Tak lama setelah lelaki asing itu pingsan, operasi yang sedang dilakukan Ash terhadap Jaeha rupanya sudah selesai. Ash bilang Jaeha akan bangun dalam waktu 12 jam. Selagi menunggu hal itu terjadi, kini aku dan Foxie sedang dengan penasaran memandangi lelaki yang kini sudah kami ikat dengan plester ke kursi.
"Kira-kira siapa lelaki ini?" celetuk Foxie. "Mengapa dia bisa tahu kombinasi apartemen Jaeha?"
"Aku tidak tahu." Aku menyipitkan kedua mataku. Tatapanku tak lepas dari sosok asing di hadapanku. "Sepertinya... aku pernah melihat wajah lelaki ini...." Kemudian, satu ingatanku itu menyentakku. "Astaga!"
Foxie menatapku, penasaran. "Apa?!"
"Dia...," jawabku, "adalah Kil Songjin!"
Foxie melipat dahi. "Kil... siapa?" tanya Foxie. "Apa aku seharusnya mengenalnya?"
"Kil Songjin!" ulangku. "Dia ini adalah ketua grup vokal Jaeha."
"Ah! Jadi begitu?" sahut Foxie. Ia mengangguk-angguk.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanyaku kemudian. "Dia sudah melihat semuanya. Apa kita harus menghapus ingatannya?"
Foxie mengangkat alis. "Bagaimana caranya?"
"Tidak adakah alat dari masa depan yang bisa melakukan itu?" aku balik bertanya.
Lesu, wanita berkacamata itu menggelengkan kepala. "Alat itu masih dalam pengembangan," jawabnya. "Aku tidak ingin mengambil risiko. Jika kita nekat, bisa-bisa seluruh memori lelaki ini malah terhapus."
Aku pun menggigit bibir bawahku. Lalu, apa yang bisa kami lakukan? Lelaki ini jelas tidak bisa kami lepaskan begitu saja di saat dia sudah melihat segalanya. Apa kami harus menjadikannya tawanan? Tidak, tidak. Itu ide buruk. Dia jelas-jelas seorang idol. Akan ada banyak orang yang mencarinya jika tiba-tiba saja dia hilang dari publik. Kemudian, satu ide—yang entah baik, entah buruk—terlintas dalam benakku.
"Bagaimana jika... menyuntikkan dosis kecil dari Obxinoz?"
Foxie menatapku dengan raut wajah tak percaya. "Kau bercanda?"
Aku langsung mengangkat tangan ke udara. "Aku hanya mencoba untuk mencari jalan keluar dari masalah ini, oke?"
Foxie membuang napas lelah. "Aku tidak ingin menginjeksi lelaki ini dengan Obxinoz," jawabnya. "Erisha, kau itu dokter. Tidakkah kau tahu apa yang terjadi jika kita melakukan itu?"
"Kerusakan sel otak secara permanen yang bisa menyebabkan kepikunan jangka panjang," jawabku, nyaris tanpa sadar.
"Kau ingin lelaki ini mengalami hal itu?" tanya Foxie selagi mengangkat satu alis.
"Tetapi, jika kita tidak melakukannya, bagaimana bisa kita menghapus memori Songjin mengenai apa yang sudah dia lihat?" tanyaku.
Foxie menyandarkan punggung ke sofa lalu menghela napas keras-keras. "Aku kehabisan ide," jawabnya.
Rasanya, otakku ini ingin meledak. Baru saja satu masalah kami temukan solusinya, tetapi masalah lain sudah datang dengan bertubi-tubi. Dan yang lebih buruk lagi adalah, kami terancam tidak bisa mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Yang jelas, aku yakin jika kami melepaskan Songjin begitu saja, dia bisa menjadi ancaman besar bagi keberhasilan misi ini.
Tiba-tiba saja, lamunanku terinterupsi oleh suara erangan yang berasal dari mulut Songjin yang sudah kami plester. Spontan, aku dan Foxie bertatap-tatapan.
"Apa dia sudah bangun?" tanyaku.
"Kurasa begitu. Aku hanya mengisi suntikan itu dengan obat berdosis kecil," jawab Foxie.
"Apa aku harus memukulnya hingga dia pingsan lagi?"
"Kurasa tidak." Wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Songjin yang kini sibuk menggelengkan kepala. Aku berani bertaruh jika kepalanya itu terasa pening. Obat bius yang Foxie gunakan memang menyerang langsung pada syaraf otak.
"Fox, apa yang hendak kau lakukan?" tanyaku.
Ia menjawab, "Mencoba untuk bernegosiasi."
Setelah Songjin tampak sudah mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Ia mendongak untuk menemukan Foxie berdiri di hadapannya. Sontak, lelaki itu melipat dahi dan kembali mengerang dalam plester di mulutnya.
"Tenanglah," ujar Foxie. Namun, erangan Songjin malah semakin keras. Aku yakin dia berusaha mengatakan sesuatu yang aku percaya adalah kalimat-kalimat umpatan. Memang, apa lagi yang akan diucapkan oleh seseorang yang sudah dibius dan diplester secara paksa ke kursi?
"Kurasa, kau harus melepas plesternya," jawabku.
