Ini menegangkan. Ini mengerikan. Ini mendebarkan. Keangkeran ruang tamu keluarga Anggara melebihi rumah kosong yang ditinggal ribuan tahun lamanya. Tatapan tajam sang kepala keluarga membunuh setiap orang yang ada di sana. Dan sialnya salah satu orang yang ada di ruang tamu angker itu adalah Dira.
Seharusnya tadi Dira tidak pernah mengakui laki-laki yang bernama Bayu sebagai ayah dari Rani. Lihat sekarang apa yang terjadi, dia diinterogasi seluruh keluarga Anggara, keluarga dari Bayu. Keluarga Anggara bukan keluarga biasa, melihat betapa besarnya rumah mereka. Atau tempat yang sedang Dira pijak ini lebih pantas disebut istana.
Izinkan Dira menjelaskan bagaimana megahnya rumah keluarga Anggara. Rumah ini bergaya Eropa dengan desain interior dengan hiasan yang berasal dari awal abad ke-19, termasuk penggunaan warna-warna cerah yang dikenal dengan teknikscaaliola yang didominasi dengan warna Belle epoque cream dan warna-warna keemasan. Sementara ruang tamu dilengkapi dengan furnitur-furnitur Cina dari Royal Pavilion sama seperti milik istana Buckingham Palace. Rumah yang benar-benar menggagumkan untuk orang biasa seperti Dira
"Benar cerita Kakakmu itu, Bayu?" Tuan Adam Anggara kembali membuka suaranya.
"Bohong, Pa. Bayu sama sekali gak kenal sama mereka," jelas Bayu frustasi untuk kesekian kalinya.
"Bohong!" Ini suara Julia, kakak dari Bayu. Wanita berusia tiga puluh tahun itu adalah satu-satunya saksi dari keluarga Anggara saat di resto. Dia telah berdongeng pada seluruh keluarga tentang kejadian tadi.
"Sebaiknya Kakak gak usah ikut campur kalau memang gak tau apapun!" Bayu bersuara lantang pada kakaknya itu.
"Kakak tau apa yang terjadi," balas Julia tak gentar.
"Tapi ini bukan urusan lo!"
"BAYU!" Tuan Adam membentak Bayu kuat. Pria tua itu tidak suka ada kata lo-gue dalam rumahnya. Menurutnya itu tidak sopan. "Jaga ucapanmu," desisnya tajam.
Ada banyak hal yang tidak bisa direncakan di dunia ini, mengenal keluarga Aggara misalnya. Tangan Dira saling meremas takut melihat kekacauan yang disebabkan oleh kebohongan kecilnya. Kebohongan kecil? Oh ayolah, mengakui seorang laki-laki sebagai Ayah dari putrinya tidak pantas disebut kebohongan kecil.
"Sayang, ayo ikut Nenek ke atas. Ada banyak mainan di sana," ajak Ibu Bayu pada Rani.
Wanita yang masih cantik di umurnya yang hampir memasuki setengah abad itu merasa kasihan pada Rani yang duduk terdiam dengan wajah pucat karena takut pada keadaan sekitar.
"Dia bukan cucu Mama!" Bayu tidak suka dengan kata 'nenek' yang dilontarkan ibunya.
"Urus masalahmu! Jangan ikut campur dengan tindakan Mama," kata Nyonya Kate. Ibu Bayu merupakan wanita keturunan Eropa itu memilih untuk menghampiri Rani dan mengacuhkan putranya yang sedang protes. Sementara Rani hanya diam dan menurut saja saat Nyonya Kate menggendong dan membawanya menuju lantai dua.
"Siapa namanya?" Tuan Adam memberi pertanyaan ambigu entah pada siapa. "Siapa nama bocah kecil itu?" Tuan Adam memperjelas pertanyaannya.
Dira merasa pertanyaan itu dilemparkan kepadanya. Ia ingin sesegera mungkin menjawab agar perhatian tidak tertuju terlalu lama padanya. Namun entah kenapa lidah Dira terasa sangat kelu untuk menjawab.
"Na ... namanya Rani Fitriana," jawab Dira dengan susah payah.
"Berapa usianya?" tanya tuan Adam lagi.
"Ta-tahun ini masuk lima tahun," jawab Dira lirih.
"Berapa usiamu?" kali ini Diana yang bersuara.
"Dua puluh tiga," jawab Dira singkat.
"Ya Tuhan! Umur delapan belas tahun kamu sudah hamil dan Bayu meninggalkan kamu? Bayu benar-benar brengsek," ucap Julia tak percaya. Julia tidak menyangka adiknya yang gila kerja dan anti untuk menjalin sebuah hubungan serius ternyata berani melakukan tindakan sejauh itu.
"Itu gak benar! Kak, lo diam aja deh kalau gak tau apa pun!" bantah Bayu.
"Bayu, sopan sedikit sama Kakakmu!" tegur Tuan Adam tak suka.
"Dia terlalu banyak bicara, Pa," Bayu mengaduh dengan nada suara putus asa.
