webnovel

Zwei (2): Permen Karamel Cokelat

"Kimsiniz siz?" Ujar gadis kecil itu pada Nabil. Sejenak laki-laki itu tertegun tidak tahu ingin mengatakan apa. Nabil paham Bahasa Turki tetapi dia tidak terlalu menguasainya. Satu-satunya yang membuatnya tertegun adalah tiba-tiba saja dia tidak tahu harus mulai darimana. Nabil memang sangat mudah akrab dengan anak-anak. Tetapi sepanjang karirnya, Nabil belum pernah memiliki pasien yang masih di bawah umur. Menghadapi anak-anak yang normal dengan anak-anak yang memiliki trauma tentu berbeda. Pendekatan yang dilakukan pun juga berbeda. Dalam banyak kasus, anak-anak yang memiliki trauma akibat kekerasan cenderung menganggap orang dewasa sebagai sebuah ancaman yang besar bagi diri mereka. Demi kesembuhan Daleela, Nabil harus berhati-hati untuk tidak membuat gadis kecil itu ketakutan dan berlari menjauhinya.

"Apa yang kakak inginkan?" Suara Daleela menyentak pikiran Nabil. Kali ini gadis kecil itu bersuara setengah memaksa menunggu jawaban dari Nabil. Dari gerakan tubuhnya yang gemetaran dengan sorot mata yang ketakutan, sangat jelas bahwa Daleela merasa terancam dengan kehadiran Nabil di kamarnya.

Nabil memasang sebuah senyum hangat yang menenangkan di bibirnya. "Jangan takut. Kakak tidak akan menyakitimu."

Daleela hanya terdiam, menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Tidak ada satupun kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tangan Nabil bergerak ke dalam saku jas putihnya. Dia mengeluarkan sebungkus permen karamel cokelat dan mengangsurkannya ke arah Daleela. Gadis kecil itu menerimanya dengan ragu-ragu dan menatap bungkus permen itu dengan penuh minat. Tentu saja anak-anak kecil sangat menyukai permen dan manisan. Nabil bersyukur dia selalu menyediakan beberapa bungkus permen di dalam sakunya kemanapun dia pergi. Permen-permen itu cukup membantunya untuk tetap fokus dan tidak stress.

"Ini adalah hadiah dari kakak untukmu karena kau tidak menangis." Ujar Nabil masih sambil tersenyum.

Kedua mata Daleela melebar saat dia mendengar Nabil berbicara dengan bahasa dari tanah kelahirannya.

"Kakak bisa berbicara bahasaku?" Tanya gadis itu dengan nada tidak percaya. Senyuman di bibir Nabil makin melebar. Dia menganggukkan kepalanya dengan bersemangat ketika menyadari bahwa Daleela tidak lagi ketakutan padanya.

"Tentu saja. Karena kakak adalah temanmu dan kakak tidak akan menyakitimu. Sebentar lagi ibumu akan tiba di sini."

Tepat ketika Daleela mengangguk pintu kamar rawat terbuka di susul dengan masuknya seorang perempuan berhijab berusia sekitar tiga puluhan. Nabil menduga itu adalah ibu angkatnya Daleela. Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Zeyneb.

"Dokter, bagaimana keadaan putriku?" tanyanya dengan nada gusar. Nabil tidak langsung menjawab, dia membawa Zeyneb untuk berdiri agak menjauh dari ranjang tempat Daleela berbaring.

Nabil tersenyum ramah. Tampak jelas di wajah Zeyneb bahwa dia sangat mengkhawatirkan putri angkatnya yang sudah dia anggap seperti putri kandungnya sendiri.

"Dia baik-baik saja, Nyonya. Masih belum terlambat untuk menyembuhkan Daleela. Dengan izin Tuhan dia akan segera pulih secepatnya. Putri Anda tidak perlu dirawat di rumah sakit ini. Dia tidak gila. Daleela hanya mengalami trauma. Saya bisa mengunjungi Daleela di rumahnya dan kita bisa memulai sesi terapinya di akhir pekan ini." Ujar Nabil masih tersenyum.

"Tapi dokter…apakah itu tidak akan merepotkan Anda? Saya dan suami saya bisa membawanya ke sini sesuai jadwal terapi." Balas Zeyneb dengan nada tidak enak. Dalam benaknya Dokter Nabil ini pasti sibuk sekali. Betapa baiknya dokter muda di hadapannya ini, mau membuat sesi terapi khusus untuk putrinya di rumah mereka. Bagaimanapun Zeyneb tidak ingin merepotkan dokter ini.

Nabil menggelengkan kepalanya dengan santai. Dia tersenyum lembut sambil menatap ke arah Daleela yang sekarang sedang sibuk mengunyah permen karamel yang tadi diberikan Nabil sambil berbaring. "Tentu saja tidak, Nyonya. Daleela sungguh mengingatkan saya pada adik perempuan saya. Saya tidak ingin membuat hubungan hanya sebatas dokter dan pasien. Daleela akan saya perlakukan seperti saya memperlakukan adik perempuan saya sendiri dengan baik. Supaya dia menyadari bahwa dia tidak sendirian di dunia ini. Ada banyak orang-orang baik yang menyayanginya di sekelilingnya."

Kedua mata Zeyneb berkaca-kaca demi mendengar kalimat Nabil yang sungguh menyentuh naluri keibuannya yang lembut. Bibirnya bergetar menahan haru. "Terima kasih banyak, Dokter. Anda baik sekali. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda."

Nabil hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Daleela sungguh beruntung mendapatkan Zeyneb sebagai ibu yang sangat menyayangi dirinya.

