webnovel

Rencana Kita

Sudah tiga hari semenjak pulang berburu, Irene tidak bertemu Arjuna, bahkan untuk berpas-pasan pun tidak.

Entahlah. Keadaan itu membuat suasana hati Irene semakin kosong bahkan buruk, seperti telah kehilangan separuh nyawa. Ada-ada saja.

"Bagaimana Yang Mulia, apakah segini cukup?" pertanyaan seseorang berhasil membuat lamunannya seketika putus.

Irene mengerutkan bibirnya sejenak. Pandangannya beralih fokus ke depa. Mata cantik nan lebar miliknya menyapu setiap tamanan bunga di pekarangan belakang.

"Kurasa ini cukup!"

Ibu Suri memberikan Irene tugas untuk menyiapkan serba-serbi bunga dalam jumlah banyak, untuk perayaan kelahiran anak Permaisuri Jie nanti, yang sudah diramal bakal berjenis kelamin laki-laki. Tentu perayaan itu akan sangat mewah dan wah.

Jujur, Irene tidak cemburu samasekali dengan hal tersebut, bahkan dirinya sangat senang ikut terlibat. Jarang-jarang ibu mertuanya itu memberikannya tugas.

Tak hanya menanam serba serbi bunga dengan cara biasa. Irene juga menanamnya secara hidroponik atau memakai air yang mengalir, dia menggunakan dinding batas pekarangan sebagai tempat penanaman. Sebulan lalu dia belajar cara itu di Kerajaan Barat saat dirinya melakukan kunjungan.

"Pastikan bunga nya tumbuh subur sampai hari itu datang. Aku tidak ingin mengecewakan Ibu Suri, terutama Permaisuri," jelasnya Irene kepada pelayan didepannya.

"Jangan lupa untuk tidak menyiramnya secara berlebihan, nanti malah akan layu."

"Benarkah Yang Mulia?! Saya kira lebih banyak air lebih baik! Maafkan hamba Yang Mulia," ucap pelayan itu merasa keliru.

Irene tersenyum maklum, tidak mencela ketidaktahuan orang didepannya itu.

"Bayangan kan saja ketika kau minum air banyak sekaligus." Irene memberikan sebuah penjelasan secara sederhana agar mudah difahami oleh orang awam.

"Iya Yang Mulia. Itu akan membuat saya sakit perut dan sesak," respon sang ketua pelayan setuju.

Irene tersenyum kecil atas pembenaran dari ucapannya.

"Tidak hanya itu, jika sangat berlebihan, pori-pori kulit mu akan pecah." Seraya mengatakan hal itu, refleks Irene memperlihatkan lengan kanannya.

"Pori-pori?" gumam pelayan itu kebingungan.

Lagi-lagi Irene tersenyum maklum. Tangannya bergerak menarik pelan lengan sang pelayan seraya berkata,"Yang seperti titik-titik ini." Tunjuk nya yang dibalas dengan anggukan faham oleh pelayan itu.

Tahu kan, para pelayan tidak mendapat layanan pendidikan yang begitu mumpuni seperti bangsawan dan putri, sangat jauh perbandingannya.

"Di wajah pun terdapat pori-pori," ujar Irene berucap begitu saja karena dirinya tak sengaja melihat wajah yang dirasa terdapat masalah itu.

"Sepertinya pori-pori di wajah mu begitu lebar, Apa kau sering mencuci muka dengan air hangat atau panas?"

Lantas pelayan itu pun langsung meraba-raba wajahnya yang cukup kasar dan banyak legok. "Jika seperti itu artinya apa Yang Mulia?! Bagaimana Yang Mulia bisa tahu? Saya memang sering mandi dengan air hangat, termasuk mencuci muka. Apa itu buruk?" tanyanya membombardir, karena cukup khawatir.

Tanpa menjawab pertanyaan yang ke-dua Irene menjawab,"Mmm, itu tentu tidak baik. Wajah mu jadi rentan terkena bintik-bintik kecil." Dia menghentikan perkataan yang memang faktanya seperti itu.

"Iya Yang Mulia. Bintik-bintik ini terasa perih dan gatal, jadi aku mengompres nya dengan air panas."

