webnovel

The Prince Of The East Sea (Bahasa INDONESIA)

18+ (Dark Content) Liburan Tasia dan teman-temannya berakhir di luar dugaan. Tasia yang adalah gadis penakut, tidak pernah menyangka pertemuan dan niat baiknya terhadap seorang anak kecil di tepi pantai saat malam hari akan membawa hidupnya ke dalam kekacauan. Karena ternyata, anak manis itu adalah jelmaan pangeran siluman ular yang mendiami kerajaan goib di laut timur. .... Tasia menatap Hadyan yang tersenyum ramah padanya. Lalu air mata mulai menggenangi matanya lagi "Aku ingin pulang. Aku tidak mau berada di sini. Maafkan aku jika aku berbuat kurang ajar sampai kalian menangkapku, tolong lepaskan aku! Ku mohon!" Hadyan memijat keningnya sendiri "Kau tidak salah, Tasia. Aku membawamu ke sini, karena aku telah memilihmu untuk menjadi permaisuriku di kerajaan ini." "Apa? Permaisuri?" Ulang Tasia. Hadyan mengangguk "Ya, aku telah memilihmu sebagai permaisuriku. Jadi, mulai sekarang kau akan tinggal di sini bersamaku." Tasia menggeleng cepat "Gak mau! Aku tidak mengenalmu! Lagipula aku punya rumah dan nenek juga teman-temanku menunggu di sana. Aku tidak mau menjadi permaisuri mu. Aku mau pulang!" *** Mohon berikan support (Power stone, Komen, Review) kalau kalian suka ceritanya ya!! Trimakasih & Selamat membaca!! \^^/ Karya Lydia_Siu di Webnovel : - The Prince Of The East Sea (Tamat) - The Black Swan Behind (Tamat) Banyak quotes dan info menarik di sosial media author! Yuk difollow! Instagram : @author_lydia_siu FB Page : author Kalong_ungu / Lydia_Siu Twitter : @kalong_ungu *** Note tambahan : - Cerita ini terinspirasi dari tokoh, tempat, dan cerita mitos yang banyak beredar di Indonesia. Lalu digabungkan dan mengalami modifikasi sesuai imajinasi author. - Isi, nama, tokoh, dan lokasi dalam cerita ini tidak ada hubungannya dengan cerita rakyat/lokasi yang sesungguhnya.

Lydia_Siu · Fantasy
Not enough ratings
255 Chs

Banana Boat Malapetaka

"Kau dari mana aja, Sia?" Tata terbangun ketika dengan hati-hati Tasia berbaring kembali di atas ranjang mereka.

"Tadi aku pergi keluar sebentar karena tidak bisa tidur. Pikiranku sedang kacau, jadi aku berpikir untuk mencari angin segar," Jawab Tasia seraya menutup tubuhnya dengan bed cover putih karena kedinginan sehabis didera angin laut malam.

"Tunggu dulu.." Tata mengerutkan dahinya sembari bangkit duduk dengan cepat.

Tasia tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Ta. Soal mitos itu, entah benar atau tidak. Buktinya, aku masih sehat saja di sini, 'kan?"

"Bukan itu. Ini wangi dari tubuhmu, ya? Arona bunga, seperti bunga tujuh rupa untuk berendam di salon-salon. Atau.. yang biasa ada di kuburan.." Gumam Tata semakin bingung.

"Ah.. Benarkah? Hidungmu mungkin sedang bermasalah. Atau.. kau berniat menakuti ku? Haha.. sudahlah, aku mengantuk ingin tidur!" Tawa Tasia dengan segera berbalik memunggungi Tata yang masih menatapnya heran.

'Apakah aku sungguhan sedang berhalusinasi?' pikir Tata dalam hati. Meski masih heran, ia memutuskan untuk lanjut tidur.

Dari ventilasi, sepasang mata kuning menyala mengawasi gadis-gadis itu tanpa mereka sadari.

"Aku akan membawamu pulang," Gumam Hadyan.

***

Keesokan harinya,

Tasia dan kawan-kawannya bermain air di bibir pantai.

"Awas, Mark! Jangan berenang terlalu jauh!" Teriak Tata.

"Huh.. si Mark itu, hanya karena ia mahir berenang, ia menganggap lautan seakab tidak bisa menelannya." Jordi menggeleng-geleng.

"Kalau begitu aku akan menyusulnya! Mark! Tunggu! Aku akan menyelamatkanmu dari hantu laut!" Seru Patra dengan berlari semakin jauh ke tengah laut hingga ia berenang-renang ketika kakinya sudah tidak lagi mendapat pijakan di atas pasir.

