webnovel

The Impossible Hacker

The Impossible Hacker Zeline Azka Zakeisha adalah gadis berusia 22 tahun yang dijuluki sebagai The Impossible, hacker dengan kemampuan yang mustahil. Semua perangkat lunak yang ada di dunia ini bisa di hack oleh Zeline hanya dalam waktu singkat. Keberadaan Zeline pun mulai menjadi ancaman para penguasa kota Ambers ketika ia bekerja sama dengan Alvaro Daim Azhar. Seorang pria berusia 32 tahun yang biasa dipanggil Alvaro itu adalah penguasa dan pengusaha yang terkenal dengan keadilannya. Pria yang diam-diam jatuh cinta kepada Zeline. Suatu hari Zeline ditangkap oleh orang-orang suruhan dari penguasa kota dan disuntikkan sebuah racun. Zeline yang saat itu tengah sekarat melihat Alvaro nekat menyerang tempatnya di tahan dan terbunuh dengan kejam di depan matanya. Bersamaan dengan itu, racun yang bereaksi pada tubuh Zeline membuat wanita itu tewas seketika. Tubuh keduanya digantung di tengah kota sebagai peringatan kepada siapapun yang menentang penguasa. Namun di saat yang sama, sebuah jam berdentang keras di kediaman Alvaro. Jarum jam itu kemudian berputar ke arah sebaliknya dan tiba-tiba saja Zeline terbangun di rumahnya sendiri. Waktu kala itu sudah berputar kembali ke hari di mana Zeline dan Alvaro bertemu untuk pertama kalinya. Akan tetapi, hanya Zeline yang menyadari semua itu. Sementara Alvaro seolah tak mengingat kejadian kelam yang sempat membuat mereka sampai terbunuh. Bagaimana cara Zeline meyakinkan Alvaro tentang apa yang akan terjadi pada mereka? Akankah kesempatan kedua ini dapat Zeline pergunakan untuk menyelamatkan hidupnya dan juga Alvaro?

MawarHitam26 · Fantasy
Not enough ratings
209 Chs

First Kiss

"Sampai di kantor kamu ke ruanganku lebih dulu, ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Lexis kamu tidak masalah kan kalau ke ruang kerja kalian duluan?" tanya Alvaro.

"Iya, Tuan. Saya akan langsung ke ruang kerja saya," sahut Lexis setuju.

Zeline melirik ke arah Alvaro, dia tau apa yang Alvaro rencanakan. Namun, Zeline tidak bisa membantah. Bagaimanapun Alvaro adalah bosnya, mana mungkin dia menolak keinginannya.

Sampai akhirnya mereka sampai di basemen kantor, mereka pun segera turun dan masuk ke dalam lift. Rafael langsung menekan tombol di mana lantai ruang kerja sang bos. Sepanjang perjalanan Eliza lebih banyak diam, dia terlihat malas bicara. Lexis yang tau apa yang sedang di pikirkan Zeline ikut tidak banyak bicara. Seolah dia memahami apa yang sedang di risaukan sahabatnya itu.

Sesampai di lantai ruang kerja Alvaro, mereka langsung turun. Hanya Lexis yang melanjutkan perjalanan menuju pantai ruang kerjanya. Zeline berjalan di belakang Alvaro, tidak ingin sekertaris Alvaro mencurigai hubungannya dengan sang bos.

"Saya akan ke ruangan saya dulu, Tuan. Silahkan jika Anda ingin bicara pada Zeline," ucap Rafael.

Alvaro langsung mengangguk, dia langsung masuk ke ruang kerjanya diikuti Zeline. Sementara Rafael memberi kode pada dua sekertaris itu, agar jangan mengganggu bos mereka. Setelah mendapat balasan jika mereka paham, Rafael langsung menuju ruang kerjanya sendiri.

Saat Alvaro dan Zeline masuk ke ruang kerja Alvaro, tanpa aba-aba Alvaro langsung memeluk Zeline dari belakang. Zeline sampai gelagapan, karena takut jika ada yang masuk ke ruangan bosnya.

"Lepas, Tuan. Nanti ada yang melihat kita," ucap Zeline berusaha melepaskan pelukan Alvaro.

"Sudah diam saja seperti ini sebentar, aku tau kamu sedang merisaukan sesuatu. Aku harap dengan pelukan ini kamu bisa tenang dan mau mengatakan semuanya padaku. Apa yang sudah membuatmu merasakan kerisauan," sahut Alvaro dan semakin memeluk erat Zeline.

"Kenapa kamu peka banget sih, apa terlihat jelas jika aku merisaukan sesuatu. Atau kamu hanya berpersepsi?" tanya Zeline.

"Aku bisa merasakan dan melihatnya, sudah cukup lama kita selalu bersama. Jadi mana mungkin aku tidak memperhatikan jika kamu terlihat berbeda." Alvaro mencium tengkuk Zeline yang cukup terbuka karena rambutnya yang di ikat tinggi.

"Lepas dulu, bagaimana aku akan bicara kalau di peluk begini. Kamu ingin aku memberitahukan mu kan?" tanya Zeline.

Alvaro pun akhirnya menurut, lalu menggandeng Zeline untuk duduk di sofa. Tapi jangan berpikir, jika mereka akan duduk berdampingan karena Alvaro langsung menarik Zeline ke pangkuannya begitu dia duduk di sofa.

