webnovel

TV Show

-This World by Selah Sue-

"Baiklah. Bukankah hari ini sudah waktunya kita untuk berbincang ala kita?"

"Yang selalu menjadi acara nomor satu untuk ditonton?" Si pembawa acara kedua menyambung sahutan meriah rekan pertamanya seperti biasanya.

"Apalagi, kita juga kedatangan seorang public figure istimewa yang konon katanya memiliki hubungan dekat dengan Mark Corbin. Bukankah begitu?" lanjut yang kedua.

To the point juga si pembawa acara kedua itu mengatakannya, batin Annabeth. Untungnya ucapannya itu tidak mengganggu pikiran penonton.

Lalu, suara tepuk tangan dari penonton pun riuh terdengar. Tak kalah dengan kedua pembawa acara yang juga turut memberikan tepukan untuk menyambut acara mereka sendiri.

"Siapa lagi kalau bukan Annabeth Heller!" sahut mereka bersamaan. Penonton yang hadir semakin meramaikan suasana dengan tepukan dan seruan antusias mereka.

"Hai!" seru singkat Annabeth memandang ke seluruh penjuru studio dengan bahagia. Menyapa resmi semuanya dengan lambaian tangan dan berdiri langsung dari tempatnya duduk dalam basa-basi kecil yang juga dia ucapkan.

"Gosh …! Memang selalu seperti inikah penonton acara ini?" ucapnya kagum.

"Sejujurnya, penonton menjadi begitu banyak begini hanya karena kedatanganmu saja, Nona Annabeth." jawab pembawa acara pertama yang juga terkagum dengan keadaan di tempat ini.

"Wah …! Thanks all!" jawab Annabeth setelahnya.

Semakin saja gemuruh antusias dari mereka yang datang diberikan untuk Annabeth.

Sebagai seorang tamu acara, tentu hal tersebut adalah bonus besar. Karena itu, dia selalu menunjukkan sikapnya yang selalu sopan, pandangan ramah. Sesekal dia kembali memberikan lambaian kecil kepada mereka sebelum benar-benar mendapat sahutan lain dari kedua pembawa acara tersebut.

"Benar-benar tidak terduga hari ini," decak kagum si pembawa acara pertama. "Kau memang benar-benar sangat terkenal, Nona Annabeth. Apa kau juga menyadarinya?" lanjutnya.

"Aku bahkan sama sekali tidak merasakannya," kekeh kecil Annabeth setelahnya.

"Baiklah, baiklah. Tenang, anak-anakku." canda si pembawa acara pertama. "Apa kita bisa memulai acaranya sekarang?"

"Yaa!!" jawab mereka dengan kompak.

"Hmm … biar kita terkesan bisa lebih dekat, apa boleh aku dan yang lainnya memanggil Anda dengan Nona Abeth saja?"

"Ya, ya. Silakan saja. Aku tidak masalah," jawab Annabeth kepada si pembawa acara pertama.

"Baiklah, Nona Abeth. Wah ...! Kau memang benar-benar stunning. Kurasa, keberadaanmu di sini akan menjadi berita besar juga di negara kita," lanjutnya kemudian.

"Begitukah?"

"Hufh …, bagaimana jika kita langsung memberikan beberapa pertanyaan kita kepadanya? Bukankah lebih cepat lebih baik?" sahut si pembawa acara kedua yang merasa memang inilah waktu yang sudah ditunggu.

"Ya, baiklah. Aku juga tidak keberatan," jawab si pembawa acara pertama.

Annabeth lagi-lagi terlihat begitu tertarik untuk menatap lekat si pembawa acara kedua dalam senyuman lembut yang masih tetap dia keluarkan.

"Bagaimana kabarmu, Nona Abeth?" tanya si pembawa acara kedua sedikit berbasa-basi.

"Aku sangat baik," jawabnya.

"Kuharap kau tetap baik-baik saja karena berita yang akhir-akhir ini kaudapatkan, Nona." lanjut si pembawa acara kedua kemudian.

"Berita yang mana?"

"O-oh. Maksudnya, karena karier cemerlangmu dan—"

"Tidak, bukan itu. Melainkan karena keberadaan Mark Corbin saat ini. Apa boleh kita membahas itu sekarang?" Si pembawa acara kedua tanpa segan membenarkan sendiri apa yang dimaksudnya sejak awal.

Ucapan rekannya ini cukup membuat pembawa acara pertama sedikit terganggu. Namun, masih saja dia bisa memberikan senyumannya kepada Annabeth walau terkesan sedikit tidak enak hati.