Mendengar perdebatan antara keluarga ini membuat tingkat ketakutan Dira semakin meningkat. Sudah pasti takdir yang tidak mengenakan akan menimpa dia dan putrinya. Sebelum itu semua terjadi, apa sebaiknya Dira mengakui semua kebohongannya saja? Oh tidak, Dira terlalu takut untuk melakukan itu sekarang. Nyalinya sudah sangat menciut.
"Kalian harus segera menikah."
"APA?!" Dira dan Bayu menjerit terkejut mendengar keputusan tuan Adam. Menikah? Yang benar saja.
"Setuju!" Julia mengangguk sependapat dengan sang Ayah.
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapian," potong Tuan Adam sebelum Bayu sempat menyelesaikan protesnya. "Kamu pilih mana, Bayu? Kalian harus menikah atau investasi akan Papa cabut pada proyek pembangunan mall-mu."
"Pa, masalahnya ... arrrgh kalian semua gak ngerti," Bayu kehilangan kata-kata untuk menjelaskan pada seluruh keluarga karena frustasi.
"Kamu harus belajar bertanggungjawab, Bayu. Sudah sangat lama kamu meninggalkan mereka. Di mana hati nuranimu, hah? Lihat gadis kecil yang tak berdosa itu? Dia putrimu! Papa tidak pernah mendidik kamu menjadi seorang pengecut," nasehat Tuan Adam pada Bayu.
Bayu menghela napas. Dia tidak bisa melakuan apa-apa lagi, posisinya sudah sangat terjepit.
Satu-satunya yang ingin Bayu lakukan sekarang adalah membuat perhitungan dengan perempuan yang bernama ... siapa namanya? Arrrg, bahkan Bayu tidak mengetahui nama perempuan itu. Dan bagaimana bisa mereka punya anak, sementara mereka tidak saling kenal?
"Aku mau bicara berdua dengan dia," ucap Bayu dingin sambil menatap tajam Dira.
~000~
Taman belakang kediaman keluarga Anggara hampir seluas lapangan sepak bola, di mana desainnya dirancang oleh ahli pertamanan ternama. Ada danau buatan berada tepat di tengah taman. Terdapat beberapa bangku panjang bercat putih, lampu taman dan sebuah ayunan besi di sana. Di berbagai sudut taman ada kebun bunga Nyonya Kate yang di tumbuhi berbagai jenis bunga mawar. Nyonya rumah itu adalah penggila mawar.
Dira dan Bayu duduk di salah satu kursi panjang. Udara sore yang sejuk membelai kulit mereka.
"Sebenarnya mau lo apa?" tanya Bayu geram.
Dira diam dengan wajah tertunduk dalam. Tidak ada keberanian dalam diri Dira untuk mengangkat wajah, dia terlalu takut dengan laki-laki yang menatapnya dengan tajam seakan ingin mengulitinya.
"Jawab gue! Apa maksud lo, hah? Lo mau apa dari gue? Uang? harta? Ketenaran? Cih, seujung kuku pun lo gak akan dapatkan itu dari gue, cewek murahan!"
Dira merasa jatuh ke jurang terdalam mendengar hinaan Bayu. Ingin rasanya Dira marah dan menyangkal perkataan laki-laki itu. Namun dia bisa apa? Dalam masalah ini yang salah adalah Dira. Dia tidak punya hak untuk marah.
"Maaf," lirihnya.
"Simpan kata maaf lo itu. Gak ada gunanya! Kata maaf lo gak akan mampu untuk mengembalikan kepercayaan keluarga gue," desis Bayu tajam.
Jika tidak mengingat Dira adalah seorang perempuan, mungkin Dira telah habis di tangan Bayu. Sekarang Bayu hanya bisa pasrah pada takdir Ah, kebohongan perempuan itu benar-benar membawa petaka. Seluruh keluarga tidak ada yang mau mendengarkan penjelasannya, bahkan sang ayah mengancam akan mencabut investasi pada proyek pembangunan mall yang sedang ia pegang.
Entah mimpi apa Bayu kemarin malam, sampai dia bisa sesial ini karena seorang perempuan yang tidak ia kenal.
"Satu-satunya cara adalah lo harus jujur sama keluarga gue kalau semua yang lo katakan itu bohong. Kita gak punya hubungan apapun, kita bahkan tidak saling kenal," ujar Bayu tegas.
"Gue gak bisa," sahut Dira pelan. "Rani butuh seorang Ayah."
"Tapi gue bukan Ayah anak itu! Apa gue pernah tidur sama lo? Jadi lo bisa pikir pakai otak, kalau gue bukan ayah anak itu," bantah Bayu keras.
"Pura-pura jadi ayahnya apa lo nggak bisa? Tolong jangan hancurkan hati Rani," mohon Dira.
Rahang Bayu mengeras. Otaknya dipenuhi pikiran buruk tentang Dira. "Apa dia anak dari sebuah kesalahan. Di mana Ayahnya? Melihat dari apa yang terjadi, gue bisa tarik kesimpulan lo bukan cewek baik-baik."
Lagi, ucapan Bayu sangat melukai harga diri Dira baik sebagai perempuan ataupun seorang ibu. Serendah itukah Dira? Dira ingin membantah, namun dia tahu itu tidak akan ada gunanya.
