webnovel

Hidrogen Peroksida

Satu SUV perak berhenti di sebuah apartemen elit di bilangan Jakarta Barat. Valencia Hills Apartment, nama gedung pencakar langit itu. Tristan keluar dari mobil pertama kali, menatap sekeliling gedung itu dibalik kacamata hitam photochromic nya. Kapten polisi yang sekarang aktif sebagai detektif itu lantas kembali memeriksa ponselnya.

[SMS]

(0834-xxxx-xxxx)

1. Valencia Hills Apartment unit 27CA

2. De Coffee Code

3. Huntington House

Tristan tersenyum miring, "Semua, langsung menuju ke unit 27CA. Siapkan semua alat pendukung yang diperlukan," titahnya pada keempat rekan-rekan lainnya.

"Langsung saja," ujar Isyana.

Kelima orang itu kemudian menuju lokasi tujuan mereka, melalui jalur berbeda agar tidak mencolok, berbekal kartu akses multi-code yang bisa mereka gunakan untuk menaiki lift berkunci akses manapun. Mereka datang dengan pakaian biasa layaknya penghuni apartemen biasa.

"Saya sudah sampai di TKP, masuk satu per satu per lima belas menit," ujar Tristan pada yang lain melalui handsfree nya. Memang seperti itu alurnya, karena Ia yang memegang kunci unit apartemen yang sudah lama disegel dan dilarang dihuni oleh kepolisian itu.

"Siap!" seru yang lain.

Tanpa ragu apalagi takut, Tristan menempelkan kartu akses khusus unit 27CA. Gagang pintu apartemen itu sampai sedikit berkarat, terasa kasar di tangan Tristan. Bekas segel garis polisi bahkan masih terlihat di pintu kayu jati itu. Rupanya benar, tiga tahun berlalu unit apartemen itu tidak pernah disentuh oleh pengelola.

Tidak ditemukan darah memang saat penemuan korban, tapi tetap saja, ini Asia Tenggara. Gosip soal hantu dan arwah gentayangan sudah cukup membungkam dibanding hukum kepolisian itu sendiri.

Tristan menutup hidungnya begitu pintu itu berhasil dibukanya. Debu dalam ruangan sangat tebal dan mengganggu. Salahnya juga lupa tidak menggunakan masker sebelum masuk.

CKLEK!

Pintu unit itu kembali ditutup Tristan, kemudian Ia menghidupkan lampu ruangan. Pencahayaan sangat minim disana, padahal ini siang hari.

Lebih jelas terlihat sekarang, unit apartemen itu lumayan berantakan. Tidak ada sampah berserakan, hanya saja kursi, meja, bantal, hingga beberapa perabotan tergeletak acak di lantai.

Tidak ingin menunggu lama, Tristan segera menggunakan sarung tangan karet hitam miliknya, mencegah sidik jarinya tercetak bahkan di satu jengkal wilayah unit apartemen itu.

"Siapapun yang akan masuk ke unit, tolong bawakan Saya masker medis tiga layer," pintanya.

"Baik," sahut seseorang, sepertinya itu Luki.

Memeriksa sekeliling unit apartemen itu adalah hal pertama yang Tristan lakukan. Pikirannya bekerja keras, menyambung cocokkan penemuannya siang itu dengan laporan yang ditulis oleh investigator tiga tahun lalu.

Tristan tidak beranjak dari titik tempatnya berdiri. Hanya matanya yang menelusuri jalur jalan di unit apartemen luas itu. Dari kamar utama di sebelah kiri, hingga pintu dapur di ujung kanan, semua dapat dilihat Tristan.

Matanya memicing, begitu melihat adanya pengotor di lantai berkeramik putih marmer yang tak tertutup karpet. Pengotor itu berwarna coklat, membentuk beberapa blok berbentuk acak namun masih dapat membuat satu pola.

"Kalau pengotor itu dari kaki korban atau si pembunuh, berarti korban dibawa dari kamar utama ke depan, ke ruang tamu," batinnya, mencatat diluar kepala asumsi pertamanya.

Lebih jauh lagi, Tristan mencari lokasi paling mungkin kalau asumsinya itu benar, korban diseret dari kamar utama.

"Kursi besar itu kan ..." batinnya menggantung, kembali mengingat laporan yang Ia baca beberapa hari terakhir, "Tempat korban ditemukan duduk, bersilang kaki, dengan dress krem bergaya retro, topi jerami, tanpa alas kaki," finalnya. Visualisasi sempurna dalam otaknya terbentuk untuk mengetahui alasan kursi besar berbusa itu ada disana, menghadap jendela.

Bayangkan, betapa terkejutnya orang yang pertama kali menemukan korban dengan posisi seperti itu?

TOK

TOK

TOK

Imajinasi Tristan buyar begitu mendengar suara pintu diketuk dibelakangnya. Ah, itu pasti Luki atau salah satu dari mereka. Cepat saja Tristan membukakan pintu. Rupanya benar, itu Luki.

"Ini." Luki langsung menyerahkan masker N95 pada Tristan setelah pintu kembali ditutup. Matanya seketika memicing, melihat begitu berdebu dan berantakannya unit apartemen itu.

