webnovel

Chapter 08

Tidak tahan terus menerus di hantam rasa bersalah. Dia pun langsung meraih kunci mobil. Calvino terlihat meninggalkan apartement dengan membanting pintu di belakangnya. Dan perubahan sikap Calvino yang secara tiba - tiba inipun telah membuat Calista disergap ribuan pertanyaan, akan tetapi dia tidak mau tahu.

Ah, paling juga urusan kantor. Gumam Calista dan bersamaan dengan itu kembali melanjutkan perbincangannya bersama kekasih tercinta melalui sambungan video call.

"Sayang suara apa barusan?" Tanya Leonard dari seberang telepon.

"Biasalah, Kak Calvin."

Leonard tampak mengerutkan kening. "Jadi, Calvino ada di Indonesia?"

"Hm, tapi dia baru saja keluar. Mungkin sedang ada pertemuan dengan teman - temannya. Sudahlah, ga usah membicarakan tentang, Kak Calvin. Lebih baik kita bahas saja tentang ... kita."

"Berbicara tentang masa depan kita membuatku ga sabar untuk membimbing mu ke altar pernikahan baby." Calista tersenyum sembari mengunci rapat bibirnya.

"Uh, baby .. rasanya aku ga sabar melihat mu selalu ada dipelukan ku setiap aku membuka dan menutup mata."

"Kalau begitu segera bawa aku ke-" mendapati bibirnya hampir saja keceplosan telah membuat Calista membungkam bibirnya sendiri dengan telapak tangan. "Oh, iya sayang gimana kalau kita tutup dulu teleponnya?"

Leonard terlihat menyipitkan sebelah matanya seolah berkata, kenapa baby?

"Em, aku harus menelepon, Kia."

"Oh, okay. Bye baby." Dan bersamaan dengan itu langsung menutup sambungan telepon.

Tanpa Leonard tahu Calista pun tidak menghubungi Kiara, akan tetapi Calvino lah yang dia hubungi. Entah kenapa tiba - tiba saja hatinya dilanda gelisah memikirkan sang kakak.

"Ih, menyebalkan sekali sih Kak Calvin ini. Di telepon ga mau angkat." Kesalnya.

Tanpa Calista tahu saat inipun sang kakak sedang di landa frustasi hingga mengemudikan mobil berkecepatan tinggi. Arrgghh, teriak Calvino sembari memukulkan tangannya pada setir mobil.

Ini tidak adil. Ini benar - benar tidak adil. Desah lelah Calvino ketika di hadapkan pada satu kenyataan akan kenangan masa lalu. Selama ini dia pun sudah bersusah payah mengubur kenangan tersebut. Tapi, untuk sat ini kenangan itupun kembali melalui seorang wanita bernama Kiara Larasati.

Frustasi itulah yang Calvino rasakan hingga berjam - jam lamanya berada di jalanan tanpa arah dan tujuan. Calvino tidak lagi perduli meskipun semua orang berfikir bahwa Putra Kafeel sudah gila. Ya, Calvino Luz Kafeel memang sudah gila. Gila ke dalam himpitan rasa bersalah berkepanjangan.

Setelah lelah memutari jalanan dia pun terlihat meminggirkan mobilnya. Kedua tangannya terlihat mencengkeram kuat setir mobil hingga buku - buku jari memutih. Tidak kuat menahan rasa bersalah yang kian menenggelamkannya ke dalam himpitan rasa sesak telah membuat seorang Calvino hilang akal sehat.

Meskipun darah segar sudah merembas melalui sela - sela jari. Dia tetap tidak perduli. Kedua tangan masih saja mengelap erat mengiringi tetes demi tetes darah membasahi setir mobil. Bagi Calvino, inilah cara terbaik demi menepis rasa bersalah yang kian merongrong ke dalam jiwa.

"Kenapa kau hadir kembali melalui Kiara, Samara? Kenapa? Apakah kau datang untuk menghukum ku?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian di dalam mobil.

Diusapnya telapak tangan yang berlumur darah segar dan bersamaan dengan itu dia pun kembali melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tanpa sengaja ekor mata Calvino menangkap sebuah cafe yang berada di pinggir jalan. Dengan segera mengarahkan mobilnya ke sana. Namun, niatnya tersebut tertangguhkan ketika tanpa sengaja tatapannya mengunci pada telapak tangan yang masih saja mengeluarkan darah segar.

Tidak mau membuat siapa pun ketakutan dengan lari terbirit - birit. Dia pun kembali mengarahkan mobil menuju apartement.