"Terserah lo mau bilang apa. Gue ngelakuin semua ini buat Rani, demi kebahagiannya. Terserah lo mau menginjak harga diri gue sedalam apa pun, gue rela," sahut Dira.
"Murahan," maki Bayu.
"Gue cuma seorang Ibu yang menginginkan kebahagian untuk anaknya," tutur Dira dengan nada pilu. Sarat akan luka dan kesedihan.
Hati Bayu berdenyut mendengar penuturan Dira. Perempuan itu bersembunyi di balik kata seorang Ibu untuk melancarkan akal muslihatnya. Ck, kita lihat seberapa licik dia. Sama sekali tidak mencerminkan sosok seorang Ibu. Dira hanya merusak image seorang Ibu sebagai malaikat tak bersayap.
"Gue ikuti permainan lo demi kelangsungan proyek pembangunan mall gue. Tapi itu saja tidak cukup. Keuntungan lain apa yang gue dapat dari permainan ini?" tantang Bayu.
"Lo akan jadi seorang Ayah."
Dan jawaban Dira kali ini benar-benar membuat Bayu terpaku. Tidak pernah terpikirkan dalam benaknya dia akan menjadi ayah dan memilki seorang anak. Akan seperti apa rasanya?
"Menjadi seorang Ayah adalah keuntungan yang tidak ternilai harganya. Coba saja kalau lo gak percaya," lanjut Dira.
Kerutan tipis muncul di kening Bayu. Otak jeniusnya sedang bekerja untuk menimang-menimang keuntungan yang akan ia dapatkan.
Menjadi seorang ayah dan royek pembangunan mall. Dua keuntungan itu, apa sudah cukup untuk membalas pengorbanannya? Tunggu dulu! Memangnya apa yang sudah ia korbankan dalam hal ini?
Ah, satu lagi keuntungan yang Bayu dapat dari sandiwara ini, ibunya akan berhenti menjodoh-jodohkan dia.
"Tenang saja, gue gak bakal nuntut lo buat nikahin gue. Sandiwara kita tidak akan sampai sejauh itu. Lo cukup jadi Ayah buat Rani sampai gue menemukan sosok Ayah yang sesungguhnya buat dia. Ayah yang benar-benar mencintainya," jelas Dira.
"Gimana kalau lo gak bisa menemukan sosok Ayah untuk Rani? Bisa-bisa gue terjebak selamanya dalam sandiwara ini."
"Lo bisa pergi kapan saja. Akhiri sandiwara ini kapanpun lo mau," Dira memberi kepastian pada Bayu.
"Deal. Tapi, lo yang jelasin ke keluarga gue masalah pernikahan. Ulur waktunya agar pernikahan itu gak akan terjadi. Dan satu lagi, lo harus pastikan investasi gak dicabut dari proyek pembangunam mall gue," Bayu memberikan syarat darinya.
Dira segera mengangguk untuk menyanggupi syarat dari Bayu. Akhirnya laki-laki itu setuju dengan sandiwara gila Dira.
Rani ... akhirnya kamu punya Ayah, sayang, Dira menjerit bahagia dalam hati.
~000~
Dira dan Bayu kembali menjalani interogasi di ruang tamu keluarga Anggara. Tatapan tajam Tuan Adam menusuk pada keduanya. Tangan Dira saling meremas untuk meredam kegugupan dalam dirinya.
Tuan Adam sebenarnya adalah sosok yang baik dan bersahaja jika mengenalnya lebih dalam. Tapi tatapannya itu lho, membuat Dira menciut. Dan sikapnya yang sangat berwibawa membuat Dira merasa segan.
"Apa keputusan kalian?" Tuan Adam akhirnya buka suara.
Dira bersiap untuk menjawab. Ia melirik Bayu sekilas yang duduk tepat di sampingnya. Laki-laki itu terlihat sangat tenang. "Ka-kami akan menikah," jawabnya.
"Bagus! Kalian akan menikah akhir bulan ini," putus Tuan Adam.
"Hah?!" Dira dan Bayu memekik bersamaan. Segera Bayu menyikut Dira agar perempuan itu menyangkal perkataan ayahnya. "Sa-saya tidak mau menikah!"
Sial, Dira salah merangkai kata. Tatapan tak suka dari Tuan Adam membuatnya semakin menciut. "Ma-maksud sa-saya, saya tidak mau menikah secepat itu. Setidaknya biarkan saya menyelesaikan kuliah saya dulu," jelas Dira dengan nada takut-takut.
Tuan Adam mengangguk-anggukan kepalanya, seolah sedang menilai jawaban yang diberikan Dira. Sementara Dira mengamati ekspresi lelaki tua itu dengan seksama, coba menerka apakah permohonannya diterima atau tidak.
"Ya, saya mengerti!"
Senyuman lega seketika terbit di wajah Dira dan Bayu. Rentetan kata yang keluar dari bibir Tuan Adam akan menjadikan sandiwara mereka berada di jalan yang lurus dan yang pasti membuat segalanya menjadi aman terkendali.