Penthouse Skyscraper, Kensington, London.
Masih di ruang tamu di mana seorang wanita terbalut jas kebesaran seorang pria tampak duduk dan merenung di sofa, menunggu sang pemilik hunia yang memintanya untuk menunggu.
Noel Pov on
Namaku Noel, itu hanya nama panggilan agar yang lain tidak tahu siapa aku sebenarnya. Aku akan menceritakan secara singkat, kenapa akhirnya aku terdampar di sini.
Ini terjadi beberapa minggu yang lalu, saat itu aku masih berada di sekolah ketika menerima sebuah pesan jika ada hal yang terjadi menimpa keluargaku.
Koridor rumah sakit yang kulalui saat itu berisik dengan derap langkah kakiku, sambil mengusap kelopak mata yang basah karena rasa sedih di sepanjang aku berlari, menuju kamar dimana tempat kakakku dirawat sesuai informasi yang kudapat.
Beberapa saat sebelumnya aku diberi kabar jika keluargaku mengalami kecelakaan dan mengakibatkan orang yang kusayang terluka, bukan hanya itu kedua orang tuaku pun turut menjadi korban dengan meninggal tanpa sempat ditolong di tempat kejadian.
Hatiku hancur saat mendengar kabar itu, padahal semua awalnya tampak normal dengan candaan di pagi hari sebelum orang tua dan kakakku pergi meninggalkan rumah kami menggunakan satu mobil yang sama.
Saat itu aku tidak memiliki pikiran apapun, selain kata 'tumben' karena biasanya kakak selalu menggunakan motor untuk pergi kuliahnya yang sudah ada di penghujung semester.
Ya, tepatnya kakakku hanya menunggu lulus dan wisuda.
Namun apa ini, kenapa aku mendapat kabar menyesakkan ini? Apakah ini hanya candaan, tapi itu semua memang terjadi membuatku tak kuasa menahan tangis dan seketika itu aku pula mendatangi rumah sakit ini.
Akhirnya aku sampai di sebuah kamar, dengan seorang pria yang dikenaliku terbaring di atas ranjang dan di tubuhnya dipasangi banyak alat penopang hidup.
Hiks….
Semakin tumpah ruah air mataku, menangis tersedu dan membuat seorang perawat di sana menatapku, mungkin khawatir, tapi entahlah karena fokusku saat itu hanya pada kakakku.
Aku meratapi keadaan kakak, yang hampir sebagian tubuhnya dibebat sebuah perban dan noda merah ikut menghiasi.
Namun, baru saja aku ingin mendekati sang kakak, sebuah teguran membuatku berhenti karena sang perawat meminta untuk lebih dulu mengurus jenazah kedua orang tuaku.
Aku menurut, kemudian berjanji kepada kakak akan merawatnya sampai sembuh seperti semula. Hingga akhirnya aku pergi dari ruangan dan mengurus pemakaman kedua orang tuaku agar bisa istirahat dengan tenang.
Banyak yang menghadiri pemakaman kedua orang tuaku mengingat keluargaku lumayan terkenal, termasuk keluarga dari sang papa yang berdiri di hadapanku saat itu.
Kesialan hidupku ternyata tidak sampai situ, karena saat aku pulang dari rumah sakit ke kediamanan milik keluarga, ternyata di sana sudah ada paman dan bibi yang berkata jika aku sudah tidak berhak tinggal di situ.
Entah bagaimana ceritanya, tapi aku hanya mendapati jika sebuah surat tertulis bahwasanya papa sudah menyerahkan aset berupa rumah serta perusahaan kepada paman dan bibi, yang saat itu tersenyum sinis.
Tuhan, kenapa hidupku menjadi seperti ini?
Aku tidak punya pilihan selain pergi, membawa barang-barang seadanya dan meninggalkan rumah tempatku tinggal selama 17 tahun hidup bersama keluarga yang kucintai. Aku merelakan segalanya, tidak bisa melawan dan akhirnya menuju rumah sakit dimana kakak terbaring.
Satu hari dua hari dan hari berikutnya aku tinggal di rumah sakit, meninggalkan sekolah yang sebentar lagi akan mengadakan ujian kelulusan.
Aku pikir tidak apa, karena aku selalu berdoa agar Tuhan segera membangunkan kakak dan kembali bersamaku lagi. Namun sayangnya masalah tidak sampai di situ, tagihan yang kian bertambah karena keadaan kakak yang koma membuatku bingung.
