webnovel

The Heroes of Olympus : The Lost Hero (Pahlawan yang Hilang)

“Tujuh Demigod akan menjawab panggilan, karena badai atau api dunia akan terjungkal.” ————————————————————————————— Tiga Demigod baru bergabung di Perkemahan Blasteran. Jason yang tidak bisa mengingat jati dirinya. Piper yang penuh misteri, dan Leo dengan kemampuan mekaniknya yang luar biasa. ————————————————————————————— Bersama-sama, ketiganya mengemban sebuah misi penyelamatan. Misi yang juga akan mengungkap sebuah rahasia besar mereka pada masa lalu. ————————————————————————————— Bergabunglah dengan para Demigod dari Perkemahan Blasteran dan nikmati petualangan serunya!

Katniss_1511 · Fantasy
Not enough ratings
6 Chs

Bab 3 Piper

SESUDAH MENJALANI PAGI YANG PENUH dengan roh badai, manusia kambing, dan pacar terbang, Piper semestinya hilang akal. Alih-alih, yang dia rasakan hanyalah ngeri.

Sudah dimulai, pikirnya. Seperti kata mimpi itu.

Piper berdiri di bagian belakang kereta perang bersama Leo dan Jason, sementara si cowok plontos, Butch, memegang tali kekang, sedangkan si cewek pirang, Annabeth, menyesuaikan alat navigasi perunggu. Mereka membubung di atas Grand Canyon dan menuju timur, angin sedingin es menampar￾nampar jaket Piper. Di belakang mereka, awan badai yang mengumpul kian banyak saja. Kereta perang itu menukik dan terguncang-guncang. Kereta perang tersebut tidak memiliki sabuk

keselamatan dan bagian belakangnya terbuka lebar, alhasil Piper bertanya-tanya akankah Jason menangkapnya lagi jika dia jatuh. Itu adalah hal yang paling menggelisahkan sepagian itu—bukan karena Jason bisa terbang, melainkan karena Jason mau memeluk Piper meskipun dia tidak kenal cewek itu.

Sepanjang semester ini Piper berupaya menjalin hubungan, mengusahakan supaya Jason menganggapnya lebih dari sekadar teman. Akhirnya Piper berhasil membuat si besar bego itu menciumnya. Beberapa minggu terakhir ini merupakan saat-saat terbaik seumur hidup Piper. Kemudian, tiga malam lalu, mimpi tersebut menghancurkan segalanya—suara mengerikan itu memberi Piper kabar

mengerikan. Piper belum memberitahukannya kepada siapa-siapa, bahkan Jason pun tidak.

Kini bahkan Piper tak memiliki Jason. Rasanya seolah seseorang telah menghapus ingatan cowok itu, dan

Piper terjebak dalam situasi "ulangi dari awal" yang terburuk sepanjang masa. Dia ingin menjerit. Jason berdiri di tepat di sebelahnya: mata biru langit itu, rambut pirang cepak, bekas luka yang menggemaskan di atas bibirnya. Dan Jason terus saja menatap cakrawala, bahkan tidak memperhatikan Piper.

Sementara itu, Leo bersikap menyebalkan, seperti biasa. "Ini keren banget!" Dia meludahkan baju pegasus dari mulutnya. "Kita mau ke mana?"

"Tempat yang aman," ujar Annabeth.

"Satu-satunya tempat yang aman untuk anak-anak seperti kita. Perkemahan Blasteran."

"Blasteran?" Piper seketika jadi waspada. Dia benci kata ini. Dia sudah terlalu sering dipanggil Blasteran—setengah Cherokee, setengah kulit putih—dan panggilan itu tak pernah merupakan pujian.

"Apa itu semacam lelucon payah?"

"Maksudnya kita ini demigod," kata Jason. "Setengah dewa, setengah manusia fana."

Annabeth menoleh ke belakang. "Kau sepertinya tahu banyak, Jason. Tapi, ya, kita ini demigod. Ibuku Athena, Dewi kebijaksanaan. Kalau Butch, dia putra Iris, Dewi pelangi."

Leo tersedak. "Ibumu Dewi Pelangi?"

"Ada masalah?" ujar Butch.

"Tidak, tidak," kata Leo. "Pelangi. Sangat macho."

"Butch penunggang kuda kami yang terbaik," kata Annabeth. "Dia pandai bergaul dengan pegasus."

