang tak mungkin Nay kabulkan dengan mudah.

Nay menatap runcing matanya, "bagaimana bisa kamu menyuruhku meninggalkan Mas Yusuf, sebentar lagi kami akan menikah," tukas Nay.

"Aku dan Mas Yusuf sudah saling dekat selama satu tahun hingga akhirnya kamu datang di kehidupan kami," cetus Indri tanpa mengalihkan pandangannya dari Nay.

Perasaan Nay teraduk-aduk. Lidahnya terasa kelu, ia membisu sesaat.

"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan ikhlas melepas Mas Yusuf," timpalnya.

"Aku berubah pikiran, Nay. Aku hanya berusaha mempertahankan apa yang sudah aku miliki sebelumnya.," katanya datar. Kering. Tanpa emosi.

Sungguh keterlaluan!

Apa hanya karena kedekatannya lebih dulu terjalin dengan Mas Yusuf, lantas dia bisa seenaknya meminta untuk meninggalkan pria yang akan menikahiku. Lagipula, bagaimana bisa aku memutuskan tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu kepada Mas Yusuf?

"Selama belum ada ikatan pernikahan maka aku rasa Mas Yusuf berhak menentukan pilihannya, termasuk lebih memilih menikah denganku." Aku memasang wajah datar tidak ingin kalah darinya.

"Kamu tidak bisa membahagiakan Mas Yusuf, lebih baik kamu tinggalkan dia sebelum menyesal," kata-kata Indri bernada menghina. Amat menyakitkan.

"Perkataanmu sungguh tidak sopan," geram Nay sengit. "Lebih baik jika tidak ada yang akan disampaikan lagi, kamu bisa pergi dari sini!" pinta Nay dingin.

Ada perasaan tidak enak menjalari hati Nay, tak pernah dalam hidupnya sekali pun mengusir tamu yang datang ke rumahnya. Tetapi mengapa harus ada perasaan tidak enak? Kata-kata wanita itu memang sudah keterlaluan.

"Baiklah aku akan pergi, setidaknya aku sudah menyampaikan hal yang seharusnya kamu ketahui," katanya dingin tanpa penyesalan.

Wanita itu berjalan ke luar tanpa memberikan salam, mungkin hatinya sama bergejolaknya dengan aku yang tetap bersikuku tidak akan meninggalkan Mas Yusuf.

**

Pagi ini mata Nay kembali terjaga meski dengan susah payah ia berusaha memejamkan matanya, semalaman Nay tidak dapat melawan banyangan Indri. Pengakuannya sore tadi terngiang-ngiang di telinga Nay. Bagaimana bisa Mas Yusuf yang dikenal olehnya nyaris tak ada celah untuk menyakitinya, tega berbohong?

Ah! Lebih baik kalau aku mencari tahu kebenarannya dari mulut Mas Yusuf. Bisa jadi wanita itu yang berbohong, bukan Mas Yusuf. Nay berusaha mengumpulkan energi positif dalam pikirannya.

Setelah melaksanakan shalat subuh, Nay bersiap-siap membersihkan badannya lalu mengambil sebuah gamis dan hijab yang ada di lemari. Kegiatan Nay hampir setiap hari adalah bertemu dengan para lansia.

Ya, betul sekali. Ia bekerja di salah satu lembaga sosial sebagai relawan. Kebetulan panti jompo tersebut tak jauh dari rumahnya.

Tak seperti kakak-kakaknya, Nay tak ingin melanjutkan kuliah. Ia lebih memilih bekerja. Ini juga yang menjadi alasan dirinya sering kali beradu argument dengan abinya.

"Apa kamu tak ada rencana untuk melanjutkan kuliah, Nay? Dari pada terus menerus bekerja di panti," bagi Abi Ahmad yang merupakan seorang pensiunan PNS, pendidikan itu nomor satu.

"Maaf Abi, untuk sekarang Nay belum kepikiran untuk sekolah lagi," tolak Nay halus.

Lulus SMA saja sudah Alhamdulillah!

Nay memang tak terlalu pandai dibandingkan dengan kakak-kakaknya namun bukan berarti ia anak yang nakal. Nay hanya tidak menyukai belajar, baginya belajar merupakan rutinitas yang menjenuhkan.

"Kalau memang Nay tak mau kuliah, ya sudah Bi, jangan dipaksa," sela umi membela Nay.

Umi memang paling memahami isi hatiku, eh.. isi hati anak-anaknya. Maksudku. Kalimat Umi tadi pagi sungguh sanggup menyelamatkanku dari cecaran Abi.

**

Sesampainya di panti suasana masih terasa sepi, Nay datang lebih pagi dari biasanya. Nay melirik jam di tangan, pantas saja karena masih pukul 07.00. Terdengar ponselnya berbunyi, aku meraihnya dari dalam tas. Menghentikan langkahnya lalu melihat nama Mas Yusuf di layar ponsel.

