7 Suku Dani dan Tragedi Merdeka

Aditya memejamkan matanya dengan perasaan takzim. Itu wajah seseorang ketika belum mandi berbulan-bulan, kemudian orang itu menemukan genangan air hujan yang beruntung tidak terserap oleh tanah, lalu air itu ia guyurkan melalui sela-sela rambutnya, ia menikmati sensasi dingin menjalari kulit kepala. Itulah wajahku saat aku telat mandi. Yang berbeda adalah ketika Aditya yang melakukan itu, wajahnya lebih tenang daripada bayi merah yang baru pertama kali menikmati tidurnya di alam dunia.

Ini kesempatan. Aku bisa menggunakan detik-detik ini untuk melayangkan peluru panah ke titik-titik vitalnya. Aku menyipitkan mata, mengincar dada, dahi, dan satu panah tipuan yang berfungsi untuk mengantisipasi jika dia menghindar ke arah samping kanan. Matanya masih terpejam.

Tanpa suara, tanpa teriakan, panahku meluncur bagai tiga sekawan musang yang bekerjasama ingin membunuh dan menyantap ayam buruan di hari gelap nan sunyi. Swoosh! Membelah angin kencang. Mendekati tubuh Aditya.

Kurang dari tiga puluh centimeter. Tipis sekali dan hampir saja kemenangan berada di genggaman tanganku. Hampir, karena Aditya bergerak layaknya kilat, menghindar ke arah samping kiri dengan cara membengkokkan tubuhnya. Tiga panah telak tak menyentuh apapun kecuali tanah lapang berumput semi kering.

Aditya mengembalikan ke posisi awal, berdiri tegak. Menoleh ke arahku lalu membuka matanya yang sendu yang perlahan-lahan meningkat menjadi tatapan sengit nan tajam. Ia memutar balik tubuhnya, melangkah mendekati Sute yang tidak berdaya lehernya dikunci oleh terkaman cakar Zach. Burung hantu itu menang. Zach menyadari kemenangannya saat majikan musuhnya datang menghampiri binatang peliharannya. Zach melepaskan cengkraman lalu terbang menghampiriku, terbang melewati Aditya tanpa saling beradu tatapan.

Aditya mengelus Elangnya, mulutnya lirih mengucapkan sesuatu. Zach yang baru bertengger di pundak kiriku melenguh pura-pura lelah, aku tahu energinya tidak terkuras banyak melawan Sute, aku tahu dia hanya butuh menghindari Sute dan menerkam lehernya supaya Elang itu tidak bisa melawan balik. Dasar burung hantu cerdik. Perlahan perasaan takutku pada Zach tergantikan oleh perasaan senang, perasaan anak kecil ketika ikan cupangnya menang membunuh ikan cupang orang lain.

"Tenanglah, Bima. Jaga kestabilan perasaanmu. Aku melihat detak jantungmu sedikit naik setelah melihat Aditya menghindari anak panahmu seperti mengelak dari serbuan lemparan bayi," Zach berbicara menelengkan kepalanya, mendekatkan paruhnya di telingaku.

Aku berbisik ,"Ko tahu detak jantungku?"

"Setiap detiknya, Nak. Ingat, aku ini hewan yang berbeda dari biasanya. Bisa dibilang bangsa Neprim adalah monster baru di bumi ini, monster yang Kakekmu ciptakan," Aku melihat Sute berjalan melalui lengan Aditya hingga menuju pundaknya, "Makhluk Neprim memiliki kemampuan beragam dalam satu tubuh yang belum banyak kamu ketahui, Bima." Kini Sute berdiri gagah membusungkan dadanya di samping kepala Aditya, seolah tidak terjadi apa-apa, seolah dia tidak pernah merasakan sesak dari cengkraman cakar Zach. Mata tajam elang itu menatap kami bergantian.

"Bima, kamu harus menelan pil merah dariku yang tersimpan di botol minummu itu sekarang, Nak" ucap Zach, kepalanya memutar untuk melihatku. Aku sempat terkagum dia juga tahu letak pil merah itu berada. Mata tembus pandang, kah?