"Dimana yang lain?"

"Tidak jauh dari sini, menunggu giliran masuk saja."

Tristan mengangguk, "Periksa TKP," titahnya, kemudian berjalan duluan, meninggalkan Luki yang sepertinya masih menyesuaikan diri di ruangan itu.

Satu jam berlalu, kelima orang itu sudah ada di ruangan seluruhnya. Mereka juga sudah bekerja sedari tadi, mengumpulkan beberapa barang bukti yang tidak ada di laporan TKP sebelumnya. Ingatan mereka tentu bervariasi, mulai dari hafal diluar kepala hingga harus sesekali membuka laporan dalam bentuk digital. Tristan meminta mereka untuk tidak lagi melaporkan bukti-bukti yang sudah dituliskan.

Isyana menghampiri Tristan yang sudah hampir setengah jam berkutat di kamar utama. Detektif itu tengah berjongkok, LED pen di tangannya menyorot sesuatu di lantai vinyl kayu.

"Ada apa, Kapten?" tanyanya kemudian.

Tristan agak terkesiap mendapati keberadaan Isyana dibelakangnya, "Ini ... menurut Kamu kenapa goresan di lantai ini ada? Dan hanya segaris?" tanyanya.

Isyana turut berjongkok, mensejajarkan dengan posisi Tristan. Tangan berlapis gloves hitam itu turut menyentuh lantai vinyl yang dimaksud Tristan. Beberapa menit Ia berpikir keras, "Goresan benda tumpul."

"Tapi lihat ini." Tristan ganti menunjuk sebuah garis panjang namun cukup samar disana. Mata pria itu sudah minus empat, tapi masih jeli untuk melihat goresan panjang halus itu.

"Ini benda tajam,"lanjut Tristan.

Isyana kembali menyentuh bagian yang dimaksud Tristan, lantas mengangguk, "Benar, ini benda tajam. Tapi korban tidak dilukai dengan benda tajam," ujarnya.

Keduanya lantas terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga suara Yudha memecah keheningan, "Apa laporan sebelumnya memuat temuan berupa cairan berwarna merah? Kering ataupun basah?" tanyanya dengan suara keras.

Isyana lebih dulu keluar kamar utama, menghampiri Yudha di ruang tengah. Tristan lantas menyusul, bergabung dengan empat orang lainnya.

Yudha menunjukkan dua titik berwarna merah tua nyaris hitam di bawah kaki kursi, tepatnya di lantai yang tadinya tertutup karpet bulu.

Tristan menggeleng, "Tidak ada. Ini temuan baru, termasuk juga dua goresan dengan sebab berbeda di kamar utama," ujarnya.

"Ada apa di kamar utama? Dua goresan?" tanya Jevan.

Isyana mengangguk, "Ya. Ada goresan di lantai vinyl, dan itu dari benda tajam dan benda tumpul sekaligus. Itu tidak ada di laporan TKP tiga tahun lalu," ujarnya.

Semua orang mengangguk, lantas Luki segera berinisiatif untuk mendokumentasikan dua temuan itu dengan kamera khusus miliknya. Kebetulan Ia adalah penanggung jawab barang bukti. Isyana dan Yudha memandunya mendokumentasikan temuan yang dimaksud.

Jevan dan Tristan melanjutkan penggeledahan mereka, kali ini di dapur yang bersebelahan dengan gudang.

"Kapten, apa mencium sesuatu yang menyengat disini?" tanya Jevan yang dibalas gelengan oleh Tristan. Jevan sedari tadi memang melepas maskernya sebatas mulut, membuat indera penciumannya bekerja lebih baik dibanding Tristan.

"Baunya seperti ... apa ya?" Jevan kesulitan mendefinisikan aroma yang Ia cium itu.

Tristan akhirnya membuka maskernya, benar saja, ruangan itu berbau aneh.

"Ini bau ... hidrogen peroksida," ujar Tristan. Ia lanjut berjalan lebih cepat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut pada Jevan. Ia mencari sumber bau itu.

"Hidrogen peroksida? Itu gak ada dalam laporan," gumam Jevan. Ia lantas mengikuti jejak Tristan mencari sumber bau yang semakin lama semakin menyengat itu.

BRAKK!

Tristan membuka paksa kunci pintu gudang yang sulit dibuka karena berkarat itu. Ruangan gelap Ia dapati begitu pintu terbuka. Benar-benar gelap karena mungkin itu gudang dan tidak memiliki sumber cahaya dan sirkulasi udara memadai.

Tidak menemukan saklar untuk menyalakan lampu di dalam ruangan, Tristan akhirnya menyalakan flashlight ponselnya. Perlahan Ia mulai melihat isi gudang itu.

"Letnan Jevan!" panggil Tristan keras-keras.

Terdengar Jevan berlarian menghampirinya, "Ada apa, Kapten?"

"Lihat ini!" Tristan menunjukan belasan derigen bertutup merah yang rata rata bagian lambungnya sudah bocor. Cairan tampak membanjiri gudang itu.

"Ini hidrogen peroksida, sangat bau karena menguap. Kenapa bisa ini tidak ada di laporan TKP tiga tahun lalu?"

Next chapter