Aku tidak tahu harus bagaimana, mencari pekerjaan tanpa kemampuan siapa yang akan menerima? Terlebih aku yang hanya seorang pelajar, meskipun sebentar lagi lulus dan baru bisa mendapatkan ijazah setelahnya.
Namun, siapa yang akan menerima seseorang yang masih perpendidikan rendah sepertiku?
Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kerja menjadi pengantar koran, susu atau apapun, bahkan menjadi pelayan di café dengan hasil harian yang sama sekali tidak menutupi biaya keperluan kami.
Tabungaku juga sudah habis, membayar untuk biaya inap yang diam-diam sudah memasuki hari ke 7 sejak kecelakaan itu terjadi.
Suatu hari aku ditagih untuk biaya operasi yang belum sempat dibayar sepenuhnya, mendahulukan biaya lainnya yang juga menjadi tanggunganku.
Aku hampir gila, duduk di pinggir jalan dengan sebuah gedung club kupandangi dengan hati kosong. Namun, melihat wanita cantik keluar masuk membuatku penasaran dan akupun nekat memasuki club itu.
Di sana aku bertemu dengan seorang pria tua yang memperbolehkanku ikut bekerja.
Pekerjaanku katanya menjadi wanita penghibur dan dipersilakan mematok harga, tanpa pria tua itu ambil biaya ketika aku menceritakan masalah kenapa sampai nyasar di tempat itu.
Entah harus bersyukur karenanya atau meratapi nasib, aku sama sekali tidak menyangka jika pekerjaan yang dulu kuanggap tabu, kini justru menjadi satu-satunya harapan untukku tetap bertahan hidup bersama kakak.
Malam itu aku segera memulai pekerjaan, berganti pakaian yang dipijamkan oleh seorang wanita baik hati yang sudah lama bekerja di sana dan memberiku saran untuk merayu pria.
Beruntung aku memiliki keterampilan di bidang menari meski aku tidak pintar berdandan, tapi wanita yang membantuku itu memujiku karena memiliki body bagai gitar.
Aku tidak bisa tersenyum senang mendengar pujian itu, tapi tetap harus memaksakan mengulas senyum ketika akhirnya aku dibawa menghibur seorang di ruang VIP bersama si wanita yang membantuku itu.
Untuk pertama kalinya aku menari bagai jalang, yang haus akan belaian ketika kulitku disentuh dan diraba oleh tangan kasar para lelaki yang membayarku untuk menari.
Namun tidak apa-apa, aku melakukan itu tanpa paksaan terlebih malam itu aku membawa uang lumayan untuk segera dibayarkan ke rumah sakit dan seketika bernapas lega, karena bisa menyicil lagi biaya rumah sakit untuk keesokan harinya.
Saat itu aku segera kembali ke kamar untuk memastikan kakak tidur nyenyak, kemudian tersenyum dan sekali lagi meyakinka ndiri jika bekerja sebagai penari bukanlah pilihan, tapi itulah tuntutan hidup yang harus kujalani agar tetap bisa bertahan.
Dan selanjutnya, aku menjalani hariku sebagai penari yang mematok harga mahal tanpa ada seorangpun yang mampu membayar, membuatku mendapatkan uang meski tidak banyak ditiap malam.
Namun, ternyata tidak selamanya aku bisa berhasil terlepas dari pria yang memang berniat memakai jasaku, karena apa, karena saat ini aku ada di sebuah hunian dengan seorang pria yang berkata akan membayarku lebih dari harga yang kupatok.
Ya, tepatnya hunian mewah dan kembali membuatku merutuki nasib.
Aku tidak tahu ternyata keputusanku menerima tamu ini membuatku dilema, meskipun begitu aku harus melakukan segala cara, agar malam ini pria itu tetap tidak jadi membayarku lebih dan hanya membayar jasa menariku.
Ceklek!
Oh sial, dia akhirnya keluar dari sana dan sialnya lagi ketika dia duduk serta menatapku lurus, hatiku justru dibuat berdebar saat bisa melihat jelas wajahnya.
Kemana aku selama beberapa jam yang lalu? Kenapa baru ini memperhatikan wajahnya yang sangat tampan?
"Kau melamun, bocah kecil."
"Jangan panggil aku bocah kecil, Tuan Gael!"
Noel pov end
Bersambung