"Kenapa harus sekarang?" tanyaku, masih menatap Aditya dan Sute.

"Sekarang aku akan memberitahumu ringkasan manfaatnya, Nak. Efek dari pil merah itu adalah: satu, membuat otakmu bekerja maksimal selama puluhan menit ke depan—sebenarnya itu tergantung penelan, semakin pintar penelan, semakin lama fungsi obat itu bertahan, bisa berjam-jam, berhari-hari, menahun, bahkan tidak akan hilang kecuali datangnya kematian. Dua, tubuhmu akan terbius, kamu tidak merasakan rasa sakit dari pukulan atau serangan apapun dari lawanmu tanpa harus pingsan seperti seorang pasien di kamar inap. Itu berlangsung sebentar, tidak permanen, tenang saja. Aku tidak ingin kamu berubah jadi zombie seperti di komik milik Kakekmu. Dan yang ketiga, efek dari kerja otakmu yang maksimal, kemampuanmu menyerap informasi meningkat tinggi, kamu bahkan bisa mempraktikkan teori yang baru kamu pelajari."

"Bima. Nak." Zach mengalihkan mata bulatnya melihat Aditya, "Sebelum aku bertemu denganmu, aku sering melihat anak hitam itu bermain-main di tengah hutan, membangun gubuk, menyantap daging apapun, bertahan hidup melalui banyak kekurangan, dan aku melihatnya bertarung melawan singa hanya untuk merebut daging rusa yang singa itu dapatkan."

"Dia anak berbahaya, Bima. Dia anak yang tangguh dan gigih berjuang."

"Jadi aku sarankan kamu, telan pil merah itu sekarang."

Penjelasan Zach hanya menambah gambaran sosok Aditya semakin menyeramkan di benakku saja. Sama seperti penjelasan Ayah dua hari kemarin. Walaupun merasa terbantu karena informasi yang didapatkan, di sisi lain membuat diriku semakin ngeri membayangkan sosok Aditya yang sebenarnya.

Aku meraih botol minumku yang terbuat dari bambu yang menggantung di pinggang sebelah kiri, bentuknya seperti botol minum plastik kemasan, ada lubang menyempit sebagai jalan rintis air keluar. Aku buka tutupnya. Melirik pil merah bercahaya di dasar air dalam botol.

"Sekarang?" tanyaku.

"Sekarang. Jika kamu ingin memenangkan hati Maruna." Zach memutar kepalanya hingga ke arah belakang, melihat gerombolan penonton suku Yani di bangku tribun. Matanya mengerjap pelan sekali, "Astaga, aku baru ingat, aku belum istirahat tidur," Zach melenguh lemah, "Sebaiknya aku pulang sekarang, Nak. Maaf aku tidak bisa berlama-lama menemanimu di sini. Tubuhku butuh istirahat rutin yang wajib dilakukan—kau tahu, demi perawatan." Zach memutar kembali kepalanya lalu terbang mengepakkan sayap dengan irama mellow menenangkan. "Semoga beruntung, Nak!" Zach terbang menjauhi arena tanding lembah Baliem menuju hutan sebelah barat seberang sungai Baliem.

Hari semakin terang karena matahari semakin tinggi, cahaya panas mentari mengikis tebalnya kabut sedikit demi sedikit. Sedangkan di bagian utara, barisan burung cendrawasih bertengger di pepohonan tinggi yang terletak di perbatasan hutan lebat dekat pemukiman koloni suku Dani, burung-burung berekor kuning bercampur putih itu kadang melompat-lompat pendek dari satu dahan ke dahan jenis pohon lain, mungkin untuk mencari posisi paling sesuai untuk menonton Raja Hutan mereka Aditya, melihat bagaimana penguasa hutan mereka mengatasi masalahnya.

