"Cerita saja, aku akan menjadi pendengar yang baik," lanjut Bunga.
"Aku jatuh cinta, tapi pacaran haram hukumnya. Jika ta'aruf, pasti keluarga belum bisa mengizinkan aku, Kak. Aku harus bagaimana, ya?" ungkap Rendy malu-malu.
Bunga hanya tertawa saja mendengar kisah cinta adiknya yang masih takut-takut karena memang pacaran dilarang. Bahkan, Rendy juga tidak tahu arti dari perasaannya itu bagaimana kepada gadis yang ia sukai.
"Ingat Bang, Abang tuh laki-laki. Sekolah dulu yang rajin, kuliah terus ngejar impian. Kerja, sukses. Baru nikah. Jangan pacaran," Bunga hanya bisa menggoda adik rasa Abang itu.
"Abang cuma kagum sama dia, tidak pacaran juga, kok. Kakak mah seperti itu, jadi males, deh!" kesal Rendy.
"Alah … Kakak tau lah Bang. Hihi, jangan di pandangi terus, bukan mahram lah. Jadi dosa jahiriyahnya nantinya," tak henti-hentinya Bunga menggoda adiknya.
"Sok tau!" ketus Rendy.
"Hadeh, anak ini. Jujur saja ngapa dah! Kita juga sudah saling cerita satu sama, bukan?" celetuk Bunga.
Dengan bujukan Bunga, dan pada akhirnya Rendy pun mulai menceritakan awal ia kenal dengan seorang gadis yang satu kelas dengannya. Di mana gadis itu adalah gadis sederhana yang ia kagumi itu. Tapi, kedua orang tuanya sudah menegaskan supaya mereka tidak terlibat perasaan satu sama lain karena memang kedua orang tua gadis itu ingin anaknya belajar dulu.
Mendengar kisah adik rasa Abang yang tersengat menggelikan, membuat Bunga terus tertawa tiada henti. Malam itu, sungguh Bunga sampai tertawa terpingkal-pingkal karena kisah cerita Rendy yang sangat lucu.
Malam itu, Bunga masih kepikiran dengan seorang pria yang telah mengganggunya akhir-akhir ini. Bunga tak dapat tidur, padahal esok hari sudah harus terbang ke Jepang bersama dengan sepupunya.
"Huh, malah aku yang tidak dapat tidur. Ya Allah, kenapa aku selalu teringat kepadanya?"
"Astaghfirullah hal'adzim, ini dosa. Aku memikirkan seorang pria yang bukan mahram aku," imbuhnya.
"Bismika allahumma ahya wabismika amuut," Bunga berusaha memejamkan matanya.
Setelah berusaha payah memejamkan mata, akhirnya Bunga pun bisa tidur setelah hampir satu jam hanya menggelinding di ranjang.
***
Jepang.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga," ucap Haidar mengucap syukur.
Mereka sudah sampai Jepang dan siap untuk liburan. Tak banyak persiapan, hanya saja liburan itu sudah di rencanakan sejak lama sekali. Bahkan visa mereka saja di dapatkan tidak mudah karena memang mereka masih pelajar sekolah menengah atas sebelumnya.
"Alhamdulillah Mas. Eh, tapi ngomong-ngomong, kenapa kita belum ada yang jemput, ya?" sahut Bunga, celingukan mencari di mana Ayah dari Rendy itu.
"Bagaimana jika kita jalan-jalan dulu? Mungkin Papaku sedang sibuk, atau malah sudah perjalanan kemari?" sahut Rendy.
"Eh, jangan, dong! Nanti malah kita kecarian, saling mencari dan malah akhirnya membuat kita bingung sendiri. Mending tetap di sini dan menunggu Paman menjemput," tutur Lela.
Apa yang dikatakan Lela memang benar. Itu bukan negara mereka. Minimnya bahasa Jepang yang mereka kuasai, akan menjadi kendala mereka saat berada di sana. Akhirnya, mereka berempat pun duduk berdekatan. Bunga dan Rendy memang sangat akrab, kemanapun Bunga pergi, pasti Rendy akan ada bersamanya. Kecuali ketika Bunga ke Pesantren.
15 menit menunggu, Ayah Rendy masih saja belum juga terlihat. Bunga sudah terlihat sangat letih dan lelah, dia pun ingin memejamkan matanya sejenak di Bandara. Ketika mata Bunga terpejam, bayangan senyuman Jerry Yan muncul dalam ingatannya.