"Oh, tentang itu. Aku baik-baik saja. Tidak perlu dipermasalahkan," jawab Annabeth tanpa keberatan sama sekali.

"Good."

"Hush. Jangan berlebihan, Git. Jangan terlihat membencinya seperti itu. Ingatlah di mana kita saat ini," bisik pembawa acara pertama gemas. Dia memang merasa lelah karena rekannya yang memang tidak menyukai kehadiran Annabeth Heller.

"Apa ada masalah?" tanya Annabeth kali ini.

"O-oh, tidak, tidak. Tidak ada masalah apa-apa. Tidak biasanya aku dan dia merasa gugup seperti ini karena kedatangan bintang tamu sepertimu. Ini membuat kami bingung harus memulainya dari mana. Hehe!" jelas pembawa acara pertama yang disambut tawa oleh penggemar Annabeth Heller.

Annabeth masih tetap terlihat tenang dalam posisinya. Tidak ada sedikit pun dia terlihat tersinggung atas sikap yang diberikan kedua dari pembawa acara tersebut. Annabeth melirik pembaca acara kedua. Namun, pembawa acara kedua justru merasa kebingungan, berbanding terbalik dengan menggebunya hasrat untuk menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada Annabeth. Dia merasa Annabeth memandangnya cukup dalam, tanpa ragu dengan senyumannya. Annabeth hampir tak berhenti menatapnya begitu sejak di belakang panggung tadi.

Pembawa acara kedua merasa itu hanya perasaannya saja. Dia pun tak mengambil pusing tingkah Annabeth. Lalu, dia berdeham kecil.

"Jika aku bisa menebaknya, bukankah ini acara talk show pertamamu sepanjang kariermu, Nona? Sudah sekitar delapan tahun, kan, kau terjun di industri entertaiment? Benarkan jika aku salah menghitung. Haha!" tanya pembawa acara pertama.

"Ya, kau tidak salah menghitung. Tenang saja," Annabeth mengangguk.

"Kami hanya masih tidak menyangka saja jika kau bisa meluangkan kesibukanmu untuk datang ke acara kami ini. Yang aku dan lainnya dengar juga, kau juga selalu terkesan memilih-milih acara apa saja yang ingin kaudatangi. Apa itu benar?" lanjutnya.

Annabeth merasa itu sebagai sebuah sindiran.

"Hm, itu tidak benar," jawabnya.

"Apa kau mau berbagi dengan kami apa saja aktivitas harianmu selama berkarier ini?"

Sepertinya pembawa acara kedua ini mulai kembali berancang dengan ucapan pancingan lainnya.

"Hmm … rekaman, menyanyi di atas panggung, modelling, juga …"

"Bukan. Maksudku, aktivitas yang tidak kita ketahui, Nona." hela pembawa acara kedua kemudian.

"Eh, maksudmu yang mana?"

"O-oh. Maksudnya, penggemarmu juga sangat penasaran dengan kegiatanmu yang lainnya, Nona Abeth. Kau ini sangat terkenal. Jadi, aku yakin jika sejumlah awak media di luar sana pun sangat ingin meliput lebih tentang … tentang kehidupan di luar kegiatan di dunia hiburan," ralat pembawa acara pertama agar tidak menimbulkan kesalahpahaman akibat rekannya sendiri.

"Oh, aku mengerti."

"Hufh …, kau tidak perlu membantuku sekeras itu, Al. Aku bahkan—" Pembawa acara kedua menepis obrolan mereka.

"Jadi, apa jawabanmu?" potong pembawa acara pertama yang mulai tak menghiraukan rekannya.

"Seperti yang kalian tahu, karena Mark Corbin sedang ada di penjara saat ini, aku harus pulang-pergi dari mansionke apartemenku. Jadi …,"

"Jadi …?"

"Yah, seperti itulah," kekeh Annabeth setelahnya dengan santai.

"Gosh…!" Pembawa acara kedua gemas.

"Wow! Sepertinya hari ini kau sangat aneh, Git." hela rekan pertamanya kemudian. "Hufh …. Abaikan saja dia. Mungkin dia belum cukup kenyang saat makan tadi," lanjutnya, berusaha sedikit melucu di hadapan mereka yang ada di tempat ini. Ucapan itu pun langsung disambut tawa audiens.

"Jadi, selain kau selalu menolak tawaran acara talk show seperti ini, kau juga selalu menghindari awak media di luar sana. Dan kami juga merasa kau juga hanya selalu ingin datang ke acara yang bergengsi saja. Jadi, untuk bagian yang itu, apa kau bisa menjelaskannya kepada kami semua? Kenapa kau terkesan sesulit ini dan exclusive?"

