Festival telah di mulai. Dimas ingin sekali melubangi kepala Bagastara, tetapi cahaya sialan itu melemparkannya dan seluruh pasukannya ke area lain. Dia ingin bertarung saat ini juga. Dia ingin membuktikan sebagai yang terkuat.
Satu-satunya orang yang mau meladeninya bertarung selama ini adalah Faiz. Dimas sudah menahan dirinya untuk tidak menyerang Faiz sebelum festival pembukaan karena dia masih memiliki fraksi dan keinginan untuk menguasai wilayah ini. Akan tetapi, kesabarannya dihancurkan Bagastara.
Pembunuh sialan tak bermoral. Dimas bersumpah akan membunuh laki-laki itu karena dia adalah pahlawan dunia ini. Dia adalah orang yang akan menyelamatkan dunia ini, karena itulah [Holy Spear] ada di tangannya. Dan dia akan memenuhi perannya dengan baik.
Dimas tidak peduli pada orang-orang di kota ini. Tidak peduli pada orang-orang yang membencinya dan takut padanya. Itu wajar. Mereka tidak tahu tentangnya dan perannya yang sangat penting bagi dunia mereka. Setelah dia mendapatkan gelas [King] di kota ini, dia akan dipuja-puja.
Bayangan itu membuatnya tertawa dalam khayalannya sendiri.
Tugas pertama sebagai pahlawan dunia ini adalah mengalahkan entitas jahat. Bagastara adalah antagonis yang harus dia kalahkan.
"Cari! Cari Bagastara dan bawa dia padaku!"
Anggota fraksinya bersorai dan berpencar sesuai dengan perintahnya. Beginilah seharusnya. Dimas layak dipuji karena dia adalah pahlawan yang akan menyelamatkan dunia ini.
'Lihat saja, Bagastara!' pikirnya. 'Pahlawan selalu kalah di awal dan menang pada akhirnya.'
Dulu, Dimas pernah melawan Bagastara dan hampir tak selamat karenanya. Bagastara yang saat itu hanya diisi oleh kegelapan dan kekejaman menatapnya dalam. Tubuhnya merinding dan saat dia menyerang, bayangan-bayangan itu mengalahkannya. Sungguh beruntung karena dia bisa mela-tidak-mundur dari situasi itu. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengalahkan penjahat.
Itu adalah khayalan yang sangat menyedihkan. Tidak ada penjahat dan pahlawan di dunia itu. Kebaikan hanya datang dari sudut pandang mana seseorang melihat. Dimas belum menyadarinya. Dia hanyalah anak yang masih terlena pada perubahan dan kekuatan yang seperti imajinasi semata pada kehidupan sebelumnya.
Imajinasi dan harapan itu akan menelannya ke dalam keputus asaan terdalam.
Oleh karena itulah, Lucy tidak pernah berada di sisinya.
Lelaki itu tidak layak menjadi pemimpin. Pun tidak akan mampu menyelamatkan dunia ini.
Orang yang mampu menyelamatkan mereka dan bergerak maju adalah mereka yang mampu terlepas dari belenggu Player dan NPC. Orang-orang yang tak menganggap dunia ini sebagai permainan semata.
Sejak awal, pertarungan ini hanyalah permainan awal dari kekejaman yang sebenarnya. Satu-satunya hal benar yang dipikirkan Dimas adalah memenangkan wilayah ini.
Mereka yang terlena kekuasaan atas tittle itu tidak akan mampu melangkah maju. Kenneth adalah orang yang akan terlena karena kekuasaan itu bila dia memenangkannya. Sementara itu, Dimas tidak akan membuangnya. Dimas akan menyimpan kekuasaan itu dan pergi meninggalkan kota ini tanpa pemimpin yang akan menjatuhkannya dalam kehancuran.
Dunia ini tidak hanya membutuhkan kekuatan dan kekuasaan, melainkan juga kebijaksanaan.
Tes yang sangat menyeramkan untuk orang-orang yang mengira dirinya lebih baik daripada yang lain.
Bagaimana pun, fraksinya tidak pernah berharap memenangkan title itu. Akan tetapi, dia juga tak bisa meninggalkan pertarungan tittle itu begitu saja. Secara pribadi, dia menginginkan Bagastara menjadi pemenangnya.
Lucy melirik ke anak buahnya yang berdiri di belakang.
