Reina menggerjap beberapa kali namun, barang-barang di depan matanya tak juga menghilang. Bukankah tadi tidur di ayunan tapi mengapa sekarang berada di kamarnya? aneh pikirnya.
"Mengapa aku disini? kapan pulang?" celetuk Reina kebingungan, melihat sekelilingnya penuh barang. Venom mengerutkan keningnya mendengar celetukan Reina, geli.
"Kamu suka tidak"
Menoleh untuk melihat, Venom duduk di sofa kamar dengan kertas di tangan. Terlihat sibuk dan lelah. Venom beranjak dari duduknya, Reina bergeser agar Venom dapat duduk di sampingnya.
"Ini terlalu berlebihan Venom"
"Oh"
Kepala disandarkan pada leher putih Reina, tempat favoritnya selama satu bulan terakhir. Bibirnya mulai sibuk mencium dan mengigit untuk mendapatkan tanda yang disukainya.
"Venom, apa yang kamu pikirkan saat beli barang-barang ini? aku tidak butuh banyak"
"Butuh banyak untuk di masa depan"
"Apa maksudmu?"
"Nyonya tua mengingatkan target tahun ini sebelum beliau meninggal harus bisa bermain dengan cucu"
"Tapi itu masih lama. Untuk apa beli peralatan, pakaian dan alat bermain sekarang"
"Itu bukan aku yang punya ide tapi nyonya tua. Aku hanya mengikuti dan membayarnya setiap kali menunjuk"
"Apa!"
Wajah Reina panas mendengarnya, ini tak pernah terbayangkan sama sekali. Venom merasa terganggu, "Reina, aku sudah siap tapi mengapa kamu masih berfikir tentang lainnya" keluhnya.
Kepala Reina diputar untuk melihat, "Ini gila Venom. Bagaimana kalau aku tak bisa sama sekali memberikan keturunan?" tanyanya.
"Ya usaha terus. Aku tidak keberatan"
"Kamu apa?"
"Reina ..."
Venom dibuat gemas melihat wajah Reina berubah-ubah setiap kali mendengar jawabannya. Jari menyentil dahi Reina agar sadar.
"Ouch..."
Mata melotot, tangan mengusap tak terima dengan cara Venom. Tawa penuh penyesalan diberikan dengan kecupan ringan pada dahinya.
"Tidak perlu khawatir. Nyonya tua sekuat banteng, mana mungkin mati cepat"
"Venom!"
Wajah Reina merah padam, benar-benar berniat, siapa sangka dibalik wajah dinginnya ada serigala di dalamnya.
"Venom, kita tidak perlu buru-buru. Kita seharusnya mencoba perlahan-lahan memahami satu persatu"
Mendengar itu, spontan wajah Venom berubah malas. Tangannya masih memainkan anak rambut yang menjuntai indah di bahu Reina.
"Reina, itu terlalu lama. Batas waktu yang diberikan nyonya tua sangat mendesak dan aku tidak keberatan sama sekali"
Venom bergerak mencari benda yang disukai, "Venom...." protes Reina kalah ketika keinginan yang kuat menghantam setiap sisi lemahnya.
~>
Jose menghembuskan nafas berulangkali, Lea berusaha tidur disampingnya dengan wajah pucat. Sepertinya ia terlalu berambisi.
"Kamu sakit?"
"Tidak tahu, akhir-akhir ini aku merasa nyeri dan mual. Mungkin terlalu lelah"
"Beristirahat saja disini"
"Jose, aku ingin bertemu Venom"
"Tidak!"
"Aku merindukannya"
"Dia sudah menikah Lea"
"Aku tidak percaya gosip. Aku dan Nou sudah pergi ke rumahnya tetapi tidak menemukan Reina disana ataupun pengumuman dari pihak keluarga Xi"
"Tidak diumumkan bukan berarti tidak benar"
Lea berbalik menghadap Jose yang sibuk menghembuskan asap dari hidung dan mulutnya, "Aku tidak percaya jika belum mendengar dari Venom sendiri" katanya.
"Kamu-- mencari penyakit"
"Jose..."
"Kamu menginginkan apa? aku belikan sesuatu diluar atau kita berlibur di pulau milikku"
"Aku tidak tertarik. Aku ingin bertemu dengan Venom, gara-gara kamu yang sering muncul di depan butik, aku jadi kebingungan sendiri. Beruntung Nou tidak tahu"
Jose terdiam mendengar keluhannya, ia bergerak mengecup dahinya dengan perasaan sayang yang meluap. Lea menengadah seperti berfikir, Jose menarik dirinya kembali ke posisi.
"Aku cinta kamu, lupakan Venom!"
"Tapi aku tidak cinta kamu"
"Apa kamu tidak capek berkata sama tentang ini? Mengapa kamu tidak mencoba mencari cara untuk mencintaiku?"
