webnovel

The Misterious Man

Ini tentang pembalasan dendam karena kehilangan. Teror demi teror berkelebatan, teka teki demi teka teki meminta untuk di pecahkan. Di iringi rasa dendam yang bersatu dengan rasa cinta, sungguh membuat siapa pun dilema. Greysia tidak tahu menahu soal itu, namun dia justru menjadi sasaran untuk pembalasan dendam. Hidupnya di penuhi oleh banyak teror dan percobaan pembunuhan atas dirinya. Gadis itu di kelilingi dua orang pria misterius. Salah satu dari keduanya bagaikan Malaikat Penolong bagi Greyisa di setiap keadaan, dan satu yang lainnya bagaikan Malaikat Maut yang selalu meneror dan berusaha membuat Greysia celaka. Bagaimana jika Greysia justru salah dalam mencintai dua laki-laki itu? Apakah Greysia mampu mengungkap identitas dari kedua laki-laki misterius itu? Apa sebenarnya alasan yang membuat Greysia selalu di teror?

Uul_Ulhiyati · Horror
Not enough ratings
16 Chs

5. Peringatan

Tepat ketika Greysia sedang memutar kunci yang ada di pintu ruangan itu, tiba-tiba dia merasakan ada tangan besar dan dingin menyentuh pundaknya. Jantung Greysia seakan berhenti berdetak, aliran darahnya seakan tersumbat, matanya terbuka lebar, napasnya tertahan, begitu juga dengan gerakan tangannya yang seolah di berhentikan waktu.

Dalam benak Greysia sudah muncul berbagai macam pikiran buruk, dia bahkan sudah berpikir kalau kali ini memang benar-benar akan menjadi akhir dari hidupnya.

"Siapa ini? Jangan-jangan hantu penunggu ruangan ini lagi, atau orang yang pake jubah item tadi," kata Greysia dalam hati.

Tak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain menoleh, Greysia sudah bersiap akan teriak sekencang-kencangnya untuk memanggil sang Ayah, toh di rumah ini dia tidak sendiri, ayahnya pasti akan segera dating menolongnya.

Greysia memberanikan diri untuk menoleh, perlahan dia sedikit memutar kepalanya untuk melihat tangan siapa yang sekarang bertengger di bahunya.

Ketiak Greysia menoleh dia langsung berteriak tanpa ingin melihat orang itu.

"Aaaaa …!" Greysia berteriak sekencang-kencangnya sambil emnutup mata dengan kedua tangan.

"Hey, Grey. Ini Ayah," ucap Agung sambil terkekeh karena melihat wajah putrinya yang sudah pucat pasi.

"Ayah?" tanya Greysia memastikan tapi dia belum juga berani menurunkan tangannya.

"Iya, ini Ayah, Sayang. Kamu gampang banget sih di kerjainnya," jawab Agung seraya menurunkan tangan anak gadisnya.

"Ah, Ayah. Gak lucu tau bercandanya. Ayah tau gak aku hamper aja jantungan saking takutnya." Greysia mendengus sebal sambil memasang wajah cemberut.

Alih-alih merasa bersalah justru Agung malah terkekeh sembari geleng-geleng kepala.

"Ih, kan. Kok Ayah malah ketawa sih." Greysia semakin cemberut.

"Iya, iya, Sayang. Ayah minta maaf. Abisnya Ayah lucu banget liat muka kamu," ujar Agung seraya memeluk anak semata wayangnya itu.

"Tapi Ayah sejak kapan ada di sini?" Greysia bertanya dengan mengerutkan keningnya.

"Udah lumayan lama sih, tadinya Ayah ke sini mau ambil kunci itu. Eh, tapi ayah malah liat kamu jalan ngendap-ngendap ke sini, pake nempel-nempelin telinga di pintu segala macem, jadilah jiwa jahil Ayah kambuh," jawab Agung sambil tersenyum jenaka tanpa rasa bersalah sedikit pu.

"Ayah jahil banget sih, udah tau itu anaknya lagi ketakutan," gerutu Greysia.

"Emangnya kamu lagi ngapain di sini? Ngendap-ngendap segala macem udah kayak maling aja," tanya Agung.

Greysia tidak langsung menjawabnya, dia berpikir apakah harus menanyakan hal ini kepada ayahnya atau tidak. Tapi karena rasa penasaran yang begitu kuat akhirnya dia mengutarakan yang sebenarnya.

"Itu loh, Yah. Tadi waktu aku mau mandi aku denger suara perempuan nangis, menurut pendengaran aku sih asal suaranya dari dalem sini," terang Greysia.

Netra Agung sedikit terbuka lebih lebar, pandangannya begitu sulit di artikan oleh Greysia. Tapi gadis itu pikir mungkin ayahnya juga sama terkejutnyas.

"Oh ya? Kamu yakin, Grey?"

