"Kau tahu kan, hanya Yaoshang yang benar-benar menerima Xinjiang." lanjut Raja Feng tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya dari langit yang indah itu.
Bahkan benar-benar tidak menyadari seulas senyum tipis yang terluas di bibir Ratunya itu. Senyum yang sarat akan makna yang dalam. Entah apa yang ada dalam pikiran Ratu Yu Shin.
"Anda benar yang mulia, maka hanya perlu tiga orang lagi saja. Dan semuanya akan sempurna."
..........
Sepasang kelopak mata yang indah itu terbuka seketika saat pergelangan tangannya terasa panas. Spontan dia terduduk dan menatap ke arah pergelangan tangannya, yang mana terdapat gelang giok yang melingkar.
Dia melihat gelang itu memancarkan sinar kehijauan sesaat, tak lama kemudian sinarnya hilang bersamaan dengan rasa panas yang juga menghilang.
Ini membuat Lian terdiam penuh rasa penasaran, masalahnya hal ini terjadi sudah bukan sekali dua kali. Lalu matanya teralih menatap ke arah jendela yang tertutup tirai, jendela itu berbatasan langsung dengan hutan.
"Selama di sini aku belum pernah berkeliling dan melihat-lihat. Ah tubuh ini juga terlalu mudah lelah, padahal dulu aku tidak." gumam Lian seraya beranjak dari peraduan dan berjalan menuju jendela itu.
Dia menyibak tirai jendela itu, lalu membukanya. Matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan langit malam yang penuh bintang.
Suara-suara hewan malam yang berasal dari arah hutan membuat Lian mengembangkan senyumnya. Di dunianya dulu, menemukan hutan yang asri seperti ini sangatlah Sulit.
Maka tanpa banyak berpikir lagi, dia melompat ke jendela dan segera keluar dari rumah dengan langkah yang begitu hati-hati. Mata tajamnya menelisik ke arah hutan yang sebenarnya terlihat menyeramkan.
Kemudian setelah menutup kembali jendela tadi, dia segera berlari masuk ke hutan dengan tanpa suara. Kecepatan larinya memang cepat untuk ukuran seseorang yang tidak menggunakan Kultivasi.
Ini sudah sebulan Lian berada di dunia yang tidak dia ketahui, kini dia sudah mengerti semua yang berada di sini. Mulai dari apa itu Kultivasi, hingga bagaimana cara mengaktifkan Dantian. Yewan lah yang telah menjelaskan semua itu padanya ketika dia bertanya tentang yang dilakukan Shuai.
Lian berlari lurus untuk menghindari kemungkinan dia akan tersesat. Sesekali berhenti untuk mengambil nafas karena berlari cukup cepat.
Kain hanfu yang dia pakai tampak berkibar diterpa angin. Lian terus berlari dan baru berhenti saat ada sebuah pohon besar di hadapannya. Pohon yang tampak begitu besar dan seram.
"Pohon apa ini?" Lian kembali bergumam bingung, tapi kemudian dia mulai menyentuh pohon itu hingga rasa dingin menjalar di telapak tangannya.
"Sepertinya bagus kalau aku membuat rumah pohon di sini." ucap Lian seraya tersenyum tipis. Lalu tatapannya teralih pada bulan yang sudah bergeser sedikit dari tempatnya tadi.
"Sebaiknya aku segera pulang, orang cerewet itu akan memarahiku kalau tahu aku tidak di kamar." lantas Lian berbalik badan dan kembali berlari meninggalkan pohon itu.
Dia berlari cepat untuk kembali ke rumah sebelum fajar tiba, atau lebih tepatnya sebelum orang rumah menyadari keberadaannya yang tidak di sana.
***
Pagi-pagi sekali Xiao Shuai sudah berada di luar dengan pedangnya. Dia mengendalikan airnya untuk mengitari tubuhnya. Kemudian mulai bergerak dengan pedangnya.
Menebas, memutar, menendang dia lakukan dalam gerakannya. Dia melakukan gerakan itulah berkali-kali tanpa begitu kelelahan.
Namun terhenti saat menyadari aura keberadaan seseorang yang belakangan ini sudah dia hafal. Dia pun menoleh ke arah aura itu berasal.
"Ini masih pagi, kenapa sudah bangun?" tanya Shuai kepada sosok itu yang akhirnya berjalan mendekat.
"Hanya ingin." jawab sosok yang tidak lain adalah Lian. Dia sedikit gugup saat berhadapan dengan Shuai.
Karena sebenarnya dia baru sampai di rumah, tidak menyangka kalau ternyata tadi dia berlari cukup jauh hingga tiba di rumah ketika pagi. Dan saat ingin kembali masuk, dia justru melihat keberadaan Shuai di sana.
Tentu saja tadinya Lian ingin abai dan segera masuk, namun Shuai lebih dulu menyadari keberadaannya yang hanya ingin lewat.
Melihat Lian yang menatap ke arah pedangnya membuat Shuai memasukkan pedang itu ke sarungnya. Tapi kemudian Shuai menatap Lian dengan mata tajamnya yang menelisik.