Wanita itu membawa pedang panjang di pinggangnya. Lucy memerintahkannya pergi ke pertemuan sebelum pertarungan ini dimulai. Seperti yang sudah dia duga, dua orang bodoh itu menujukkan raja mereka langsung, sementara satu orang sudah mati. Satu fraksi terakhir cukup bijak untuk tidak menunjukkan raja mereka.
"Nona Lucy, Bagastara ada di wilayah selatan. Akan tetapi, Fraksi Kenneth sedang bergerak ke arah mereka. Saya berasumsi Kenneth mengira Bagastara sendirian."
Senyum tipis merekah di mulutnya.
Bagastara tidak sendirian. Akan tetapi, cukup mengejutkan untuk Bagastara memiliki ekspresi yang begitu cerah seolah dia baru saja menemukan permainan yang sangat menarik.
'Aku penasaran dengan orang-orang yang berhasil membawa kesenangan itu pada Bagastara. Aku ingin bertemu dengannya juga.'
Lucy tertawa kecil. Hal itu membuat wanita, Astari, mengenyit.
Suara Lucy yang kecil menggema di ruangan gelap itu.
"Astari!"
"Ya, Nona."
"Bawa teman-teman kita dan alihkan perhatian Kenneth dari Bagastara. Pastikan pasukan Kenneth dan Dimas saling bertemu. Wilayah tenang kosong saat ini. Mereka akan bergerak di dunia wilayah yang berbeda, tetapi itu adalah wilayah pertemuan yang bagus. Kenneth dan Dimas tidak akan bertemu saat itu, tetapi tidak masalah. Pastikan saja pasukan Kenneth dan Dimas bertemu sebanyak mungkin."
Astari tidak segera menjawab. Rencana yang baru saja diberikan Lucy akan memerlukan banyak sekali rekannya. Mereka bukan fraksi besar seperti Fraksi Kenneth dan Dimas. Anggota Fraksi mereka bahkan tak lebih dari lima puluh. Bila mereka mengirim terlalu banyak anggota, anggota yang tersisa takkan cukup untuk melindungi Lucy.
Astari berada sedang berpikir keras. Hal itu justru membuat Lucy memanggilnya sekali lagi.
Namun, bukannya menjawab, Astari justru menggeleng.
"Tidak bisa, Nona. Perlindungan Nona adalah prioritas utama kami. Nona adalah masa depan untuk--."
"Astari!"
Panggilan namanya kali ini berupa nada dingin yang menusuk tulang.
"Bukankah sudah kukatakan mereka yang terlena pada perasaan lebih istimewa tidak akan mampu bertahan."
Astari terkesiap.
"Ya, Nona."
Lucy tidak menoleh padanya dan justru mengubah proyeksi dalam bola sihirnya pada Bagastara yang sedang menyeret seorang lelaki muda diikuti dengan Andira dan Dimas. Tatapannya tertuju pada lelaki muda di tangan Bagastara. Entah mengapa, dia merasakan hubungan aneh di masa depannya dengan lelaki itu.
Jari-jari yang lentik itu mengusap bola sihirnya. Lucy pernah bertemu Andira dan telah melihat Dimas. Akan tetapi, yang satu ini. Anak muda yang seolah membawa kesenangan pada Bagastara ini, Lucy baru melihatnya sekarang.
Bagastara tidak pernah peduli pada sekitarnya. Lucy masih bisa mengingat pandangannya saat mereka bertemu. Bayangan-bayangan yang mengerikan itu. Tumpukan mayat di kakinya. Janji menakutkan bahwa dia akan menjadi bagian dari itu. Masa depan yang terlintas di matanya ketika dia menyentuh Bagastara.
Kejam. Tragis. Kematian.
Meski begitu, dialah yang menunjukkan pada Lucy tentang kenyataan.
Dunia yang kejam ini nyata.
Namun sekarang, lelaki yang sama dengan iblis berdarah dingin itu sedang tersenyum puas sambil menyeret lelaki muda yang keberatan atas perilakunya. Lucy bahkan tidak pernah membayangkannya.
Tiba-tiba saja, Lucy berdiri.
"Ayo!"
Kali ini, Astari terkesiap. Wajahnya pucat ketika melihat kilat tertarik di mata Lucy.
"Nona Lucy, anda tidak bisa menunjukkan diri di depan Bagastara."
Lucy menyentuh pipinya perlahan.
"Aku hanya ingin melihat masa depannya."
Meski Astari berteriak tidak percaya, tidak ada hal yang bisa menghentikan Lucy dari ketertarikannya.