Pembawa acara pertama kehabisan ide untuk menyudahi runyamnya keadaan yang diperbuat oleh pembawa acara kedua di acara televisi. Rekannya terus-menerus melontarkan pertanyaan di luar daftar mereka. Bahkan, rekannya tidak mengindahkan teguran yang disampaikan produser melalui running text di balik kamera. Hal itu membuatnya hanya memandang resah kepada audiensnya, dan juga Annabeth, dalam balutan senyuman kaku.

Annabeth tetap tidak mengubah sikapnya, tidak merasa terganggu oleh sikap pembawa acara kedua. Dia tetap tenang dalam senyumannya dan, tanpa yang lainnya rasakan, semakin melekatkan tatapannya kepada pembawa acara kedua. Berbeda dengan pembawa acara kedua yang merasakan perbedaan tatapan dan senyuman Annabeth kepadanya.

"Aku tidak memiliki alasan apa pun untuk melakukan hal itu. Dan aku juga bukan orang yang sulit seperti yang orang lain katakan."

"Jadi?"

"Yang jelas, karena karierku sebagai seorang model dan penyanyi di dunia hiburan ini cukup banyak kegiatannya, tidak mudah bagiku untuk mengambil semua yang memang bisa membuat namaku semakin melonjak. Apalagi waktu untuk melakukan sesi wawancara dengan awak media. Jadi, tentang hal itu, tidak perlu dicemaskan. Semuanya telah kuserahkan kepada manajerku. Dan … untuk hal yang lebih rinci dari ini, kalian bisa menanyakannya langsung kepadanya."

Apa si pembawa acara kedua itu sudah cukup puas dengan jawabanku? Apa masih ada lagi pertanyaan lain yang ingin dia utarakan untuk menggangguku saat ini? Batin Annabeth.

"Aku juga ada pertanyaan lainnya."

"Git—"

"Tunggu sebentar, Al. Pertanyaan lainnya ini bukan dariku, tapi dari para penggemar berat Mark Corbin. Kuharap Nona Abeth tidak keberatan juga untuk menjawabnya. Bisa?" Itulah alasannya kali ini.

Annabeth berpura-pura tak melihat keduanya. Dia berdeham kecil, menyapa audiensnya, untuk mengalihkan pikiran yang tadi menghalanginya.

"Kau terlihat dekat dengan Mark Corbin empat tahun terakhir ini. Dan yang kami juga tahu, hubungan yang kaujalani dengannya itu masih berjalan sampai saat ini. Tapi, apa kau juga tahu, Nona Abeth? Untuk …"

"Githa …" Pembawa acara pertama berusaha menghentikan rekannya.

"Sebentar, Al. Sebentar dulu," pinta pembawa acara kedua agar dibiarkan menyampaikan bagiannya—yang keluar dari skrip. "Jadi, apa kau tahu jika orang-orang selalu mengira bahwa hubungan yang kaujalani dengannya sampai saat ini bisa bertahan dengannya karena kekuasaan dan hartanya?"

"Oh, gosh—Githa …" Pembawa acara pertama lemas, tak kuasa melakukan apa pun.

"Shh!!"

"Githa …"

"Selama ini orang-orang tahu bahwa Mark Corbin sangatlah kaya. Dia selalu menjadi yang nomor satu dalam merajai bisnis apa pun yang dia masuki. Bahkan, kekayaan yang dimilikinya ini terbukti sukses hingga sudah menyebar hampir di seluruh bagian belahan Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Yang kami dengar juga, Mark Corbin memiliki satu pulau tak berpenghuni di bagian timur Indonesia. Lalu, kalau bukan karena hartanya, apa yang membuatmu masih tetap bertahan dengannya? Karena orang sepertinya terlihat cukup sulit untuk didekati. Apalagi dia dikelilingi oleh wanita-wanita cantik berkelas di lingkungannya dan … sudah pasti julukan bad boy tersemat lekat dengan dirinya. Jadi …?"

"Kau sudah selesai, Githa?"

"Belum."

"Gosh," hela si pembawa acara pertama kemudian.

"Jadi, hubungan apa yang sebenarnya kalian jalani selama ini? Tidak ada satu pun di antara kami semua yang tahu bagaimana hubungan jelas kalian berdua selama ini. Kalian hanya teman? Sepasang kekasih? Apa kau telah menikah dengannya? Atau …"

"Githa, kau benar-benar telah berlebihan kali ini," tawa cemas pembawa acara pertama yang terus berusaha untuk tetap memperlihatkan bagian terbaik dari acara ini.

