webnovel

The Lovely One

Starla selalu menjadi gadis baik-baik bagi orang tuanya, sampai di saat teman-temannya mulai memiliki kekasih, ia mulai merasa kesepian dan iri. Starla ingin merasakannya juga, tapi pemuda-pemuda di sekolahnya tidak menaruh suka padanya karena ia dari keluarga terpandang. Ada anak baru di sekolahnya takkan berpengaruh baginya, benar?

Nona_ge · Teen
Not enough ratings
309 Chs

Sakit

Starla merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku; hari senin pelajarannya mematikan semua, mulai dari akuntansi, sosiologi, geografi, diakhiri matematika. Rasanya makan siangnya pun tidak bisa membuat tenaganya naik.

Yang membuat jadwal pelajaran seperti menaruh dendam pada kelasnya, meski jadwal pelajaran pada hari rabu terkesan berantakan; sehabis istirahat malah jam olah raga, siapa yang mau olah raga di siang hari? Karena masalah tersebut, mereka harus menggantinya ke jam 6 pagi untuk olah raga.

"Mau bareng?" tanya Luna.

Starla mengangguk.

Luna menggaruk belakang lehernya gugup. "Tapi hanya sampai gerbang, ya? Aku ada janji sama Kak... Rendy." ia memelankan suaranya ketika menyebut nama Rendy.

Seketika seringai lebar muncul di wajah Starla. "Menyenangkan tidak memakan ucapanmu sendiri, Luna?" godanya.

"Oh, diamlah," Luna yang sudah malu tidak bisa membalas dengan tepat.

Starla tertawa kecil, kemudian ia bangkit berdiri dan keluar dari kelasnya diikuti Luna dan juga Gea yang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

Gea berhenti tepat di depan kelas. "Maaf ya, aku ada janji sama Kak Ferdian." sesalnya.

"Oh," Starla mengangguk paham, setelahnya Gea pergi menuju kelas Ferdian sambil bersenandung ria. Ada setitik rasa iri di hatinya melihat Gea yang begitu bahagia akan bertemu dengan Ferdian. Segera ia buang jauh-jauh perasaan tersebut dengan bertanya. "Ayo Luna."

Luna mengangguk kecil namun, ketika mereka mau melangkah, suara berat di belakang menghentikan mereka berdua.

"Luna."

Luna dan Starla otomatis menoleh, di belakang mereka ada seorang pemuda mengenakan jaket klub bola voli.

"Kak Rendy!?" Luna terkejut melihat Rendy di sini padahal mereka berjanji akan bertemu di gerbang sekolah. "Kenapa ke sini?" tanyanya.

"Aku tadi ada rapat voli di lapangan, jadi sekalian saja ke kelasmu," Rendy menjelaskan sambil menggaruk belakang lehernya, gugup.

Starla tertawa akan ucapan Rendy yang tidak masuk akal tersebut; mana mungkin ada rapat klub apalagi bel sekolah satu jam pun belum lewat, kalaupun ada pasti ia disuruh hadir juga. Ditambah sejak kapan rapat di lapangan? Ia pikir Rendy pemuda yang cool ternyata ketika berhadapan dengan seorang perempuan sisi kerennya hilang.

Meski begitu manis juga menyaksikan perasaan Rendy pada Luna di matanya, dan Starla yakin beberapa hari ke depan, ia bisa melihat dirinya ditraktir oleh Luna. Pajak jadian ceritanya.

Starla tidak sabar menantikan hal itu. Siapa yang tidak senang mendapat makanan gratis?

"Oh," dengan lugunya Luna memercayai alasan Rendy, ia melirik Starla, setelah mendapat anggukan dari temannya, ia bergumam. "Maaf ya." dan pergi bersama Rendy keluar sekolah bersama.

Starla melambaikan tangannya dengan riang, setelah mereka pergi, ia pun juga melangkah lagi, langkahnya begitu riang, memikirkan mendapat makanan gratis.

Makanan gratis.

Minggu kemarin ia ditraktir oleh Gea makan di restoran. Ia berpikir karena ini Luna, mungkin ia akan ditraktir bakso langganan mereka. Lantas jika dirinya?