Tak ayal kondisinya yang mengenaskan inipun telah memancing perhatian sang adik hingga melayangkan berbagai pertanyaan. Namun, bukan jawaban yang meluncur dari bibir kokoh kecuali menghujani sang adik dengan pertanyaan sarkastik berpadukan dengan lirikan tajam pada dua gelas yang tergeletak di atas meja. "Jadi, kekasih mu baru saja berkunjung, hah?"

Calista tidak menjawab. Dia memilih diam dengan menutup rapat bibirnya. Di suguhi kebungkaman Calista justru semakin memancing emosi Calvino sehingga semakin menajamkan tatapannya berpadukan dengan langkah mendekat. "Jangan merusak nama baik, harga diri, dan juga kehormatan keluarga dengan kelakuan mu yang sama sekali tidak bermoral, Earl!"

"Jaga ucapan mu, Kak Calvin! Lebih baik kau cari dulu kebenarannya sebelum melayangkan tuduhan."

Ekor mata Calvino mengunci pada dua gelas yang tergeletak di atas meja. "Bukti yang berbicara." Calista pun mengikuti arah pandang sang kakak. Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafasnya dan bersamaan dengan itu mengusap lengan kekar dengan penuh kelembutan. "Dengar Kak Calvin, bukan Leo yang barusan berkunjung tapi, Kia."

Mendengar nama Kiara memenuhi pendengarannya telah membuat tatapan Calvino menggeliat rasa tak nyaman. Kini, tatapannya pun menelisik ke sekeliling coba mencari keberadaan wanita tersebut. "Siapa yang kau cari?" Tanya Calista berpadukan dengan tatapan menajam.

"Di mana, Ms. Kiara?"

"Ada perlu apa kau mencarinya, huh?"

"Di mana, Ms. Kiara? Katakan!"

"Jawab dulu untuk keperluan apa kau mencarinya, hah?" Bentak Calista. "Aku tidak suka kau berbuat macam - macam dan aku sangat tidak suka jika kau bertindak dengan sangat keterlaluan untuk mencelakai, Kiara."

Calvino terlihat mengusap kasar wajahnya. "Arrgghh, kau selalu saja berbelit - belit, Earl." Bersamaan dengan itu melenggang menuju kamar dengan membanting pintu di belakangnya.

Tak ayal Calista pun tertegun di suguhi sikap sang kakak. Entah apa yang terjadi yang jelas sikap Calvino berubah semenjak pertemuannya dengan Kenan. Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau hanya masalah perusahaan tak mungkin Kak Calvin sampai sekacau ini. Dan ... tangannya juga berdarah. Tidak biasanya Kak Calvin seperti ini. Pasti ada masalah yang sangat serius. Tapi apa? Batin Calista sembari memijat pelipisnya.

Tidak juga mendapati jawaban atas pertanyaannya. Dia pun tampak berjalan mendekat ke kamar Calvino. Sebelah tangannya terulur mengetuk pintunya secara perlahan. "Apa?" Tanya Calvino tanpa mau beranjak dari atas ranjang.

"Apa Earl boleh masuk?"

"Tidak."

"Tapi, Earl kangen sama Kak Calvin." Rajuknya dengan manja.

Tidak tega pada sang adik tercinta, dia pun terlihat beranjak dari ranjang lalu, bergegas membukakan pintu. "Masuklah!" Pintanya. Calista tersenyum dan bersamaan dengan itu langsung melayangkan kecupan pada pipi sebelah kiri sebagai ucapan terima kasih.

Calista terlihat mengaitkan jemarinya di antara jemari kekar membimbing Calvino ke ruang tamu. "Duduklah!" Pinta Calista. Tanpa adanya bantahan Calvino pun langsung mendudukkan bokongnya pada ruang kosong yang bersebelahan dengan adik tercinta.

"Apa yang mau kau lakukan, Earl?"

Calista mendongak. Siluat abu - abu melembut hingga kelembutannya terasa mendamaikan hati Calvino. "Tentu saja mengobati lukamu." Beriringan dengan pergerakan jemari lentik membersihkan sisa - sisa darah kering lalu, mengobati luka tersebut. "Aku tidak tahu masalah pelik apa yang sedang kau hadapi. Yang jelas jangan pernah menyiksa dirimu sendiri seperti ini. Aku tidak suka melihatnya." Mohon Calista.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

Hai, guys! Terima kasih masih setia menunggu kelanjutan cerita Calvino. Selalu dukung cerita Calvino dengan memberikan powes stone. Terima kasih.

Yezta_Auroracreators' thoughts
Next chapter