"Haha. Aku tidak berlebihan, Al. Bukankah ini normal untuk ditanyakan?"

"Tidak, tidak. Ini tidak benar."

"Seluruh pertanyaan ini bukan aku yang menginginkannya, melainkan …"

Saat itu juga pembawa acara kedua terdiam. Dia dan yang lainnya melihat Annabeth mulai menyuarakan tawanya penuh dalam sikap santai yang sedari tadi dia tunjukkan. Dia tertawa sambil mendongakkan wajah dan mengalihkan pandangannya untuk kemudian menatap langsung wajah pembawa acara kedua dalam sisa tawa yang masih terasa menggelitik perutnya.

"E-eh …, Nona Abeth."

"Git-ha Ma-ha-ra-ni. Jadi kau mengundangku ke acara ini hanya untuk menanyakan pertanyaan itu?" Untuk pertama kalinya Annabeth menyembulkan senyuman lebar.

Pembawa acara kedua yang dipanggil Githa Maharani itu seketika gugup. Dia berdeham kecil dan mengalihkan pandangannya ke siapa pun kecuali Annabeth.

"A-ada yang salah dari ucapanku?" tanyanya kemudian.

"Biar aku balik bertanya, apa semua pertanyaan itu murni dari penggemar Mark Corbin?" Annabeth tersenyum miring.

"Excuse me?" Githa merasa disudutkan.

"Atau … kau seperti ini karena cemburu?" Senyuman miring Annabeth makin melebar, membuat semua yang hadir mempertanyakan sikap Githa.

Githa Maharani pun kehabisan kata-kata. Rasa malu dan tidak terima atas ucapan Annabeth mulai memengaruhi pikirannya. Dia berdeham untuk menghilangkan perasaan itu dan berusaha untuk tetap menenangkan diriny.

Alma, si pembawa acara pertama, dengan sigap mengambil alih keadaan itu—menyelamatkan acaranya dan juga Githa yang sebenarnya membuatnya kesal.

"Kurasa hal ini tidak perlu terlalu dipikirkan, Nona Abeth. Kami takut jika kau tidak akan mudah dipanggil di talk show kami selanjutnya. Jadi …"

"Baiklah, tidak masalah. Yang harus kalian tahu, Mark Corbin adalah saudaraku. Jadi, kalian bisa menebak sendiri di mana posisiku sebagai saudaranya,"

GLEK!

Semua orang tercengang.

Annabeth mengungkapkannya tanpa beban sama sekali. Lalu dia menyandarkan punggungya ke sandaran bangku yang dia duduki sambil menatap semua secara bergantian dalam senyumannya.

Bukan hanya Githa dan Alma saja yang memperlihatkan wajah terkejut mendengar pernyataan itu. Semua yang ada di tempat itu pun menunjukkan ekspresi yang sama.

Lucunya, Annabeth justru terlihat semakin santai dalam sikapnya ini. Posisi duduknya memperhatikan kuku-kuku merah cantiknya.

"Benarkah itu, Nona Abeth?" tanya Alma yang masih merasa tak percaya ungkapan itu.

"Yeah. Meragukannya?"

"Ja-jadi … apa itu tandanya kau memiliki nama belakang yang sama dengan Mark Corbin?"

Annabeth menghela napasnya santai, menatap keduanya secara bergantian sebelum mengakui sesuatu yang lebih mengejutkan,

"Heller adalah nama panggungku. Nama asliku tentu tidak ada satu pun di antara kalian yang tahu. Kalian juga tidak bisa mencarinya di media mana pun." Dia mendecakkan sedikit bahunya, "Aku Annabeth Hills Corbin. Bukan Annabeth Heller. Surprise!!" Dia terkekeh kecil setelahnya.

Pernyataan Annabeth kembali membuat gempar semua orang.

Namun, Annabeth justru semakin terlihat menikmati keadaan itu.

"Tidak mungkin! Kau pasti beralasan saja. Hubungan saudara? Kita semua sudah melihat beberapa bukti foto yang muncul di media," elak pembawa acara kedua. "Jika dia memang saudaramu, tidak mungkin kalian mengumbar beberapa ciuman yang diperuntukkan bagi sepasang kekasih. Bahkan dari beberapa posisi ciuman itu kalian berdua tidak canggung sama sekali. Foto-foto itu terlihat tidak diedit sama sekali!" lanjutnya kembali mendapatkan kekuatan. Dia tak ingin mengalah.

Lagi-lagi Annabeth malah terkekeh geli mendengarnya. Dia mengangkat punggung yang dilekatkan di bangkunya.

"Kami sangat suka bermain. Itu saja yang bisa aku jawab."

