webnovel

dua puluh satu

Masih tersenyum, ia melihat buku janji pertemuan yang tebal di tengah mejanya yang bersih. "Apakah Anda punya janji?" ia bertanya, tahu benar bahwa aku tak punya janji.

"Tidak. "

"Begitu? Mr. Kirkland agak sibuk saat ini."

Karena musim panas lalu aku bekerja di sebuah biro hukum, aku tahu benar bahwa Mr. Kirkland tentu akan sibuk. Itu prosedur baku. Tak ada satu pun pengacara di dunia yang bakal mengakui atau me nyuruh sekretarisnya mengakui bahwa ia tidak diban jiri pekerjaan.

Bisa lebih buruk lagi. la bisa saja berada di pengadilan federal pagi ini.

Chad Kirkland adalah partner senior di kantor ini, lulusan Southaven University, demikian kata buku petunjuk. Aku sudah mencoba merencanakan seranganku ini sedemikian rupa, dengan memasukkan sebanyak mungkin alumni.

"Saya tidak keberatan menunggu," kataku sambil tersenyum. La tersenyum. Kami semua tersenyum. Sebuah pintu terbuka di gang pendek, dan seorang laki-laki tanpa jas dengan lengan kemeja digulung berjalan ke arah kami. la mengangkat muka, melihatku, dan sekonyong-konyong kami sudah berdekatan. la menyerahkan setumpuk berkas kepada sekretaris yang penuh senyum itu.

"Selamat pagi," katanya. "Apa yang bisa saya kerjakan untuk Anda?" Suaranya keras. Jenis yang benar-benar ramah.

Sang sekretaris mulai mengucapkan sesuatu, tapi aku mendahuluinya. "Saya perlu bicara dengan Mr. Kirkland," kataku.

"Saya sendiri," katanya sambil mengulurkan tangan kepadaku. "Chad Kirkland."

"Saya Edward Cicero," kataku sambil menerima tangannya dan menjabatnya erat. "Saya mahasiswa tahun ketiga di Southaven University, akan segera lulus, dan saya ingin bicara tentang pekerjaan dengan Anda."

Kami masih berjabat tangan, tak ada tanda-tanda genggamannya mengendur ketika aku menyebut pekerjaan. "Yeah," katanya. "Pekerjaan, ya?" la melirik sang sekretaris, seolah-olah mengatakan, "Bagaimana kau membiarkan ini terjadi?"

"Ya, Sir. Kalau Anda bisa menyisihkan sepuluh menit saja. Saya tahu Anda sibuk."

"Yeah, saya harus menyelesaikan deposisi ini dalam beberapa menit, lalu berangkat ke pengadilan." la berdiri pada tumit, melirikku, lalu ke sekretaris, lalu ke jam tangannya. Namun dalam hati, ia orang baik, berhati lembut. Mungkin ia sendiri pernah mengalami hal ini. Aku memohon dengan mataku, dan mengangsurkan berkas tipis berisi resume dan surat itu kepadanya.

"Yeah, baiklah, mari masuk. Tapi sebentar saja."

"Saya akan bel Anda dalam sepuluh menit," kata sang sekretaris cepat-cepat, mencoba memperbaiki kesalahan. Seperti semua pengacara sibuk, ia melirik jam tangan, mengamatinya sejenak, lalu mengatakan kepada sekretaris itu dengan muram, "Yeah, sepuluh menit, maksimum. Dan telepon Bentley, katakan padanya aku mungkin terlambat beberapa menit."

Mereka bertanya-jawab dengan'bagus, mereka berdua. Mereka menerimaku, tapi dengan cepat mengatur agar aku segera pergi.

"Ikuti aku, Edward," katanya sambil tersenyum. Aku menempel di belakangnya ketika kami berjalan menyusuri gang.

Kantornya adalah sebuah ruangan persegi, dengan satu dinding di belakang meja kerja tertutup rak buku dan sebuah dinding ego yang lumayan serius, menghadap ke pintu. Aku melihat berbagai ijazah berbingkai itu dengan cepat—anggota Rotary Club, sukarelawan Pramuka, pengacara bulan ini, sedikitnya dua gelar college, foto Chad bersama seorang politikus bermuka merah, keanggotaan Kamar Dagang. Orang ini akan membingkai apa saja.

Aku bisa mendengar jam berdetik ketika kami duduk berhadapan di meja kerjanya yang besar, bergaya katalog Amerika. "Maaf kalau saya menerobos seperti ini," aku memulai, "tapi saya benar-benar butuh pekerjaan."

"Kapan kau lulus?" ia bertanya seraya membungkuk ke depan, bertelekan siku.