"Dia itu! Mulutnya perlu diselotip!" Oceh Marya geram.

Tasia hanya dapat tertawa melihat tingkah bodoh anak-anak itu. "Ingatlah, Marya. Jika nanti kita diganggu hantu, kita harus meminta pertanggungjawaban Patra."

"Oya, Tasia. Memangnya sandal jepitmu di mana? Kenapa kau memakai sepatu sekarabg?" Tanya Tata dengan mengamati kedua kaki Tasia yang terbalut sepatu sneakers hijau tosca.

Wajah Tasia langsung berubah menjadi masam. "Patra meminjamnya untuk dipakai bermain futsal sampai kotor dan melar kemarin."

Sontak Tata dan Marya tertawa ketika membayangkan kaki Patra yang begitu besar mengenakan sandal feminim Tasia yang begitu kecil.

"Oya! Aku baru ingat! Tadi malam, aku bertemu dengan anak kecil yang sangat lucu. Ia menginap di kamar blok pari." Ujar Tasia semangat.

"Anak kecil? Malam-malam seperti itu? Mana mungkin," Sahut Marya.

"Benar, Marya. Aku tidak bercanda. Orangtuanya sangat ceroboh membiarkan anak itu bermain sendirian. Aku yang mengantarnya kembali ke kamarnya. Ayo kita ke sana, siapa tahu mereka belum check-out. Anak itu sangat lucu, kalian pasti gemas melihatnya. Terutama kau, Marya. Kau sangat menyukai anak kecil, 'kan?" Ajak Tasia antusias dengan menarik-narik tangan Marya.

"Kalau begitu ayo kita ke sana," Jawab Marya, terpancing oleh semangat sahabatnya itu.

Lalu mereka bertiga berjalan menuju blok pari sambil bercengkrama. Kebanyakan Tasia menceritakan mengenai lucunya wajah anak semalam dan betapa polos kata-katanya, terutama kemampuan bocah itu dalam merayu perempuan.

Akhirnya, mereka sampai di kamar paling ujung yang adalah kamar anak yang dari tadi diceritakan oleh Tasia. Kebetulan sekali, ada seorang pelayan resort yang tengah membuka kunci pintu kamar itu.

"Permisi, Bu. Apakah penghuni kamar ini ada di dalam?" Sapa Tasia.

Ibu itu berbalik dengan dahi berkerut. "Penghuni? Mereka belum datang, Mbak. Mereka datang malam ini. Karena itu, aku harus membereskan kamar ini sekarang." Jelasnya.

"Maksudku, penghuni yang tadi malam tidur di kamar ini, Bu. Yang memiliki anak kecil laki-laki berusia sekitar tujuh tahun. Atau, mungkinkah mereka sudah check-out?"

Ibu itu menggeleng bingung. "Tidak ada yang menyewa kamar ini selama dua minggu ini, Mbak. Mungkin kau salah kamar,"

Tasia menggeleng cepat. "Benar kok, Bu. Aku yakin, kamar di blok ini, kamar paling ujung. Resort ini tidak memiliki kamar terlalu banyak. Hanya dua baris ini saja di sini, tidak mungkin aku salah." Kukuhnya hingga membuat ibu itu semakin mengerutkan dahi.

"Mungkin kau salah blok, Sia. Kemarin kan sudah malam, mungkin kau salah melihat blok." Ungkap Tata.

"Tapi hanya ada dua blok di deretan sini, Ta. Setiap dua blok dibatasi oleh loby besar." Sahut Marya.

"Benar juga, apa mungkin kau salah lihat kamar?" Tanya Tata lagi.

"Tidak mungkin salah kamar, Mbak. Karena di blok pari ini, semua kamar sudah kosong sejak dua hari yang lalu." Potong ibu pelayan. Daerah pantai ini memang masih belum banyak pengunjung.

Sebuah dentuman keras seakan memukul dada Tasia dari dalam. Mendadak, ia menjadi merinding tidak karuan.

Begitu ia melirik teman-temannya, ternyata wajah mereka sudah turut pucat.

"Maaf mbak, seharusnya mbak tidak keluar saat malam hari. A-aku permisi dulu," Ucap ibu itu. Ia mengurungkan niatnya membersihkan kamar tersebut dan memilih mengkuncinya kembali dan segera pergi meninggalkan tiga gadis itu.

"Kamu bercanda ya, Sia?" Tanya Marya.

Tasia menggeleng. "Aku tidak bercanda. Kalian tahu sendiri aku tidak berani bercanda tentang hal semacam ini."