"Ya ampun kamu nih, bagaimana kalau ada yang lihat. Aku tidak enak, sudah lepasin biar aku duduk sendiri." Zeline langsung memprotes tindakan Alvaro yang suka seenaknya.

"Sudah tenang, tidak akan ada yang berani masuk kemari tanpa seijinku. Jadi kamu tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Sekarang katakan padaku, apa yang membuatmu merasa risau sejak tadi." Alvaro terus memeluk pinggang Zeline yang berada di pangkuannya, lalu menatap wajah gadisnya itu.

"Aku sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja ...."

Zeline terdiam, tidak bisa meneruskan kata-katanya. Hal itu semakin membuat Alvaro semakin penasaran, apa sebenarnya yang sudah terjadi. Kenapa Zeline seakan sulit untuk bicara, padahal Zeline sendiri hanya merasa jika apa yang di alaminya tidak begitu penting. Zeline berpikiran jika alasannya merasa risau terlalu sepele, hanya karena mimpi bisa-bisanya dia terus memikirkannya.

"Katakan, apa sebenarnya yang terjadi. Aku tidak mau kamu menyembunyikan apapun dariku," tegas Alvaro.

Dengan berat akhirnya Zeline menceritakan apa yang dialaminya. Apa yang membuatnya risau dan memikirkan hal itu dengan serius. Karena mimpinya bukan hanya sekadar mimpi, tapi hal yang pernah tejadi di masalalunya. Saat dia bermimpi kedua orang tuanya meninggal, beberapa hari kemudian hal itu benar-benar terjadi. Dan itu sama persis seperti yang di mimpikannya semalam, hingga membuatnya memiliki ketakutan.

"Bukankah itu hanya mimpi, bisa jadi itu hanya bunga tidur. Karena apa yang pernah kamu mimpikan, belum tentu akan sama dengan kejadian di masalalumu. Jika kamu terus memikirkannya kamu akan terus merasakan kecemasan," ucap Alvaro berusaha membuat Zeline tenang.

"Tapi apa yang terjadi pada kedua orang tuaku, sama persis dengan mimpiku itu. Dan mimpiku semalam benar-benar terasa nyata," jelas Zeline kekeuh.

"Ya sudah, kamu tidak usah cemas. Bukankah sekarang ada aku yang akan selalu menjagamu, apakah kamu tidak mempercayaiku jika aku bisa menjaga dan melindungimu? Aku tidak akan membiarkan siapapun bisa menyentuhmu, apalagi sampai berbuat jahat padaku. Asal kamu selalu mendengar apa yang aku katakan, kalau kamu tidak akan pergi tanpa ijinku kemanapun itu." Alvaro menarik dagu Zeline agar Zeline mau menatapnya.

"Apa aku akan selalu hidup dalam kecemasan yang sama, selama ini aku sudah selalu bersembunyi. Setelah orang tuaku meninggal, bibi membawaku bersamanya. Dia bahkan mengganti namaku dan menghilangkan nama keluarga dari namaku, bibi tidak mengatakan apapun selain hanya bilang jika itu bahaya. Dan dia terus memintaku hati-hati, jangan sampai orang lain tau siapa diriku sebenarnya. Hingga akhirnya aku mensugesti diriku sendiri jika aku dalam bahaya," tutur Zeline menjelaskan seraya menatap mata Alvaro.

Alvaro terdiam, ingin rasanya dia mengatakan semuanya pada Zeline. Apa saja yang di ketahuinya, tapi seketika dia tersadar kembali jika saat ini belum waktunya Zeline mengetahui yang sebenarnya. Alvaro harus lebih mendekatkan diri pada Zeline, agar Zeline mempercayainya. Dan bukan malah sebaliknya, kehilangan kepercayaan padanya.

"Sudah jangan pernah memikirkan sesuatu yang belum tentu akan terjadi, apalagi itu hanya mimpi belaka. Aku ingin kamu hidup tenang, aku akan berusaha untuk melindungimu setiap saat. Dan aku ingin kamu bahagia saat bersamaku," tegas Alvaro.

Alvaro langsung menarik leher Zelin, hingga membuat bibirnya dan Zeline saling bertaut. Alvaro melumat bibir Zeline, membuat Zeline sempat tertegun. Ini ciuman pertamanya, karena selama ini Alvaro tidak pernah melakukannya. Tapi entah kenapa Zeline seolah tidak bisa menolaknya, malah akhirnya dia memejamkan mata dan mulai membuka sedikit bibirnya. Membuat Alvaro bebas memasukan lidahnya, lalu menjelajah di rongga mulut Zeline.

"Sudah cukup, Tuan. Aku tidak mau nanti ada yang memergoki kita, aku belum siap jika ada orang lain yang mengetahu hubungan kita." Zeline menarik diri dari Alvaro, dengan wajah memerah dia langsung berdiri dari pangkuan Alvaro.

"Kamu mau kemana?" tanya Alvaro seakan tidak memperdulikan wajah Zeline yang memerah.

"Aku harus kembali ke ruang kerjaku, aku kemari untuk bekerja kan. Ya sudah aku permisi dulu," ucap Zeline pamit dan langsung melangkah pergi menuju pintu.

Alvaro hanya tersenyum dan membiarkan Zeline keluar dari ruangannya. Dia tau Zeline pasti malu dan gugup dengan apa yang baru saja mereka lakukan.