"Dari mana saja kau?" tanya Shuai dengan suara yang mengalun penuh ketenangan. Namun Lian bisa merasakan aura intimidasi yang Shuai keluarkan.
"Apa maksudmu kak? Tentu saja dari kamar." jawab Lian dengan nada yang tidak kalah tenang dan meyakinkan. Namun Shuai hanya tersenyum tipis saja.
"Kamarmu yang mana? Aku baru saja ke kamarmu sebelum ke sini." ucapan Shuai yang ini membuat Lian tersentak dan spontan sedikit melebarkan matanya.
"I-itu," Lian tentu saja bingung harus berkata apa, dia menundukkan kepalanya untuk berpikir mencari alasan. Namun dia tidak bisa menemukan alasan yang tepat.
Padahal Shuai juga hanya menebak melalui ekspresi wajah Lian. Shuai tidak pergi ke kamar Lian seperti ucapannya. Kalau Shuai tahu sejak awal, tentu saja dia akan mencarinya alih-alih berlatih seperti tadi.
"Aku pergi ke pemandian." ucap Lian setelah menghela nafas panjang. Dia mengangkat wajahnya untuk menatap lurus ke manik mata Shuai.
"Oh."
Lian ingin mengumpat saja rasanya, susah susah dia mencari alasan. Dan hanya di tanggapi singkat oleh Shuai, Lian ingin mengumpat.
"Kak." Lian memanggil setelah membiarkan hening menguasai tadi ketika mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Panggilan Lian membuat Shuai menoleh dengan alis terangkat. Lian mengartikannya sebagai ekspresi bertanya.
"Aku juga ingin berlatih pedang." Dan Shuai semkin menaikkan alisnya begitu mendengar ini. Saat itulah Shuai menghela nafas berat.
Bagaimana mungkin sosok yang dia jadikan sebagai adiknya untuk menemani sang ayah ketika dia dan kakaknya melatih Kultivasi justru tertarik dengan ilmu beladiri?
Shuai mengerti, sepertinya Lian yang asli adalah Kultivator.
***
Hari beranjak siang, sedari tadi Lian seperti tidak bosan memperhatikan Jiruo yang sedang membakar rumput di belakang rumah dengan elemen apinya.
Lian begitu takjub melihat api yang di kendalikan dengan baik itu. Namun Jiruo seperti enggan mempertunjukkan kemampuannya, Jiruo berhenti saat api sudah cukup untuk membakar tumpukan rumput itu.
Jiruo menoleh dan di sambut ekspresi kecewa dari Lian. Melihat itu tentu saja Jiruo mengangkat sebelah alisnya heran.
"Tadi itu sangat menakjubkan." ucap Lian pelan dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya.
"Kakak kenapa berhenti? Padahal aku masih ingin lihat." kini terang-terangan Lian menatap sang kakak dengan wajah menuntutnya.
"Lihat apa? Ini?" tanya Jiruo seraya menjentikkan jarinya, hingga muncul bola api kecil di atas jari telunjuknya. Terlihat Jiruo yang tersenyum tipis saat melakukan itu.
"Wah." Lian bergumam takjub, padahal dia sudah melihat Shuai mengendalikan air dengan sangat lihai sebelumnya, tapi reaksinya tidak seperti sekarang.
"Apa aku juga bisa melakukan itu?" Lian bertanya menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi bersarang di pikirannya.
"Tanyakan itu pada Ayah nanti." ucap Jiruo tanpa ingin banyak berpikir. Ini membuat Lian sedikit kesal, masalahnya tadi Shuai juga berkata untuk menanyakan ini pada Jiruo. Namun kini dia di suruh untuk menanyakan ini pada Yewan, setelahnya apa?
"Ah lupakan. Ingin ikut tidak? Besok kakak akan pergi ke kota untuk membeli beberapa keperluan Shuai ketika di Perguruan Tiga Bukit beberapa bulan lagi." ucap Jiruo lagi, lebih seperti mengalihkan pembicaraan. Namun Lian nampaknya tertarik.
"Bukankah masih dua bulan lagi?" tanya Lian yang sebelumnya sudah tahu berita keberangkatan Shuai ke perguruan nanti.
"Agar lebih santai nantinya." Dan Lian mengangguk membenarkan. Tentu saja Lian akan ikut, dia penasaran dengan kota yang Jiruo sebut tadi.
Sejenak melupakan pertanyaan dan keinginannya yang tertarik dengan Kultivasi dan beladiri.
TBC
Bogor, 26 April 2022
Apa kabar?
Bagaimana langitmu hari ini?
Apakah masih gelap atau kini sudah tergantikan terang?
Apapun itu, teruskan. Tetaplah tegak di jalanan, jangan berhenti melangkah, terus lanjutkan langkahmu.
Dengar, akan ada suatu saat di mana langkahmu terhenti; bukan karena kamu menyerah, tapi karena memang kamu sudah berhasil mencapai ujung kisah.
Tetaplah berjuang, setidaknya sampai tabahmu menang.