"Bulan depan. Saya tahu kalau ini sudah terlambat, tapi ada alasan yang baik," Kemudian kuceritakan padanya tentang pekerjaanku pada Wills and Trust. Ketika sampai pada bagian tentang Skadden, aku memberikan tekanan dan mencoba membangkitkan kebenciannya pada firma-firma besar. Ini persaingan alami, orang-orang kecil seperti sobatku Chad ini, pengacara jalanan miskin, versus bocah-bocah mentereng di gedung-gedung tinggi itu. Aku berbohong sedikit ketika menerangkan bahwa Skadden ingin bicara tentang pekerjaan denganku, kemudian mengemukakan alasan buatan sendiri bahwa tak mungkin aku bisa bekerja untuk biro hukum besar. ltu tak ada dalam darahku. Aku terlalu independen. Aku ingin mewakili orang, bukan perusahaan-perusahaan besar.

Ocehanku membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Sementara ia adalah pendengar yang baik, agak gelisah dengan telepon yang berdering. la tahu ia tidak akan mempekerjakanku, jadi ia hanya melewatkan waktu, menunggu sepuluh menitku berlalu. "Benar-benar menjengkelkan," katanya bersimpati, ketika aku menyelesaikan kisahku.

"Memang begitulah," kataku, bagai seekor domba kurban. "Tapi saya siap bekerja. Saya akan lulus sebagai bagian dari sepertiga paling atas di kelas saya. Saya benar-benar suka real estate, dan saya pernah mengambil dua mata kuliah properti. Dapat nilai bagus untuk keduanya."

"Kami memang banyak menangani real estate, katanya puas, seolah-olah itu pekerjaan paling menguntungkan di dunia. "Dan litigasi," ia menambahkan, bahkan lebih puas lagi. la tak lebih dari seorang praktisi kantoran, orang yang kerjanya berhadapan dengan kertas, mungkin sangat cakap dalam pekerjaan itu dan bisa hidup berkecukupan. Namun ia ingin aku berpikir bahwa ia juga petarung berprestasi di pengadilan, penuntut konyol. la mengucapkan ini karena memang inilah yang dilakukan para pengacara, sebagian komentar rutin. Aku belum banyak menjumpai pengacara, tapi rata-rata mereka semua ingin dianggap hebat.

Waktuku hampir habis. "Saya bekerja keras untuk menyelesaikan kuliah. Tujuh tahun penuh. Tak sepeser pun dari keluarga."

"Pekerjaan macam apa?"

"Apa saja. Saat ini saya bekerja di Yugo's, melayani pelanggan, menjaga bar."

"Kau bartender?"

"Ya, Sir. Di antara beberapa pekerjaan lain." la memegang resumeku. "Kau masih single," katanya perlahan-lahan. Itu tertulis di sana, hitam di atas putih.

"Ya, Sir."

"Punya hubungan serius?"

Itu sama sekali bukan urusannya, tapi aku benar benar tak berdaya. "Tidak, Sir."

"Kau bukan homo, kan?"

"Tentu saja tidak," dan kami berbagi humor heteroseksual sepintas. Cuma antara dua laki-laki kulit putih yang sangat normal.

la bersandar ke belakang, wajahnya tiba-tiba jadi serius, seolah-olah sekarang ada urusan penting. "Kami sudah beberapa tahun tidak pernah menerima associate baru. Sekadar ingin tahu, berapa orang orang besar di pusat kota yang membayar orang baru sekarang ini?"

Ada alasan untuk pertanyaan ini. Tak peduli apa pun jawabku, ia akan menunjukkan kekagetan dan keheranan atas gaji yang begitu berlebihan di gedung-gedung tinggi tersebut. Tentu saja itu akan meletakkan landasan bagi pembicaraan kami tentang uang.

Berbohong tidak akan ada gunanya. la mungkin sudah tahu patokan gaji di sana. Pengacara suka sekali dengan gosip.

"Seperti yang anda tahu, Skadden bersikeras membayar paling mahal. Saya dengar jumlahnya sampai 50.000 dolar."

Kepalanya menggeleng sebelum aku selesai. "Bukan main," katanya bingung. "Bukan main," ulangnya lagi.

"Saya tidak semahal itu," aku cepat-cepat mengumumkan. Aku sudah memutuskan menjual diri dengan murah pada siapa pun yang mau memberikan tawaran. Pengeluaranku kecil, dan bila aku bisa menginjakkan kaki ke balik pintu, bekerja keras satu sampai dua tahun, mungkin kesempatan lain bakal muncul.