"Kau yakin itu bukan mimpi?" Tanya Tata.

"Tidak mungkin, Ta. Kau yang lihat sendiri tadi malam aku pergi keluar."

"Ta.. ayo kita pergi dari sini!" Marya mulai panik ketakutan.

Lalu mereka segera kembali ke pantai di mana para anak laki-laki tengah bermain gendong-gendongan di bibir pantai.

Patra menangkap keberadaan mereka dan segera berlari menghampiri.

"Sudah. Kita lupakan saja kejadian itu. Jangan ceritakan kepada yang lain, oke?" Ujar Tata cepat.

Marya dan Tasia mengangguk menurut.

"Kalian ke mana saja? Kenapa wajah kalian seperti baru melihat hantu?" Tawa Patra.

"Kami hanya berkeliling sampai ke belakang sana. Ya, sekarang hantu itu ada di depan kami," Jawab Tata santai.

"Hah.. Dasar kau. Ingat ya, jika kalian berniat uji nyali, jangan lupa mengajakku." Patra bertolak pinggang.

Ia tahu semua teman di kelompok ini bahkan ketiga gadis di hadapannya memiliki rasa penasaran yang besar. Hanya saja, Tata sangat keras kepala untuk mengakuinya.

"Siapa juga yang mau melakukan hal kurang kerjaan seperti itu?" Tata memutar bola matanya.

"Ada. Itu orangnya!" Marya menunjuk Patra tepat di wajahnya.

Patra segera mengibas tangan Marya dengan sebal.

"Hey! Ayo kita bermain banana boat!" Teriak Mark yang sudah mengenakan pelampung dan di belakangnya sudah bertengger sebuah pisang raksasa beserta perahu boat dengan petugas untuk menarik pelampung pisang itu.

"Wah! Cepat juga dia bergerak!" Gumam Patra semangat.

"Yeay! Banan boat!" Seru Marya, mengekori Patra yang sudah berlari terlebih dahulu.

"Ayo, Ta!" Tasia menarik lengan Tata untuk segera ke bibir pantai.

Nampaknya mereka dengan cepat melupakan kejadian mistis yang baru saja mereka alami.

Sebenarnya, Tasia dan Tata masih cukup terganggu dengan kejadian itu. Sesekali kejadian itu melintas di pikiran mereka, namun dengan segera mereka enyahkan.

Patra, Tata, Jordi, Marya, Tasia, dan Mark. Mereka duduk berderet dari depan sampai belakang. Lalu perahu boat menarik pisang tumpangan mereka menuju tengah laut dengan cepat.

"Woaa!!"

Serentak mereka menjerit senang saat perahu dengan kecepatan penuh menarik pisang itu melawan deru angin kencang dan memecah ombak-ombak yang mengguncang pisang raksasa yang mereka naiki. Angin kencang tersebut bahkan sanggup membuat rambut mereka yang tadinya basah kuyup menjadi kering.

Ketika sudah benar-benar sampai di tengah laut perairan dalam, dengan cepat perahu boat yang menarik balon pisang raksasa tersebut berbelok menikung dengan tajam, sengaja ingin membuat pisang tumpangan mereka terbalik.

Dan.. Byur!

Mereka semua tercebur ke dalam air.

"Buahaha!" Mereka tertawa girang ketika pelampung keselamatan yang mereka kenakan membawa mereka kembali mengapung di atas air.

"Gila! Teriakan Marya keras sekali! Rasanya gendang telingaku hampir pecah!" Keluh Jordi sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air laut yang asin.

"Bukan hanya aku saja! Tasia juga berteriak sangat keras!" Marya membela diri sambil tertawa.

"Loh? Di mana Tasia?!" Seru Mark.

"Tasia! Tasia!" Seru Tata dan Marya keras ketika menyadari sahabat mereka menghilang.

Semua mencari-cari dan meneriakkan nama Tasia sambil terapung-apung di tengah laut. Gadis itu menghilang, tidak ada di antara mereka.

"Pak! Teman kami hilang satu, Pak!" Seru Patra panik pada bapak pengemudi perahu boat.

"Astaga! Kalian semua cepat naik ke atas perahu dahulu!" Seru bapak itu serius.

Baru kali ini selama ia bekerja dalam bidang ini ada orang yang hilang saat bermain wahana air. Padahal, arus ombak sedang tidak kencang.

"Tasia!" Seru teman-temannya lagi dari atas balon pisang.

Namun tidak ada jawaban. Laut terlihat tenang berdampingan dengan langit cerah tanpa ada apa pun yang terlihat mengapung di sana selain banana boat mereka.