Sontak Irene meringis mendengar penanganan yang salah nan keliru itu."Ku sarankan agar kau tidak sering mencuci muka dengan air hangat. Dan tidak mencuci muka dengan air panas. Jika pun kau mau mencuci muka dengan air hangat, pastikan muka mu dicuci dengan air dingin diakhir, itu lebih baik. Dan, untuk bintik-bintik itu, coba lah gosok perlahan wajah mu dengan pucuk jambu biji ketika mencuci muka," ucap Irene begitu panjang lebar.

Pucuk jambu biji itu hal yang paling murah dan mudah ditemukan, Jadi Irene memilih untuk merekomendasikan obat sederhana itu saja.

"Terimakasih Yang Mulia. Anda begitu baik."

Irene mengangguk sambil tersenyum.

"Sesuatu yang berlebihan, meskipun tampak baik, tetap saja itu adalah kesalahan," ujarnya, kemudian melangkah turun, meninggalkan tempat itu bersama Eve yang mengekor di belakang.

Di tengah perjalanan Irene bertemu dengan Kasim Fuu, alias Sam. Entah kebetulan atau tidak namun hatinya cukup bahagia hanya dengan bertemu Kasim Raja.

Sam segera menghampiri Irene yang ditemani oleh sang dayang, "Salam Yang Mulia," ucap Sam kepada Irene. Sesaat setelah itu, dia melakukan penghormatan kecil kepada Dayang Eve.

"Kasim Fuu apa yang sedang kau lakukan disini?" tanya Irene basa-basi. Tak biasanya juga seorang Kasim nyasar ke pekarangan belakang, pikirnya.

"Saya sedang tengah mencari anda Yang Mulia, dan sekarang saya sudah bertemu."

Pikiran Irene pun langsung tertuju pada Arjuna." Apa Raja baik-baik saja?" tanya Irene dengan raut wajah yang menggambarkan kekhawatiran.

Sam menahan tawa kecilnya mendengar ucapan bernada kecemasan itu.

"Tenang saja Yang Mulia. Raja baik-baik saja. Bahkan dia baru saja menyelesaikan pertemuan tadi."

"Menyelesaikan pertemuan? Tapi kenapa raja tidak menemui ku secara langsung saja?" batin Irene sedikit kecewa. Mungkin Yang Mulia banyak pekerjaan. Ya, dia adalah seorang raja Lanjutnya berpikir positif.

"Ada apa? Apa Raja membutuhkan ku?" tanya Irene kepada sang kasim.

Sebenarnya Sam ingin menyampaikan pesan raja secara langsung, tapi tidak enak, maka dari itu dia pun berkata,"Yang Mulia dengan tidak mengurangi rasa hormatku pada anda, bisakah saya menyampaikan pesan Raja melalui dayang mu saja." Sam begitu berhati-hati ketika mengatakannya.

Tampak Irene sedikit berpikir dulu, tapi pada akhirnya dia mengangguk setuju dan memberi jalan Dayang Eve untuk mendekati Kasim Fuu.

Ketika pesan itu disampaikan Kasim, raut wajah Eve seperti orang kaget, bukan uang kaget. Namun Eve berakhir mengulas senyum pada sang kasim sesaat setelah bisikan itu selesai.

Ada apa ini?! Sungguh Irene dibuat penasaran.

Setelah Sam pamit dan pergi, Irene langsung menagih 'sesuatu' itu pada Eve setengah paksa.

"Yakin Yang Mulia mau mendengarkan nya disini?" tanya Eve sedikit ragu.

Raut wajah wanita itu yang seakan menggodanya membuat Irene kebingungan, dan hal tersebut membuat dirinya semakin penasaran.

"Mengapa seperti itu? Apa ada sesuatu yang besar? Aku ingin mendengarnya sekarang." Gadis itu memutuskan.

Eve membisikkan pun pesan raja, sementara Irene memasang gendang telinga tajamnya, dan memperhatikan setiap kata-kata yang didengar.

Tiba-tiba wajah cantik Irene memerah di penghujung akhir bisikan sang dayang. Delapan kata Raja, 'Laki-laki itu sangat suka membuat jantungnya berdegup kencang'.