"Assalamualaikum, Nay. Lagi dimana?" suara Yusuf terdengar di ujung telepon.

"Waalaikumussalam, Mas. Nay, sudah di panti. Baru saja sampai barusan."

"Oh, gitu. Kok tumben sepagi ini?"

"Iya, Mas. Ini ada hal yang harus Nay urus."

Sejujurnya, efek semalam tak dapat tidur yang menjadi alasan Nay bisa datang sepagi ini. Hingga menjelang subuh matanya tak mau terpejam sehingga ia khawatir akan terlambat jika memaksakan tidur.

"Mas, kita bisa ketemu enggak, sepulang Mas Yusuf kerja?"

"Boleh, Nay. Ntar Mas jemput ya."

Nay mengiyakan, mereka pun sepakat untuk bertemu selepas menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing.

Setelah itu, Nay mengakhiri pembicaraan tersebut. Nay berjalan kembali menuju ke ruang tengah dimana para lansia biasanya berkumpul.

Saat matahari mulai meninggi, pemandangan yang Nay lihat di panti adalah para sukarelawan yang sedang menyiapkan sarapan di meja kotak berukuran besar. Para lansia kemudian berkumpul, duduk dengan rapi. Beberapa dari mereka ada yang makan sendiri, sebagian lagi ada yang disuapi oleh para relawan. Sukarelawan di sana tidaklah banyak, hanya ada lima orang termasuk Nay. Di sana mereka terbagi menjadi dua shift agar semuanya terpantau siang dan malam.

Setelah selesai sarapan, diantara mereka saling bercengkrama satu sama lain. Membicarakan banyak hal tentang kehidupan yang sudah berlalu begitu cepat, masa-masa dimana mereka bisa tertawa bersama anak-anak mereka tanpa mampu mereka hitung lagi tiap detiknya.

Ada juga yang masih membanggakan putra putrinya. Saling berdebat bahwa anak-anaknya lah yang terbaik, meskipun mereka sadar bahwa tidak ada anak baik yang membawa mereka ke tempat ini. Pembicaraan mereka sering kali membuat Nay tak mengerti bagaimana mereka bisa hidup jauh dari orang tua yang sudah membesarkan dengan sepenuh hati.

Pemandangan itu, tak jarang Nay melihatnya. Wajah murung yang sering mengarahkan wajahnya ke jendela berbentuk persegi panjang. Tatapannya kosong, seolah menunggu seseorang yang akan datang untuk menjemputnya, entah kapan.

"Assalamuaikum," sapa Nay mencoba mengintrupsi lamunannya, Tapi Nek Sumi masih setia dengan sudut objek pandangnya, Sorot matanya memandang jauh.

Mengabaikannya!

"Nenek sudah makan?" sebuah kursi rotan bulat diseret oleh Nay mendekati Nek Sumi. Bokong Nay mendarat di atasnya lalu ditatap wajah sepuh itu penuh rasa iba.

Nek Sumi mengayunkan kepala, tatapannya sama sekali tak bergeser sedikit pun.

"Nenek harus makan agar ada tenaga, ya," bujuk Nay, ia raih tangan Nek Sumi dengan lembut.

Lagi-lagi Nek Sumi menggelengkan kepala, kali ini ia menoleh ke arah Nay, "nenek enggak mau makan sebelum Parman datang," suaranya lirih seperti menyimpan selaksa kesedihan. Entah sudah berapa bulan anaknya tidak mengunjungi Nek Sumi, Parman merupakan seorang bisnisman kaya raya yang menitipkan Nek Sumi ke panti ini dengan salih agar ada yang merawatnya dikarenakan ia sibuk.

Menurutku itu hanya alasan klise.

"Kapan ia datang?" maksudnya ialah Parman yang tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya kecuali transferannya ke yayasan.

Aku mengulas senyum tipis. "Katanya Pak Parman sedang sibu, nanti kalau pekerjaannya sudah selesai pasti akan datang mengunjungi Nenek." Terpaksaharus berbohong untuk menyenangkan hati Nek Sumi.

Nay menarik napas dalam. "Nay juga kan anak Nenek, ini lihatlah!" Nay meraih tangan keriputnya lalu mengarahkan tangan itu ke wajahnya. "Kalau Nenek enggak makan nanti Nay sedih loh!" rayuku sambil memasang wajah memelas.

Dan berhasil! Ia tersenyum dan akhirnya mau memakan makanan yang Nay bawakan.

"Nay, ada tamu yang mencarimu di luar." Suara Ratih membuat Nay dan Nek Sumi menoleh ke arahnya, Ia tampak berdiri di depan pintu.

"Siapa Tih?" Nay menyimpan piring di atas meja.

"Katanya Indri," jawabnya.

DEG.

Mau apa lagi wanita itu ingin menemuiku.