"Iya, Ayah. Aku yakin seratus persen suaranya itu dari dalem ruangan ini," Greysia menjawab dengan keyakinan penuh.

"Jangan-janga itu …," Agung menggantungkan kalimatnya dan berhasil membuat Greysia semakin penasaran.

"Jangan-jangan apa, Yah?" tanya Greysia, bulu kunduknya semakin meremang. Dia pikir kalau ayahnya itu pasti tahu sesuatu.

"Jangan-jangan itu … han-tuu …," Agung sengaja berkata mendayu-dayu agar anaknya semakin ketakutan.

"Emang iya, Yah? Aku juga mikirnya gitu sih. Ayah emang pernah ngeliat ada hantu di sini?" tanya Greysia dengan setengah berbisik agar hantunya tidak mendengar. Wajahnya sekarang sangat serius dengan guratan-guratan penuh ketakutan.

"Pernah," jawab Agung.

Greysia semakin terbelalak, "Di mana, Yah?"

"Itu hantunya lagi berdiri di depan Ayah," jawab Agung seenaknya sambil menunjuk kea rah Greysia dan langsung di susul oleh gelak tawanya sendiri.

"Ah, Ayah. Gak lucu tau, aku udah serius-serius dengerinnya," Greysia mengomel samba mencak-mencak saking geramnya.

"Lagian kamu tuh, kids zaman now tapi masih percaya takhayul," ledek Agung di sela-sela tawanya.

"Grey serius, Ayah!" seru Greysia.

"Ya udah kalau gitu mana sekarang suara orang nangisnya? Perasaan Ayah gak denger apa-apa? Kamu paling Cuma halusinasi aja, Grey."

"Maka dari itu Ayah diem dulu, gak akan kedengeran kalau Ayah terus-terusan ketawa kayak gitu karena suaranya kecil." Greysia masih bersikeras dengan pendapatnya.

"Oke, ini Ayah diem," Agung menuruti permintaan putrinya untuk menutup mulut.

Ayah dan anak itu memasang telinga lebar-lebar berharap mendengar sesuatu, tapi sudah beberapa detik berlalu, tidak ada suara apa pun selain suara rintik hujan yang sudah mulai mereda. Padahal Greysia berharap kalau suara tangis itu kembali terdengar agar ayahnya bisa percaya kalau apa yang dia dengar barusan itu emmang benar, bukan halusinasi semata.

"Mana, Grey? Ayah gak denger apa-apa," ungkap Agung.

"Iya emang aku juga gak denger apa-apa, tapi aku gak bohong, Ayah. Tadi sebelum ada Ayah, suara itu masih kedengeran," tegas Greysia, berusaha meyakinkan ayahnya.

Agunng hanya bisa angkat bahu, dia memang termasuk orang yang tidak terlalu pada hal-hal yang berbau mistis seperti itu.

"Ya mungkin itu suara tetangga. Udah lah, jangan terlalu di pikirin. Lebih baik kamu mandi, itu baju kamu basah kuyup begitu." Agung sepertinya tak mau ambil pusing, dia segera mengambil kunci yang menyantel di pintu itu.

"Tapi Ayah …." Ucapan Greysia segera di poyong oleh Agung.

"Jangan suka nakut-nakutin diri sendiri," tegas Agung seraya berlalu.

Melihat ayahnya akan pergi, dalam hati Greysia justru seperti masih mengganjal dan banyak hal yang sangat ingin ia tanyakan mengenai ruangan itu.

"Ayah, tunggu," panggil Greysia.

Agung menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh, "Ada apa, Grey?" tanya Agung.

"Kalau kunci itu masih ada di sini, artinya Ayah baru aja masuk ke dalem ruangan itu 'kan? Apa keperluaj Ayah sampe masuk ke sana? Ayah bilang di dalem ruangan itu Cuma ada barang-barang bekas yang udah bertahun-tahun gak di pake, tapi aku pernah beberapa kali liat Ayah keluar dari ruangan itu, dan kenapa Ayah gak pernah izinin aku masuk ke sana? Padahal aku Cuma mau beresihin ruangan itu aja kok." Greysia menanyakan semua hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Selama ini dia memang sudah sangat penasaran tentang itu, tapi dia tidak pernah mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam.

Ruangan itu tidak memiliki jendela satu pun, dalamnya selalu gelap karena tidak pernah di beri penerangan, dan kunci ruangan itu pun selalu di bawa oleh Agung ke mana pun dia pergi. Benar-benar tidak ada celah untuk masuk ke sana.

Sebuah senyuman yang sangat sulit untuk di artikan pun tersungging di sudut bibir Agung, "Jangan bikin Ayah marah, Grey. Ayah udah bilang kalau kamu jangan mau tau tentang ruangan itu, lagi pula pertanyaan-pertanyaan tadi udah sering Ayah jawab 'kan," kata Agung dengan penuh penekanan seraya berlalu.