***

"Selamat datang di Rainbow Cakes. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang gadis sambil tersenyum ramah. Di apron merah mudanya tersemat sebuah name tag bertuliskan 'Aara'. Pengunjung tokonya merupakan seorang wanita paruh baya berwajah latin. Perempuan itu sedang sibuk melihat-lihat berbagai macam pastry dan kue-kue lainnya di etalase took tersebut. Setelah agak lama barulah perempuan itu menyebutkan pesanannya.

"Tolong bungkuskan 5 cinnamon rolls dan 6 croissant." Ujarnya. Aara menggangguk. Dengan segera tangannya menyiapkan dua paper bag berukuran sedang. Dia mengambil 5 cinnamon rolls dan 6 croissant menggunakan food clipper khusus dan memasukkannya secara terpisah ke dalam paper bag yang berbeda.

"Terima kasih. Selamat menikmati." Sahut Aara dengan riang saat dia menerima uang dari pembeli kuenya. Dia kemudian menunduk menatap ke arah kue-kue di etalasenya.

"Ah…kalian imut-imut dan lucu sekali." Ujarnya dengan gemas. Sedetik kemudian dia terkikik kecil menyadari dirinya berbicara sendiri pada kue-kue tersebut.

"Ada apa ini? Kau terlihat lebih ceria hari ini." Sebuah suara menginterupsi kegiatan kecil Aara yang sibuk memandangi kue-kuenya. Gadis itu menoleh dan mendapati Bibinya, Bibi Farida sedang melangkah ke arahnya dengan sebuah nampan berisi cookies di tangannya. Bibi Farida adalah adik ibunya yang sudah puluhan tahun tinggal di Munich.

"Tidak ada apa-apa, Bi." Aara tersenyum malu. Kedua pipinya memerah ketika tingkah laku konyol tertangkap basah oleh bibi kesayangannya itu.

"Istirahatlah, Sayang. Bibi sudah buatkan untukmu secangkir cokelat hazelnut panas. Ayo kemari dan duduk. Bibi sedang sibuk sekali. Kita ada pesanan besar hari ini." Ujar Bibi Farida sambil menarik pelan tubuh Aara ke salah satu kursi yang tersedia di dalam toko itu. Aara menerima secangkir minuman panas itu dan langsung mendesah saat rasa panas di cangkir itu mengalir dari jari-jarinya dan dalam sekejap memberikan efek hangat yang menenangkan baginya. Bibinya sudah menghilang ke dapur beberapa saat yang lalu untuk mengolah adonan kembali. Kedua mata Aara memandang ke luar jendela toko. Salju di luar turun terus menerus hingga menyelimuti jalanan, pepohonan, dan kendaraan yang sedang melaju. Meskipun udara dingin, tetapi jalanan masih terlihat ramai dengan orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang. Semua orang melangkah dengan cepat dan tergesa-gesa, sebisa mungkin membuat tubuh mereka tetap hangat dengan berjalan dan meniup-niup telapak tangan mereka.

Tiga tahun yang lalu, Aara menerima beasiswa penuh untuk melanjutkan kuliahnya di Munich University of Applied Sciences. Dia mengambil jurusan Social Work. Aara lahir dan besar di Beirut, Libanon. Kedua orang tuanya berasal dari Distrik Shouf dekat Gunung Libanon. Ibunya adalah seorang guru sekolah dasar di Beirut sedangkan ayahnya adalah seorang pegawai biasa di kantor pos. Aara adalah anak tunggal. Karena itulah ketika dia mendapat beasiswa ini, orang tuanya sangat berat untuk melepaskannya. Tapi syukurlah ada Bibi Farida yang merupakan adik kandung ibunya yang juga tinggal di Kota Munich. Kota tempat Aara akan melanjutkan kuliahnya. Bibinya itu berjanji kepada orang tuanya untuk menjaga Aara selama dia belajar di Jerman. Aara juga tinggal di rumah Bibinya. Bibi Farida sudah hampir dua puluh tahun lebih tinggal di Munich. Dia pindah dari Libanon mengikuti suaminya yang bekerja sebagai dosen di Jerman. Paman Aara tersebut dulu sering sekali mengajarinya Bahasa Jerman. Karena itu Aara sama sekali tidak menemui kesulitan ketika dia menginjakkan kakinya pertama kali di Kota Munich. Tetapi sayang sekali, beberapa tahun yang lalu suami Bibi Farida yang Aara panggil dengan sebutan Paman Marwan meninggal dunia karena sakit keras. Sejak saat itu Bibi Farida memutuskan untuk menetap di Jerman dan membuka toko pastry kecil di tepi jalan raya. Toko Bibi Farida meskipun kecil tetapi memiliki banyak pelanggan tetap. Tentu saja, itu karena pastry-pastry buatan bibinya itu sangat lezat. Bibi Farida tidak mempekerjakan seorang pegawai. Karena itu, setiap pulang kuliah Aara akan menemani bibinya menjaga toko dan melayani pembeli. Selain itu Aara juga belajar membuat pastry dari bibinya. Sekarang dia sudah mahir membuat aneka macam pastry yang lezat.

Aara meneguk cokelat hazelnutnya dengan tenang. Telinganya mendengar lonceng di pintu toko berbunyi, menandakan ada seseorang yang membuka pintu. Aara segera bergegas merapikan hijab berwarna hitamnya dan apron yang melekat di pinggangnya. Dia menyunggingkan senyum manisnya untuk menyambut si pengunjung tamu.

"Selamat datang di Rainbow Cakes. Ada yang bisa saya bantu?"

Bersambung