Foxie mendesah resah. Ia meraih salah satu pipi Songjin. "Hey, dengarkan aku," ujarnya kepada sandera kami. "Aku akan melepaskan plester ini, tetapi berjanjilah kau akan tetap tenang, oke?"
Songjin mengangguk mantap. Kemudian, Foxie pun melepaskan plester yang ada menutupi mulut lelaki itu. Songjin langsung memekik keras begitu Foxie menarik plester itu secara kasar. Namun, tanpa kami duga, sesaat setelahnya Songjin sudah menjerit-jerit tak karuan.
"Apa yang kalian lakukan pada Jaeha?!" serunya. "Siapa kalian sebenarnya?! Apa yang—"
Foxie menyumpal mulut Songjin dengan sapu tangannya. Ia berdecak dan memijat pelipisnya sendiri. "Bukannya sudah kubilang untuk tetap tenang?"
Aku maju selangkah. "Kau mau aku menangani ini dengan kekerasan?" tawarku.
Foxie menggelengkan kepala. "Simpan pukulanmu untuk babak terakhir jika negosiasi ini tidak berhasil."
"Oke." Aku kembali ke tempatku semula.
"Hey, dengarkan aku," ujar Foxie pada lelaki itu. "Aku tahu kau ingin tahu apa yang sedang terjadi. Kau juga pasti penasaran siapa kami, dan apa yang telah kami perbuat pada temanmu, bukan?"
Mendengar pertanyaan Foxie, Songjin tak bergeming. Dia hanya menatap Foxie dengan sorot mata berkilat-kilat penuh amarah.
"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Jaeha baik-baik saja," lanjut Foxie. "Dia sedang tertidur di dalam kamarnya dan akan bangun kurang lebih sekitar 8 jam lagi."
Songjin mengerang, terdengar seperti dia hendak mengatakan sesuatu.
"Aku akan lepaskan sarung tangan itu dari mulutmu, tetapi berjanjilah kau akan tetap tenang, oke?"
Songjin mengangguk kuat-kuat.
"Kali ini, jika kau tidak mematuhi apa perkataanku, wanita yang ada di sana itu siap untuk mematahkan hidungmu." Foxie menunjukku dengan dagu. "Kau tentu tidak ingin itu terjadi padamu, bukan?"
Tawanan kami itu menggeleng lemah.
"Itu bagus," gumam Foxie. Wanita itu segera mengambil sumpal mulut Songjin dan membuangnya ke atas lantai.
"Apa... apa yang kalian lakukan pada Jaeha...?" suara parau lelaki itu terdengar.
"Kami hanya melakukan prosedur operasi biasa," jawab Foxie.
"Mengapa...?" tanya Songjin. "Mengapa kalian melakukan itu? Apa Jaeha sakit?"
"Tidak, dia baik-baik saja," jawab Foxie.
"Lalu... mengapa...?"
"Kurasa dokter yang di sana bisa menjelaskan hal ini dengan lebih baik," sahut Foxie. Dia membalikkan badan dan mengisyaratkan padaku untuk mengambil alih posisinya. Aku pun menuruti permintaannya. Kini, aku sudah berdiri di hadapan Songjin menggantikan Foxie.
"Baik...," aku berdehem. "Jadi kau ingin tahu mengapa kami melakukan operasi pada Jaeha?"
Songjin hanya mengangguk.
Aku menarik napas dalam-dalam. Bahkan, ini jauh lebih sukar daripada memberitahu keluarga pasien bahwa anggota keluarga mereka menderita kanker stadium akhir dan sedang meregang nyawa. Astaga, bagaimana aku bisa menjelaskan segala hal rumit pada orang yang sama sekali tak tahu apa-apa?
"Oke... kami... kami melakukan operasi pada Jaeha karena... er, ini untuk kebaikannya sendiri," jawabku pada akhirnya. "Tetapi, tidak. Dia tidak menderita penyakit apa pun. Kami hanya melakukan prosedur yang bersifat preventif."
"Lalu... alat apa yang tadi kulihat di sebelah ranjang Jaeha?" tanya Songjin. "Bukankah itu robot?"
"Ash...," lirihku. Aku benar-benar lupa jika lelaki ini sudah melihat Ash yang sedang menjalankan prosedur operasi.
Lantas, sekonyong-konyong, robot yang sudah kami nonaktifkan dan kami balut dengan mantel itu kembali hidup. Dia melayang di atas sofa dan segera melucuti mantelnya sendiri dengan kedua tangan besinya. Aku terbelalak melihat pemandangan itu. Foxie pun langsung meloncat dan menangkap Ash yang ada di sampingnya.
Foxie berseru, "Nonaktif—"
"Apa keluhan Anda, Nona Erisha?" potong Ash dengan suara AI-nya yang khas. "Terima kasih sudah mengaktifkanku kembali dengan panggilan suara. Bagaimana keadaan pasien yang baru saja aku operasi?"
Bagus! Bagus sekali, Erisha! Kau sudah tanpa sengaja mengaktifkan robot itu dengan perintah suara!
Dengan kedua mata yang membulat sempurna, Songjin membuka mulut, "Benda... benda apa itu...?"
*