Tanganku memegang botol berisi pil merah yang siap diminum kapan saja. Mata berserobot pandang dengan Aditya. Seolah melakukan komunikasi lewat kontak mata. Tatapannya seakan bertanya padaku, bagaimana bisa aku bertemu dan sedekat itu dengan burung hantu? Dia mengira hanya dirinya di antara penduduk lembah Baliem yang paling dekat hubungannya dengan perasaan hewan darat, udara, dan air.

Aditya menghela napas seolah menghembuskan beban dalam dirinya, tatapanya sama menusuknya dengan Sute yang kini terbang mengudara. Aku menguatkan genggaman tangan di botol, aku pikir dia akan lari menerjangku dengan kecepatan yang tak masuk akal. Ternyata aku salah, alih-alih dia menggembungkan otot-otot tubuhnya untuk melejit ke arah Anewa yang masih tertatih-tatih berdiri sembari bertahan dengan tombak sebagai penyangga tubuhnya. Tubuh bagian torso, lengan, dan kaki Anewa penuh luka lebam.

"Anewa!" suaraku tercekat, aku menutup kembali botol dan menngembalikan posisinya ke tempat semula, jemariku tergesa-gesa mengambil anak panah di quiver. Mataku sudah terlatih mengincar sasaran yang bergerak cepat, tanganku sudah terbiasa memprediksi tempat akhir dimana anak panah itu menancap. Tetapi untuk seorang Aditya, semua keahlianku seakan tidak berlaku lagi, seakan latihan yang aku lakukan sepanjang hidupku sia-sia.

Aku sudah mengupayakan dan mengeluarkan semua kemampuanku, aku melempar tiga panah terus menerus hingga anak panah di quiverku habis, menembak melambung ke udara dan jatuh bagaikan hujan deras, bagai rentetan petir yang mencari tempat bersauh. Namun Aditya menggunakan kaki luwesnya berlari zig-zag, menghindari banyak hujan panah, kadang larinya mirip sekali dengan hewan berkaki empat, kadang tubuhnya melenting menghindar seperti ular. Aditya meloloskan diri dari hujan panah itu dengan lompatan yang amat panjang, lalu berguling-guling untuk kemudian berlari kembali, sosoknya kini mendekati Anewa.

Anewa tersenyum, mungkin pada saat ini dia kesal karena tidak bisa berpuisi seperti di waktu luangnya ketika bermain bersamaku dan teman suku Lani lain. Anewa berteriak parau seolah membangunkan semangat dalam dirinya dan seolah merancang kembali otot-ototnya yang tertumbuk serangan lawan. Ia berjalan dengan sisa-sisa tenaganya, kemudian berjalan semakin cepat, menggerakkan engsel-engsel kerangka tulang untuk memaksa raganya menyongsong ancaman Aditya.

Anewa sekarang berlari sambil mengeraskan rahangnya, ia meringis hingga gigi yang saling menekan itu terlihat, tombaknya terpusat pada kaki Aditya.

Aditya datang dengan kecepatan seekor predator yang lari mendatangi mangsanya, tubuhnya condong ke depan, senjata kailnya diputar dengan pergelangan tangan kanan. Tiga meter sebelum bertubrukan, aku mengira Anewa akan menjegal kaki Aditya dengan galah panjangnya, malah dia menghujamkan tombaknya ke tanah, tongkat kayu panjangnya melengkung membawa tubuhnya ke udara, melompati sosok Aditya bagai menghindari kayu mistar gawang. Anewa di udara dan sosok Aditya di bawahnya sedang terkejut tidak menyangka, tangan Anewa masih menggenggam tombak, sangat cepat sepersekian detik setelah ia mencabut tombak, ia memutar tombaknya layaknya mainan gasing sambil menghabiskan oksigennya untuk berteriak keras, melaju dari arah kanan menuju atas lalu kemudian ke kiri menghantam sisi kanan tubuh Aditya. Telak dan keras sekali menghantam. Tombaknya menepak lengan Aditya hingga mengeluarkan suara yang nyaring. Aku sampai meringis seolah merasakan apa yang Aditya alami. Namun ternyata kejadiannya tidak berhenti di sana. Aditya menahan rasa sakitnya. Ia meraih tombak Anewa dan mengayunkannya dengan kuat melayang jauh ke arah timur, jatuh berdebam dan berguling-guling di rerumputan lapangan. Anewa tidak bergerak, dadanya kembang-kempis menatap cakrawala, menatap burung camar putih dan abu-abu menguak saat terbang bersama burung walet yang baru mulai keluar sarang mencari makan. Tidak terasa. Dia sudah terbaring lebih dari lima detik. Anewa telah dianggap mati.