"Pelangi, poni," gumam Leo.

"Kulempar kau dari kereta ini," Butch memperingatkan.

"Demigod," kata Piper. "Maksudnya, kalian kira kalian ... kalian kira kami ini—"

Petir menyambar. Kereta perang bergoyang-goyang, dan Jason berteriak, "Roda kiri terbakar!"

Piper melangkah mundur. Memang benar, roda tersebut terbakar, bunga api putih melalap bagian samping kereta perang.

Angin menderu. Piper melirik ke belakang mereka dan melihat sosok-sosok gelap terbentuk di awan, para roh badai lagi-lagi berputar-putar menuju kereta perang—hanya saja, kali ini mereka lebih mirip kuda daripada malaikat.

Piper mulai berkata, "Kenapa mereka—"

"Bentuk anemoi bermacam-macam," kata Annabeth. "Terkadang manusia, terkadang kuda, tergantung seberapa kacau mereka. Pegangan. Ini bakalan kasar."

Butch menyentakkan tali kekang. Kedua pegasus mempercepat laju mereka hingga secepat kilat, dan kereta perang itu pun melejit. Perut Piper serasa merangkak ke kerongkongan. Penglihatannya jadi hitam kelam, dan ketika penglihatannya kembali normal, mereka sudah berada di tempat yang betul￾betul berbeda.

Samudra kelabu dingin terbentang di sebelah kiri. Ladang, jalanan, dan hutan berselimut salju terhampar di kanan. Tepat di bawah mereka terdapat lembah hijau, bagaikan pulau terpencil saat musim semi, dikelililngi oleh perbukitan bersalju di ketika sisinya serta perairan di utara. Piper melilat sekumpulan bangunan yang mirip seperti kuil Yunani kuno, griya besar, lapangan bola, danau dan tembok panjat yang sepertinya sedang terbakar. Tapi sebelum dia dapat mencerna semua yang dilihatnya, roda kereta mereka copot dan kereta perang itu pun jatuh dari langit.

Annabeth dan Butch berusaha mempertahankan kendali. Kedua pegasus susah payah menahan kereta perang agar tetap melayang, namun mereka tampaknya kelelahan setelah melaju secepat kilat; dan menanggung beban kereta perang serta bobot lima orang, tampaknya terlalu berat buat mereka.

"Danau!" teriak Annabeth. "Arahkan ke danau!"

Piper teringat sesuatu yang pernah diberitahukan ayanya kepadanya, bahwa menabrak air sesudah jatuh dari lokasi yang tinggi sama menyakitkannya seperti menabrak semen.

Lalu—BUM.

Kejutan terbesar adalah rasa dinginnya. Piper berada di bawah air, benar-benar kehilangan arah sehingga dia tidak tahu di mana permukaan airnya.

Dia hanya punya waktu untuk berpikir: ini bakalan jadi cara mati yang bodoh. Kemudian muncullah wajah-wajah di antara air keruh hijau tersebut—cewek-cewek berambut hitam panjang dan bermata kuning menyala. Mereka tersenyum kepada Piper, mencengkeram pundaknya, dan mengangkatnya ke atas.

Mereka melemparkan Piper, megap-megap dan menggigil ke tepi danau. Di dekat sana, Butch berdiri di danau, memotong kekang kuda yang rusak dari tubuh pegasus. Untungnya, kedua kuda itu keliatannya baik-baik saja, namun mereka mengepakkan sayap dan memercikkan air ke mana-mana. Jason, Leo, dan Annabeth suda berada di tepi, dikelilingi oleh anak-anak yang memberi mereka selimut sambil mengajukan beberapa pertanyaan. Seseorang memegangi tangan Piper dan membantunya berdiri. Rupanya anak-anak sering sekali jatuh ke danau, sebab sepasukan pekemah liar sambil membawa blower besar dari perunggu dan menyembur Piper dengan udara panas; dalam waktu kira-kira dua detik pakaiannya pun kering.

Terdapat setidaknya dua puluh pekemah yang berkeliaran—yang termuda barangkali sembilan tahun, yang tertua sepertinya sudah kuliah, berusia delapan belas atau sembilan belas— dan mereka semua mengenakan kaus jingga seperti yang dipakai Annabeth. Piper menengok air di belakangnya dan melihat cewek-cewek aneh itu tepat di bawah permukaan air, rambut mereka terapung-apung mengikuti arus. Mereka melambaikan ujung-ujung jari, kemudian menghilang ke dalam air. Sedetik kemudian puing￾puing kereta perang dilemparkan dari danau dan mendarat disertai bunyi berdencang.

