Terlintas dipikiran Starla untuk merobek sedikit ban mobil dengan pisau atau pecahan kaca namun diurungkan karena ia harus mencari di dalam atau tong sampah yang kotor, tidak mungkin dilakukannya, banyak kuman.
Starla mengintip di balik mobil, dan di saat itu ia melihat Denis melambaikan tangannya, ia membeku sesaat, bingung apa yang harus dilakukannya. Ia mengangkat bahu sebagai sinyal pada Denis apa yang harus dilakukan olehnya.
Alis tebal Denis menyatu, jengkel, ia kembali memberi perhatian pada motornya, mencari celah lagi, dan saat Arthur mengecek dalam motornya, ia memberikan sinyal lagi, kali ini dengan jempolnya serta gerakan bibirnya dan matanya ke arah gerbang.
Starla menangkap dengan cepat kali ini, gerakan bibir Denis berartikan: cepat keluar. Ia pun keluar dari persembunyian, berjalan mengendap-endap agar Arthur tidak dengar bunyi sepatunya.
Di sisi lain Denis menepuk keningnya tidak percaya akan tindakan Starla; jika Kakaknya terus berjalan seperti itu, ia akan terlambat ke sekolah juga; lupakan idenya! "Maksudku lari, Kak!" serunya.
Starla terkejut bukan main; tidak salah dengar dirinya? Denis berteriak memintanya lari?
Arthur pun ikut terkejut juga, berhenti mengecek, tetapi belum dapat mengerti keadaan, tubuhnya dikunci oleh kedua tangan Denis. "Tuan Denis!?"
"Maaf ya, tapi ini demi masa puber Kakak," sesal Denis. "Aku hanya menahan sebentar saja, Arthur."
"Apa!?" Arthur terkejut bukan main, dan di depan matanya sendiri ia menyaksikan Starla berlari kencang menuju gerbang rumah. "Tidak! Nona Starla tidak diperbolehkan berangkat sekolah sendirian. Aku harus melindungi Nona Starla." katanya panik berusaha memberontak.
Denis tidak bergeming. "Aku tersentuh akan kesetiaanmu dengan keluarga kami, Arthur. Aku paham sekali. Namun, cepat atau lambat Kak Starla akan memberontak. Dia hanyalah gadis biasa yang sedang di masa berkembang sepertiku." jelasnya. "Bukankah kau harusnya berada di pihak aku dan Kakak karena melihat perlahan kami tumbuh dewasa?"
Arthur berhenti memberontak, berpikir apa yang dikatakan Denis padanya. "Tentu aku mengerti perasaan Tuan dan Nona," katanya mengakui. "Hanya saja ini pekerjaanku, jika kedua Orang Tuamu tahu mengenai ini..." ia tidak berani melanjutkan ucapannya, panik membayangkan dirinya akan menjadi apa jika terdengar oleh majikannya.
"Aku dan Kakak akan membelamu tentu saja, Arthur." kata Denis.
"Tuan Denis tidak tahu bagaimana amarah Ayah Tuan," kata Arthur.
Denis melepaskan kuncian tangannya di tubuh Arthur setelah yakin Starla sudah tidak terlihat di matanya, sebelum benar-benar lepas, ia dengan sigap mengambil kunci mobil di saku Arthur dengan lihai, bibirnya sedikit menyeringai ketika berhasil diambil sebelum kembali memasang ekspresi tenang. "Percayalah, aku sudah melihat kemarahan Papa." katanya kalem. "Memang menyeramkan, aku akui tetapi kali ini kan ada Kak Starla, kau pasti tahu betapa Kak Starla begitu disayang oleh Papa."
"Ya memang..." Arthur mengakui hanya saja ia tetap was-was.
"Semua akan baik-baik saja, Arthur." kata Denis, tegas. "Sekarang aku permisi, aku mau ke sekolah dulu."
Arthur mengembuskan napasnya dalam. "Hati-hati Tuan Denis."
Denis mengangguk, sebelum Arthur pulih sepenuhnya, ia segera berlari secepat kilat menuju mobil yang terparkir.
Arthur akhirnya menyadari jika motor Denis masih belum selesai diperbaiki, jadi dengan apa pemuda itu akan berangkat sekolah? Ia berbalik dan panik bukan main melihat Denis sudah duduk di kursi kemudi. "Apa!? Tuan! Anda dilarang naik mobil!" serunya.
Denis tidak menurut justru tancap gas, yang sayangnya dihalangi oleh Arthur di depan gerbang rumah. "Ayolah Arthur, kalau kau bisa membiarkan Kak Starla, aku juga dong! Jangan pilih kasih! Nasi sudah menjadi bubur, biarkan aku juga bersenang-senang."
"Tidak," sahut Arthur. "Aku bisa percaya dengan Nona Starla tapi jika itu Tuan Denis, aku tidak bisa." omelnya.
Denis memutar bola matanya. "Kau yang meminta ini, Arthur."
"Apa?" Arthur syok, ia mundur tiga langkah ketika mobil maju hendak mengenainya, ia benar-benar jengkel sekarang. "Tuan Denis cepat turun!" perintahnya emosi.
Denis tetap tidak menurut. "Aku hitung sampai tiga, jika kau belum menyingkir, itu salahmu, Arthur."
Arthur meneguk ludahnya; Denis hanya main-main kan? Ia mengerti sikap anak muda hanya saja mana mungkin Denis akan bertindak sejauh itu apalagi ia juga lebih tua. "Tuan Denis, kau tidak—"
"Satu..."
Denis bersungguh-sungguh! "Tuan kau tetap tidak boleh! Kau kan penerus, tahan tingkah Anda!" Arthur berusaha membujuk.
Denis justru memakai kacamata hitamnya, dan mengoper persneling mobilnya. "Dua..." lanjutnya santai.
"Tu—"
"Tiga!"
Arthur segera menyingkir dan detik berikutnya mobil yang dikendarai Denis berjalan.
"Bye-bye,"
Arthur pun hanya bisa memandang mobil kesayangannya perlahan pergi menjauh dari penglihatannya, hingga setelah benar-benar tidak terlihat lagi di matanya, ia bergumam. "Aku butuh istirahat."
Nasi sudah menjadi bubur, jadi biarkan saja.
Arthur yang pasrah, kembali ke dalam rumah, membuat secangkir teh chamomile untuk dirinya sendiri.