"Astagfirullah hal'adzim!" Ucap Bunga terkejut.
"Kenapa, Kak?" tanya Rendy jadi ikut terkejut.
"Ada apa, sih?" Lela pun juga penasaran.
Bunga tersenyum, kemudian menggelengkan kepalanya. Dia tak ingin saudaranya mengetahui tentang laki-laki yang ada dalam ingatannya itu. Ketika Bunga menoleh ke kiri, dia benar-benar melihat adanya Jerry Yan di sana. Bunga sangat terkejut dibuatnya. Bahkan, mulutnya saja sampai mengaga lebar. Membuat saudar saudaranya panik dengan perilaku Bunga yang aneh.
"Kak, Kak Bunga. Kak Bunga kenapa, sih? Kak, kenapa nganga gini, lihat apaan dah?" Rendy panik.
"Istighfar Is, Astaghfirullah hal'adzim …" sahut Haidar.
"Kak Bunga. Kak Bunga kenapa, sih? Sadar, kak!" Rendy semakin panik dan membuat Lela kesal.
"Ck, BUNGA!" teriak Lela.
Teriakan Lela membuat Bunga tersadar dan beristighfar. Ia memejamkan mata dan membukanya lagi. Namun, bayangan wajah Jerry Yan sudah tidak ada di sana. Pikiran Bunga menjadi semakin kacau karena malah melihat Jerry Yan ada dimana-mana.
"Astaghfirullah hal'adzim, ada apa denganku. Kenapa Kak Jerry Yan itu selalu ada dalam ingatanku. Ya Allah jangan tinggalkan aku. Aku hanya ingin mengigatMu Ya Allah," batin Bunga terus istighfar.
Matanya terus saja mencari kekanan dan kiri. Masih tidak percaya jika dirinya hanya melihat bayangan saja. Bunga mencari di bagian sudut-sudut Bandara, dengan pikiran jika Jerry Yan tidak mungkin menyusulnya sampai ke Jepang. Itu hanyalah hayalannya saja.
"Ah, itu Papa?" tunjuk Rendy.
"Bang, bawain koperku, ya. Entah kenapa aku menjadi pusing sekali," pinta Bunga.
"Biar Mas saja yang bawa," Haidar meraih koper milik Bunga.
"Assallamualaikum," salam dari Ayahnya Rendy.
"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarokatuh,"
"Maaf ya terlambat, Tadi ada hal yang darurat," ucap ayahnya Rendy.
"Santai saja, Paman. Ayo, kita semua sudah lelah. Alangkah baiknya langsung pulang, hehehe," sahut Lela.
Semua pun mengikuti langkah Ayahnya Rendy dari belakang. Tapi, Bunga masih saja menengok ke kanan kiri, berharap itu bukan hanya hayalannya saja dan harapannya Jerry Yan ada di sana. Tapi tetap saja, pandangan mata Bunga tidak menemukan keberadaan Jerry Yan.
Di tempat lain.
"Gimana sih, kak. Huh, beruntung saja Bunga tidak melihatmu. Bisa-bisa, dia akan marah jika tahu kalau kita menyusulnya," ketus Lidya.
"Mana aku tau dia akan melihatku, bocah! Ah, perasaan ini semakin menyiksaku saja," Jerry Yan berlagak dramatis.
"Cie yang jatuh cinta. Eh, tapi serius, kak Jerry jatuh cinta kepada Bunga?" sahut Lidya.
"Maybe, but I've never felt anything beautiful like this. I always think of him. In fact, I feel tortured if I don't see him." jawab Jerry Yan.
Lidya langsung mendatarkan wajahnya.
"Ayo buruan, kita cari hotel di dekat mereka tinggal. Sepertinya aku malah naksir dengan pria yang membawakan kopernya Bunga deh!" seru Lidya mengagumi sosok Haidar.
"Yang pakai kaca mata itu?" tanya Jerry Yan.
Lidya mengangguk. "Aku tebak, dia adalah kakaknya yang selalu diceritakan. Ayo, sambil jalan. Takutnya kita akan ketinggalan mereka," ajak Lidya menarik tangan Jerry Yan.
Di sepanjang jalan, Lidya menceritakan tentang keluarga Bunga kepada Jerry Yan. Sejak saat itu, perasaan yang dimiliki oleh Jerry Yan kepada Bunga tidak bisa di ragukan lagi. Ia mulai mencintai gadis yang baru hampir 3 bulan ia kenalnya.