"Annabeth!" seorang cowok yang menyandang wadah panah dan busur di punggungnya menerobos maju melewati kerumuman orang. "Kubilang kau boleh meminjam kereta perang itu, bukan menghancurkannya!"

"Will, maafkan aku," desah Annabeth. "Akan kuperbaiki, aku janji."

Will memandangi kereta perangnya yang rusak sambil merengut. Kemudian dia mengamati Piper, Leo, dan Jason. "Ini anak-anaknya? Umur mereka pasti sudah lebih dari tiga belas tahun. Kenapa mereka belum diklaim?"

"Diklaim?" tanya Leo.

Sebelum Annabeth menjelaskan, Will berkata, "Ada tanda-tanda keberadaan Percy?"

"Tidak," Annabeth mengakui.

Para pekemah berbisik-bisik. Piper tidak tahu siapa si Percy ini, namun hilangnya cowok itu tampaknya merupakan perkara besar.

Seorang cewek lain melangkah maju—tinggi, orang Asia, berambut gelap keriting kecil-kecil, memakai banyak perhiasan, dan rias wajah sempurna. Entah bagaimana dia mampu membuat jins dan kaus jingga tampak glamor. Dia melirik Leo, menatap Jason lekat-lekat seakan cowok itu layak diberinya perhatian, lantas mengerutkan bibirnya saat melihat Piper, seolah-olah cewek itu adalah burrito basi yang baru saja dipungut dari tong sampah. Piper mengenali cewek seperti ini. Piper sering berurusan dengan cewek seperti ini di Sekolah Alam Liar dan semua sekolah tolol lainnya yang telah dia masuki atas perintah ayahnya. Piper serta-merta tahu mereka bakal bermusuhan.

"Yah," kata cewek itu. "Kuharap mereka pantas diselamatkan. Merepotkan saja."

Leo mendengus. "Wah, makasih. Memangnya kami ini apa, piaraan barumu?"

"Betul," kata Jason. "Bagaimana kalau kalian jawab dulu pertanyaan kami sebelm kalian mulai menilai kami—misalnya, ini tempat apa, kenapa kami dibawa ke sini, berapa lama kami harus tinggal?"

Piper memiliki pertanyaan yang sama, namun gelombang kecemasan melandanya. Pantas diselamatkan. Seandainya saja mereka tahu tentang mimpi Piper. Mereka sama sekai tidak tahu ...

"Jason," kata Annabeth, "aku janji kami akan menjawab pertanyaan kalian. Dan Drew"—dia mengerutkan kening kepada si cewek glamor—"semua demigod pantas diselamatkan. Tapi kuakui, perjalanan tadi memang tidak membuahkan pencapaian yang kuharapkan."

"Hei," kata Piper. "Kami tidak minta dibawa ke sini."

Drew mengendus-endus. "Dan tak ada yang menginginkanmu, Say. Apa rambutmu memang selalu tampak seperti musang mati?"

Piper melangkah maju, siap menghajar cewek itu, namun Annabeth berkata, "Piper, stop."

Piper menurut. Dia sama sekali tak takut pada Drew, tapi Annabeth sepertinya bukan orang yang ingin dia jadikan musuh.

"Kita harus membuat para pendatang baru merasa diterima," kata Annabeth, lagi-lagi memandang Drew dengan galak. "Akan kita beri pemandu untuk masing-masing dari mereka, beri mereka tur keliling perkemahan. Moga-moga pada acara api unggun malam ini mereka sudah diklaim."

"Adakah yang mau memberitahuku apa maksudnya diklaim?" tanya Piper.

Tiba-tiba saja semua anak serempak terkesiap. Para pekemah melangkah mundur. Pada mulanya Piper mengira dia telah melakukan kesalahan. Lalu dia menyadari bahwa wajah mereka diselimuti cahaya merah aneh, seolah-olah seseorang telah menyalakan obor di belakang Piper. Dia berbalik dan hampir lupa caranya bernapas.

Di atas kepala Leo melayanglah hologram yang menyala-nyala—palu yang membara.

"Itu," kata Annabeth, "yang namanya diklaim."