"Maksudmu?"

Tidak menjawab pertanyaan Githa, Annabeth hanya melayangkan senyum.

"Wah, wah! Sangat mengejutkan. Bukankah begitu, pemirsa?" Alma mengambil alih kondisi karena rasa canggung telah dirasakan. Namun, dengan sikapnya yang tetap ingin terlihat profesional, dia langsung berinteraksi dengan audiens.

Sementara itu, tanpa ada yang menyadari, Annabeth memberikan tatapan tertariknya kepada Githa. Pandangan itu tak sekali pun dia alihkan.

Githa yang merasakan hawa tak nyaman itu langsung meneguk segelas air putih yang berada di atas meja dengan perasaan agak sesak. Bahkan, keringat dingin juga sedikit mengalir di pelipisnya yang tertutup poni. Bisa saja dia mengeluarkan kata-kata tak sukanya di tempat seramai ini, tapi mengapa begitu sulit untuk dilakukannya?

Tidak, tidak. Jangan sekarang. Sebenarnya ada apa dengan tubuhmu ini, Githa? Gosh! Githa bergumam kecil di hatinya.

Meskipun gugup, Githa masih sanggup untuk tersenyum kepada semuanya. Lalu kembali meneguk air di dalam gelasnya dengan sedikit gemetaran. Gelas itu kini menjadi tatapan pengalihan dari Annabeth.

"Kita akan kembali setelah pesan-pesan berikut …" sahut Alma untuk break acara. Tepukan tangan pun disambut penuh oleh semua yang hadir di tempat itu.

֎֎֎֎

Menjelang break acara.

"Kau baik-baik saja, Githa?" tanya Alma cemas melihat rekannya bersikap lain di sebelahnya.

"Aku baik." jawabnya tetap tenang.

Annabeth yang merasa ini saatnya untuk mengubah tempat duduknya langsung saja memanggil Alma sopan.

"Alma Ririana?"

"Ya?" Dia menoleh langsung.

"Apa boleh aku duduk di tempatmu?"

"Tempatku?"

"Ya, tempatmu,"

"Oh. Silakan saja."

Dengan santai Alma memberikan seat-nya untuk Annabeth. Githa semakin menunjukkan gelagat tak nyamannya. Namun, nasi telah menjadi bubur. Annabeth sudah berada di sebelahnya. Annabeth duduk dengan tenangnya menatap Githa dengan umbaran senyuman lembut yang terasa menusuk.

"Kau tidak keberatan jika aku duduk di sebelahmu, Githa Maharani?"

Jantung Githa berdegup dengan sangat cepat, menandakan ada sesuatu yang tak baik.

"E-eh …"

Annabeth semakin mendekatkan wajahnya ke sisi wajah wanita itu, mengarahkan bibirnya ke dekat telinga wanita itu juga. Dia membisikkan,

"Kupikir aku telah menyukaimu, Githa. Kau sangat membuatku terkesan hari ini,"

Seketika Githa menelan ludahnya.

"Jadi, apa kau ingin aku mempertemukanmu dengan Mark Corbin?" Annabeth bertanya seperti itu kepada Githa yang tampak kehilangan fokus. "Hello, are you still there, Nona Githa?"

Githa tetap terdiam cemas, tak tahu jawaban apa yang tepat, sehingga membuatnya hanya bisa diam.

"Aku permisi sebentar," sahut Alma tiba-tiba. Dia tak menyadari ketegangan antara Annabeth dan Githa.

Dengan senyuman, Annabeth mempersilakannya. Sementara Githa hanya mengikuti arah langkah rekannya itu dengan kecemasan penuh.

Panggung hanya milik mereka berdua kini.

"Apa setelah acara ini selesai kau mau jalan-jalan denganku?" Annabeth kembali bertanya. "Kau bisa aku perkenalkan langsung dengan Mark Corbin jika kau mau,"

"Nona Annabeth …" jawab Githa kecil.

"Sssh. Tidak perlu terlalu kaku seperti ini kepadaku. Kau tahu, kau terlalu manis untuk kuajak … bermain." Annabeth menyeringai.

"Maksudmu?"

Alma telah kembali ke panggung acara dan langsung mendudukkan dirinya di bangku sebelumnya, "Sepertinya kita sudah harus memulai acara kita kembali. Kalian sudah siap?"

Annabeth tersenyum kembali.

Alma langsung menghidupkan kembali suasana acara tersebut dengan dibantu sahutan Annabeth yang kembali terlihat ceria. Sementara Githa terus dirundung rasa bingung dan cemas.

Next chapter