webnovel

dua puluh enam

la berdiri di samping kotak surat ketika aku berlalu, merokok dan mengawasiku menghilang.

Untuk orang yang baru saja bangkrut, aku masih bisa menghamburkan uang dengan bodohnya. Aku membayar delapan dolar untuk satu pot bunga geranium, dan membawanya kepada Miss Streep. Ia suka sekali bunga, katanya, dan ia kesepian, tentu saja, dan aku pikir bahwa tindakan ini yang menyenangkan. Hanya secercah cahaya matahari dalam hidup seorang perempuan tua.

Aku memilih waktu yang pas. la sedang merangkak-rangkak di semaian bunga di samping rumah, di sebelah jalan masuk yang membujur ke garasi di halaman belakang. Betonnya dipagari rapat dengan bunga-bungaan, perdu-perdu, tanaman jalar, dan pohon-pohon hias. Halaman belakangnya dinaungi pepohonan setua orangnya. Ada sebuah teras bata dengan kotak-kotak yang terisi, karangan bunga berwarna cerah.

la benar-benar memelukku ketika aku memberinya hadiah kecil itu. la melepas sarung tangan berkebun, menjatuhkannya pada rumpun bunga, dan setelah itu membawaku ke belakang rumah. la punya tempat yang tepat untuk geranium itu. la akan menanamnya besok. Apakah aku mau kopi?

"Air saja," kataku. Rasa kopi encer buatannya masih segar dalam ingatanku. la menyuruhku duduk di kursi hias di geladak teras, sementara ia menyeka lumpur dan tanah dari celemek.

"Air es?" ia bertanya, bersemangat menyuguhkan minuman padaku.

"Ya," kataku, dan ia pergi ke dapur. Tanaman tanaman di halaman belakang itu tertata dalam simetris yang ganjil. Halaman itu membentang sedikitnya lima puluh meter sebelum sampai pada pagar hijau yang rimbun. Aku bisa melihat atap rumah di belakangnya, di balik pepohonan itu. Ada rumpun rumpun tumbuhan kecil yang teratur, rumpun bunga aneka ragam yang kelihatannya dirawat sendiri olehnya atau oleh orang lain. Ada air mancur pada alas bata di sepanjang pagar, tapi tak ada air mengalir. Ada sebuah tempat tidur gantung terikat di antara dua batang pohon, tali dan kanvasnya yang sudah cabik terpilin diterpa angin. Rumputnya bebas dari tanaman liar, tapi perlu dipangkas.

Perhatianku tertuju pada garasi. Garasi itu punya dua pintu tarik. Pada salah satu sisinya ada gudang dengan jendela-jendela tertutup. Di atasnya ada sebuah apartemen kecil dengan anak tangga kayu berkelok di sudut, rupanya terus ke atas, di bagian belakang. Ada dua jendela besar menghadap ke rumah, salah satu daunnya pecah. Tanaman ivy merambati dinding luarnya, dan kelihatannya menerobos jendela yang pecah.

Ada sesuatu yang menarik pada tempat itu.

Miss Streep berjalan melewati pintu ganda tersebut dengan dua gelas tinggi berisi air es. "Menurutmu bagaimana kebunku?" ia bertanya sambil duduk di kursi terdekat denganku.

"Kebun ini indah, Miss Streep, Begitu damai."

"Ya, inilah hidupku," katanya sambil merentangkan tangan, menumpahkan air pada kakiku, tanpa menyadarinya. "Inilah yang kukerjakan untuk menghabiskan waktu. Aku mencintainya."

"Tempat ini sangat cantik. Anda yang mengurus semuanya?"

"Oh, sebagian besar. Aku membayar seorang bocah untuk memotong rumput sekali seminggu, tiga puluh dolar. Percaya, tidak? Dulu cuma lima dolar." la menghirup air, mendecakkan bibir.

"Apakah di atas itu apartemen?" tanyaku menunjuk ke atas garasi.

"Dulu. Salah satu cucuku tinggal di situ beberapa lama. Aku membereskannya, menambahkan kamar mandi dan dapur kecil, benar-benar nyaman. Dia dulu kuliah di Universitas Southaven."

"Berapa lama dia tinggal di sana?"

"Tidak lama. Aku benar-benar tak ingin bicara tentangnya."

la pasti salah satu yang dicoret dari surat wasiat.