"Apa yang kulakukan?" Leo mundur ke arah danau. Kemudian dia melirik ke atas dan memekik. "Apa rambutku terbakar?" Dia menunduk, namun simbol tersebut mengikutinya, naik-turun dan berbelok￾belok sehingga Leo seakan sedang mencoba menulis sesuatu dari nyala api dengan kepalanya.

"Ini tidak bagus," gumam Butch. "Kutukan itu—"

"Butch, tutup mulut," kata Annabeth. "Leo, kau baru saja diakui—"

"Oleh dewa," potong Jason. "Itu simbol Vulcan, kan?" Semua mata memandang kepadanya.

"Jason," kata Annabeth hati-hati. "bagaimana kautahu itu?"

"Entahlah."

"Vulcan?" tuntut Leo. "Aku bahkan tidak SUKA star trek. Kalian ngomong apa sih?"

"Vulcan adalan nama Romawi untuk Hephaestus," kata Annabeth. "Dewa Api dan Pandai Besi."

Hologram palu itu membara itu memudar, tapi Leo terus saja menepuk-nepuk udara seakan dia takut

hologram tersebut mengikutinya. "Dewa apa? Siapa?"

Annabeth berpaling kepada cowok pembawa busur. "Will, maukah kauantar Leo berkeliling-keliling? Perkenalkan dia kepada teman-teman sekamarnya di Pondok Sembilan."

"Tentu saja, Annabeth."

"Apa itu Pondok Sembilan?" tanya Leo. "Dan aku bukan orang Vulcan!"

"Ayo. Mr. Spock, akan kujelaskan semuanya." Will merangkulkan lengannya ke bahu Leo dan menggiringnya ke arah pondok-pondok.

Annabeth kembali mengalihkan perhatiannya kepada Jason. Biasanya Piper ridak suka ketika cewek￾cewek lain memperhatika pacarnya, tapi Annabeth sepertinya bahkan tak peduli bahwa Jason adalah cowok tampan. Annabeth mengamati Jason seperti mengamati sebuah cetak biru yang rumit. Akhirnya

cewek itu berkata, "Ulurkan lenganmu."

Piper melihat apa yang dilihat Annabeth, dan matanya pun membelalak.

Jason telah melepas jaketnya setelah tercebur di danau, menampakkan lengannya yang telanjang, dan pada lengan bawahnya yang sebelah dalam ada sebuah tato. Kok bisa-bisanya Piper tidak menyadari keberadaan tato itu sebelumnya? Dia sudah jutaan kali melihat lengan Jason. Tato itu tak mungkin muncul begitu saja, tapi tato tersebut terukir dengan warna gelap, mustahil dilewatkan: selusin garis lurus seperti barcode, dan diatasnya terdapat seekor elang dengan huruf-huruf SPQR.

"Aku tak pernah melihat rajah seperti ini," kata Annabeth. "Dari mana kau mendapatkannya?"

Jason menggelengkan kepala. "Aku benar-benar sudah bosan mengucapkan ini, tapi aku tidak tahu."

Para pekemah lain merengsek maju, berusaha melihat tato Jason. Rajah tersebut sepertinya sangat mengusik mereka—hampir seperti pernyataan perang.

"Kelihatannya rajah ini dicap ke kulitmu," komentar Annabeth.

"Memang," kata Jason. Lalu dia berjengit seolah-olah kepalanya nyeri. "Maksudku ... kurasa begitu. Aku tak ingat."

Tak ada yang mengucapkan apa-apa. Jelas bahwa para pekemah memandang Annabeth sebagai pemimpin. Mereka tengah menanti vonisnya.

"Dia harus menemui Pak Chiron sekarang juga," Annabeth memutuskan. "Drew, maukah kau—"

"Pasti." Drew mengaitkan lengannya ke lengan Jason. "Ke arah sini, Manis. Akan kuperkenalkan kau dengan direktur kami. Dia laki-lai yang ... menarik." Cewek itu melemparkan ekspresi pongah pada Piper

dan menuntun Jason ke arah rumah biru besar di bukit.

Kerumunan mulai bubar, hingga hanya Annabeth dan Piper yang tertinggal.

"Siapa itu Pak Chiron?" tanya Piper. "Apa Jason dalam kesulitan?"

Annabeth bimbang. "Pertanyaan bagus, Piper. Ayo, akan kuantarkan kau berkeliling. Kita harus bicara."