Starla tertunduk memandangi langkah kakinya.

Ia akan mentraktir Luna dan Gea dimana? Kapan? Lelaki yang menyukainya pun tidak ada, bagaimana bisa ia mentraktir mereka.

Starla tersenyum pahit, ia merasa seperti orang terbuang oleh teman-temannya. Ia tahu cepat atau lambat Luna dan Gea memiliki ketertarikan pada lawan jenis dan ia tidak memiliki hak untuk cemburu. Namun, sekuat apa pun otaknya berpikir itu, perasaan iri di hatinya tidak dapat berbohong.

Starla sungguh iri pada teman-temannya yang sudah menemukan cintanya, ia juga ingin merasakannya; dicintai, ditatap penuh kelembutan seperti Rendy ke Luna seakan kita orang yang paling penting bagi mereka, melakukan kegiatan bersama seperti Gea dan Ferdian. Ia ingin merasakan itu semua.

Entah sampai kapan ia harus sendiri seperti ini, yang membuatnya terkadang setuju dipanggil Tuan Putri karena mungkin hanya Pangeran yang akan tertarik padanya bukan lelaki biasa.

Jika begitu ia mungkin baru bisa mendapatkan ciuman pertamanya setelah lulus sekolah.

Starla berjalan lesu melewati lapangan olah raga, di tengah langkahnya, tidak luput ia terbatuk-batuk. "Bagus, jomblo dan sakit. Begitu menyenangkan hari ini, Starla." keluhnya pelan sekali agar tidak dikira gadis aneh yang suka berbicara pada diri sendiri.

"Katanya anak baru itu tampan sekali."

Starla berhenti sejenak mendengar kata 'anak baru', ia memang tidak berniat menguping hanya sedikit penasaran tentang anak baru yang dibicarakan oleh Gea. Agar tidak terlihat mencurigakan, ia memainkan ponselnya.

"Dan katanya dia cukup lancar berbahasa Indonesia juga." kata gadis yang lain.

"Sungguh?" kata gadis yang pertama. "Aku jadi ragu dia sungguhan dari Jepang."

"Siapa yang peduli. Dia tampan, kan? Menambah daftar Kakak kelas yang bisa dilirik. Kak Rendy dan Kak Ferdian sudah keluar dari daftar karena terlihat kencan dengan anak kelas sebelah kita."

Setelah mengatakan itu, kedua gadis itu pergi sambil tertawa genit.

Starla memutar bola matanya; kenapa juga ia harus menghabiskan waktu mendengar gosip seperti ini? Mendengar pendapat dari wanita takkan jauh dari tampan, seksi, dan pintar. Ia juga melihat dari sana, ia juga gadis biasa.

Walaupun Starla belum bertemu dengan siswa baru itu, ia sudah merasa bersimpati sebab ia tahu betapa kacaunya siswi di sini setelah melihat siswa yang tampan-tampan.

Starla melanjutkan langkah kakinya, ingin segera pulang ke rumah dan membuat sketsa kasar komik yang dibuatnya diam-diam; semangatnya naik mengingat hobinya itu hingga akhirnya ia sampai di luar gerbang sekolah, di area parkir seperti biasa sudah ada Arthur yang menunggu dengan sabar di luar mobil.

Starla menghampiri. "Kita ke apotek dulu ya, Arthur." katanya.

Arthur membukakan pintu mobil untuk Starla. "Apa? Nona sakit!?" tanyanya panik serta cemas.

"Hanya batuk ringan saja," sahut Starla singkat, lalu masuk ke dalam mobil diikuti Arthur.

"Begitukah? Bagaimana kalau kita ke Dokter saja, Nona." Arthur menyarankan.

Starla memutar bola matanya; ia tersentuh Arthur begitu peduli padanya hanya terkadang kepedulian itu berlebihan seperti sekarang ini. "Aku hanya batuk bukan sakit." katanya. "Kita ke apotek. Titik."

Arthur tidak membantah dan menjalankan mobilnya.

Starla di sisi lain memandang kosong luar jendela.