Aditya menatap berdiri tegap, tubuhnya masih terlihat bugar dan napasnya pun tidak terlalu menderu kesal. Luka lebam mulai terlihat di lengan atas tangan kanannya. Matanya menatap lamat-lamat Anewa, setelah memastikan Anewa dianggap mati. Dia menoleh cepat menatapku, kedua alisnya meninggi seakan bertanya apakah aku sudah siap untuk kalah atau mengalah?

Aku merasa terancam; aku lupa tekstur rumput di telapak kakiku, aku lupa betapa sejuknya angin menerpa tubuh berkeringatku, aku tidak mendengar suara apapun, aku lupa kalau mata Maruna sekarang sedang menyaksikan pertandingan penentuan ini. Aditya memutar badannya menghadapku, kami sempurna berdiri tegak lurus seolah dalam satu rute dimana dua banteng bersiap mengadu tanduknya.

Aditya perlahan mengangkat tangan kanannya, mendekatkan jarinya di sela-sela gigi lalu menggigitnya hingga mengeluarkan darah. Ketika memastikan darah sudah keluar dari titik luka di ibu jari, Aditya menebalkan lukisan cat air di pipinya yang menggurat bentuk tangisan dengan darah. Itu sebuah simbolis milik pejuang kemerdekaan zaman dulu, masa di saat pahlawan suku Dani kehilangan orang terdekatnya karena dibunuh koloni Belanda, ditembak mati; mereka bersedih sampai air mata habis, sebagai ganti air mata, mereka melukis air mata dengan darah dari bangkai mayat bangsa Belanda. Itulah arti dari lukisan cat air di pipi suku Dani. Arti yang amat sangat dalam dan diselimuti tragedi. Mengalahkan arti dari coretan pipi suku lain di lembah Baliem.

Melihat warna merah, aku pun segera menyadari suatu hal yang mungkin dapat menjadi harapanku memenangkan pertarungan ini.

Benar. Pil merah bercahaya milik Minerva si burung hantu tua.

Aku buru-buru mengambil botol air minum di pinggul kiri sementara Aditya mulai memompa paru-parunya dan berlari cepat menerjangku dengan senjata kail digenggam di balik punggung tangan.

Aku mulai meneguk air. Glek!

Menelan pil merah. Mataku terbelalak.

Pandanganku berubah.

Aku melihat warna lain yang baru.

Entah, warna aneh macam apa itu.

Warna yang belum pernah aku tahu namanya.

Mataku melihat lebih lebar.

Aku melihat letusan cahaya kamera para turis.

Burung-burung di angkasa tinggi dan Sute.

Monyet bergelantungan di pohon lebat jauh di sana.

Sosok Zach yang tidur di lubang batang pohon.

Gerakan bibir Anewa yang melantunkan puisi dadakan.

Sebuah puisi harapan.

Harapan namanya tercantum di mading pengharagaan.

Aditya berlari dengan gaya merunduk. Tangannya mengayun silih berganti memompa kecepatan kaki. Wajahnya seolah yakin dia akan menang. Tidak. Tidak. Tidak. Aku yang akan menang!

Aku memasang kuda-kuda menyambut tatapan bengis dan serangan brutalnya. Menyambut nasib yang aku yakini baik untukku, untuk timku, dan untuk sukuku.

Pertarungan sebenarnya baru dimulai.

avataravatar