Karena sudah menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengetuk pintu kantor pengacara, mengemis pekerjaan, dan dicemoohkan oleh sekretaris-sekretaris judes, aku jadi kehilangan rasa malu. Kulitku jadi tebal. Penolakan jadi mudah diterima, sebab aku belajar dengan cepat bahwa hal terburuk yang bisa terjadi adalah mendengar kata "Tidak".

"Anda tidak tertarik untuk menyewakannya sekarang?" aku berspekulasi tanpa banyak sangsi, dan sama sekali tanpa ketakutan untuk ditolak.

Gelasnya berhenti di udara, dan ia menatap apartemen itu, seolah-olah baru saja menemukannya. "Pada siapa?" ia bertanya.

"Saya suka tinggal di situ. Tempatnya sangat menarik, dan pasti tenang."

"Sunyi senyap."

"Tapi hanya untuk sementara. Anda tahu sampai saya mulai bekerja dan berdiri sendiri."

"Kau, Edward?" ia bertanya, sedikit tercengang.

"Saya menyukainya," kataku dengan senyum separo palsu. "Cocok sekali untuk saya, Saya lajang dan saya hidup sangat tenang, tak bisa membayar banyak untuk sewa. Sempurna."

"Berapa banyak kau bisa membayar?" ia bertanya pendek, mendadak menjadi pengacara menginterogasi klien miskin.

Aku kaget, tak siap dengan jawaban. "Oh, entahlah. Anda pemiliknya. Berapa sewanya?" la memutar kepala, memandang ke pepohonan itu dengan bingung. "Bagaimana kalau empat ratus... tidak... tiga ratus dolar sebulan?"

Jelaslah bahwa Miss Streep tak pernah jadi induk semang. Ia cuma asal menyebutkan angka. Untung ia tidak mulai dengan delapan ratus sebulan. "Saya rasa kita harus melihatnya dulu," kataku dengan hati-hati.

la berdiri. "Tempat itu agak morat-marit. Sudah sepuluh tahun dipakai sebagai gudang. Tapi kita bisa membenahinya. Pipa airnya, kurasa." la menggandeng tanganku dan menuntunku berjalan melintasi rumput. "Kita perlu membetulkan ledingnya. Entah bagaimana dengan pemanasnya. Aku punya mebel, tapi tidak banyak, barang-barang tua yang sudah kubuang." la menaiki anak tangga yang berkeriutan. "Apa kau butuh mebel?"

"Tidak banyak." Susuran tangganya goyah dan seluruh bangunan iłu rasanya berguncang.

***

ORANG pasti punya musuh di sekolah hukum. Persaingan di situ bisa sangat ganas. Orang belajar cara berbuat curang dan membokong; latihan menghadapi dunia nyata. Pada tahun pertama, aku menyaksikan perkelahian di sini, ketika dua mahasiswa tahun ketiga mulai berteriak satu sama lain dalam kompetisi pengadilan simulasi. Mereka dikeluarkan, kemudian diterima kembali. Sekolah ini butuh uang kuliah.

Hanya sedikit orang-orang di sini yang benar benar tak kusukai, satu-dua orang yang semgaja aku jauhi. Tapi aku tetap berusaha untuk tidak membenci orang.

Namun saat ini aku benci pada bangsat kecil yang melakukan ini padaku. Di kota ini mereka menerbitkan catatan akan segala transaksi finansial dan hukum. Terbitan itu bernama Berita Harian dan mencantumkan—di antara pengajuan perceraian dan puluhan kategori vital lain—daftar pernyataan bangkrut kemarin. Temanku atau sekelompok temanku berpikir tentu akan lucu mengangkat namaku dari kepedihan kemarin, membesarkan potongan berita tentang Petisi Pasal, 7, dan menyebarkan lembaran kecil itu ke seluruh penjuru sekolah hukum. Bunyinya: "Cicero, Edward., mahasiswa; Aset: $1.125 (exempt); Utang Terbayar: $285 kepada Wheels and Deals Finance Company; Utang tak Terbayar: $51.136,88; Tindakan Hukum Yang Tertunda: (1) Tagihan Oleh Halter Grisworld, (2) Pengusiran dari The Brentwood; Majikan: Tidak ada; Pengacara, Pro Se."

Pro Se berarti tidak mampu membayar pengacara dan aku mengurusnya sendiri. Mahasiswa yang jadi petugas di meja depan perpustakaan mengangsurkan satu copy kepadaku begitu aku melangkah masuk pagi ini. Katanya ia melihatnya bertebaran di segala penjuru kampus, bahkan tertempel pada papan buletin. la berkata, "Heran, entah siapa yang merasa ini lucu?"