***

Di Aula Raja, sang pemilik masih berkutat dengan tumpukan gulungan dan berkas-berkas, yang harus diperiksa dan diisi, dan pada akhirnya dia diharuskan untuk membuat dokumen baru sebagai tanda penerimaan, atau keputusan akhir.

Raja bukan hanya tentang harta, wanita dan tahta, tapi ada sesuatu besar yang tidak sebanding dengan kemewahan duniawi itu yang harus dipikul, yakni tanggung jawab.

Apalagi yang namanya politik tidak selalu murni. Ada saja celah yang harus diselesaikan, meski dengan pertumpahan darah.

Arjuna melirik kertas jadwal yang dibuat kasim nya, ternyata siang ini dirinya akan melakukan pertemuan dengan para menteri dan para petinggi kerajaan.

Terdengar suara hela nafas berat dari laki-laki berparas tampan itu ketika mengingat kenyataan yang harus dihadapinya. Padahal pekerjaan hari ini dan bahkan yang sempat tertunda pun belum selesai.

Akhir-akhir ini juga, Jenna yang semakin minta ini itu padanya, bahkan beberapa permintaan sang permaisuri cukup sulit untuk dipenuhi. Misalnya minggu lalu perempuan itu menginginkan hati rusa rangau yang terbilang cukup sulit ditemukan di tanah pemburuan, dan untuk pemburuan pun dibutuhkan waktu yang cukup lama, terutama pada perjalanannya.

Untung saja pada hari itu Irene ikut berburu bersamanya. Keberadaan Irene memberikan keberuntungan tersendiri, juga cukup cekatan dan bersungguh-sungguh.

Mengingatnya, Arjuna jadi rindu dengan gadis itu. Tingkah-tingkah gadis itu yang cukup aneh dan unik, tanpa menghilangkan sikapnya sebagai gadis yang terlahir sebagai Putri di kerajaan ini, bunglon sekali dia, pikirnya.

Sudah tiga hari aku tidak bertemu "dengan mu," batin Arjuna mulai bucin.

Tiba-tiba Sam membuka pintu, muncul di hadapannya yang sukses membuat lamunannya hancur seketika.

"Air hangat nya sudah siap Yang Mulia. Siang ini ada pertemuan di Aula Parlemen," ujarnya.

Karena ini hampir tengah hari, dan untuk mandi pun tidak dianjurkan, juga di pagi hari sudah membersihkan diri, Arjuna hanya mengelap setengah tubuhnya dan menggosok gigi saja. Semua itu dilakukan dengan bantuan pelayan-pelayannya. Sang raja hanya duduk berdiam diri seraya memikirkan hal-hal yang dia kehendaki.

Tubuh Arjuna terasa segar kembali, begitupun pikirannya. Dia berjalan masuk ke ruangan pakaian, di sana jubah kebesarannya tergantung sempurna. Sam pun membantunya untuk berpakaian.

Di tengah jalan menuju Aula Perlemen, tandu terbuka kebetulan melewati Aula Selir, tanpa terasa sudut bibir Arjuna terangkat ketika melihat bangunan berukuran sedang itu, tempat indah dipenuhi dengan ragam banyak bunga disekelilingny,a sangat memanjakan mata.

"Gadis itu memang penyuka bunga! Apa dia merindukan ku?!" batin Arjuna bertanya kepada diri sendiri.

"Kasim."

Sam selalu siap sedia untuk mendengarkan. Namun tiba-tiba ucapan itu terhenti karena raja memperbaiki kerah baju.

"Ada apa Yang Mulia?" tanya Sam sambil masih melanjutkan langkah kakinya.

Sungguh laknat sekali para pembawa tandu, berhenti dulu kek, kasihan otak Kasim Fuu terbelah dua, menyeimbangkan langkahnya dengan tandu, dan fokus pada bisikan Raja.

Setelah Arjuna hampir mengakhiri bisikan nya, pria itu tiba-tiba mematung seperti arca. Alhasil hal tersebut membuat Sam sedikit tertinggal dari tandu raja. Hingga mengharuskannya untuk berlari kecil untuk menyejajarkan diri.

"Baik Yang Mulia," ujar sang kasim mantap.