"Aku tidak mau, kamu milik Nou sahabatku"
"Bodoh! kamu pikir Nou tidak tahu kita berhubungan sekarang ini? coba kamu pikir dulu"
Lea bergerak turun dengan menyambar jubah tidurnya, "Selama Nou tidak bertanya maka hubungan kita hanya sebatas ini" elaknya malas berdebat.
Jose memperhatikan wajah buruk Lea yang pergi ke kamar mandi, ia tahu tidak mudah membuat Lea berubah pikiran.
"Reina.... aku harap, kamu bahagia dengannya" gumam Jose menghembuskan sekali lagi asap ke udara bebas. Sulit melepaskan Reina, pertemuan mereka berdua tinggal kenangan, Jose sendiri tidak nyakin jika mencintai Reina saat itu.
Bungkus rokok diremas hingga tak berbentuk, Jose mengambil pakaiannya lalu pergi keluar kamarnya menuju lemari es. Tenggorokannya kering.
"Jose...."
Lea berdiri dengan pakaian kasual lengkap, wajahnya sudah dipoles make up bak model kenamaan, sangat cantik.
"Mau kemana?"
"Ada acara di restoran bersama klien malam ini. Aku pergi"
"Lea, aku antar"
"Gosip ingat? aku tidak mau dikenal sebagai selingkuhan hakim Jose. Kasihan Nou jika tahu terutama Feri"
"Lea...."
"Aku pergi, kamu tidak boleh mengikuti"
Jose mengerutkan keningnya, "Lea..." tegurannya diacuhkan bahkan Lea sudah membanting pintu apartemen Jose dengan keras.
Setiap kali begini, apakah terlalu dimanjakan olehnya, sepertinya tidak pikir Jose tak senang dengan tingkah Lea.
Di bawah basemen apartemen Jose,
Lea mengatur nafasnya, mencari ponselnya di dalam tas tangan kecil, "Nou...." panggilnya begitu tersambung.
"Ada apa Lea?"
"Aku ingin bertemu Venom, apakah kamu tahu dimana Venom?"
"Mengapa kamu bertanya padaku?"
"Aku tidak tahu harus mencari kemana, Bartan menghalangi aku setiap pergi ke rumahnya atau kantor"
"Lea, ini baru kemarin kamu bertemu Venom. Beri waktu padanya. Eh, Lea. Apakah kamu tahu wanita yang berhubungan dengan Jose sekarang ini?"
"Apa! Jose ada wanita lagi? siapa?"
"Hei! aku bertanya padamu, kalau kamu bertanya padaku lalu aku tanya siapa"
"Nou, kamu tahu semua sumber informasi selalu berasal darimu. Aku tidak punya narasumber yang pasti"
"Kamu betul juga. Venom berada di restoran seperti biasa kamu bertemu klien. Aku dengar ada peristiwa besar disana"
"Benarkah? terima kasih Nou"
Lea cepat mematikan ponselnya tetapi matanya terbelalak kaget melihat Jose berdiri di depan mobilnya dengan tangan kiri di saku celana dan tangan kanan memegang tongkat.
"Jose, kamu mau apa disitu, minggir!" teriak Lea setelah menurunkan kaca jendela mobilnya, Jose tersenyum tipis.
brak! brak! brak!
Lea terbengong melihat tongkat dipukul ke atas mobilnya dengan kencang berulangkali hingga rusak parah setelahnya Jose menghampiri Lea lalu menarik pintu mobil agar terbuka.
"Keluar!"
Takut Jose semakin marah, Lea keluar dari mobilnya. Jose tersenyum manis lalu mengelus rambutnya dengan hati-hati.
"Aku mengantarmu. Mobilmu sepertinya rusak , bisa bahaya jika dipakai. Kalau ada waktu, aku belikan mobil baru. Untuk sementara, aku akan mengantar ke butik atau bertemu klien"
"Tapi..."
"Kamu tinggal bersamaku saja biar mudah. Ayo Lea, kamu tidak ingin terlambat bertemu klien kan?"
"Eh, iya..."
Jose merangkul masuk Lea dalam dekapan sembari berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari mobil Lea.
"Aku tidak suka pakaian yang kamu pakai, kita pergi ke mal untuk beli. Restoran mana bertemu klien, Lea?"
"Restoran biasanya"
Jose menyalakan mobilnya setelah memastikan Lea mengunakan seat belt dengan baik. Lea melirik nasib mobilnya yang naas. Sungguh sulit mengatur temperamen Jose, tapi mengapa menjadi dirinya yang terkena pikirnya tak ada habisnya.
Jalanan sangat padat di menjelang sore, mobil Jose berjalan santai di tengahnya. Cahaya matahari perlahan meredup.