"Anak itu," Valen menunjuk Rowlett dengan dagunya. "Dia juga berasal dari sana?"
Mata Rataka membulat, tertegun mendengarnya.
"Berapa banyak?" tanya Rataka tenang.
"Ha?"
"Berapa banyak anak yang kau besarkan jadi seperti dia?"
"Ini tidak terlihat seperti aku butuh pasukan."
"Bukankah kau memang seperti itu? Dari gestur-mu yang payah itu, dasar tolol," Rataka tertawa miris.
Valen menggertakkan giginya, kakinya ancang-ancang lalu berlari ke arah Rataka. Sialnya, Rataka menjentikkan darinya dan sekelilingnya mulai muncul asap misterius hingga membuat Valen terjebak di sana dan tak mendapati siapapun. Dan yang membuatnya marah adalah Rowlett ikut menghilang dari tempat itu.
"Sialan! Sialan! Sialan!" umpatnya marah. "Dia membawa Rowlett bersamanya, sial!"
Valen mengepalkan tangannya penuh emosi karena kehilangan salah satu pilar yang merupakan anak didiknya.
"Awas kau, Taka. Ku pastikan akan kubunuh anak itu (Alfa)."
***
Rataka duduk di kursi, menyilangkan kedua kakinya sembari memandangi Rowlett yang terbaring di ranjang kamar miliknya di bar. Jari-jari Taka mengetuk-ngetuk meja sembari menatap anak itu dengan tatapan tak biasa.
Rowlett mengerjapkan matanya, ia siuman dan mendapati orang asing yang memukulnya tengah mennatapnya intens di hadapannya.
"K…kau!"
"Sudah bangun? Kenapa tidak tidur lagi?" air mukanya datar.
Rowlett melihat selimut yang menyelimuti tubuhnya dengan hangat. Ia melihat sekeliling dan kamar yang ditempatinya terasa hangat dan nyaman.
"Apa yang kau inginkan? Sebenarnya siapa kau?!"
"Apa kau tidak capek tanya itu terus?"
Rowlett bangun dan berdiri. Ia berlari ke arah pintu, hendak keluar namun pintunya terkunci.
"Kau dari panti asuhan Motherwood?" tanya Taka tiba-tiba.
Rowlett mematung. Ia berbalik dan tertegun mendengar pertanyaan itu.
"Dari reaksimu sepertinya si sialan Valen itu benar."
"Apa? Kak Valen? Apa dia datang menyelamatkanku?" Rowlett menggebu.
"Tidak sama sekali." Rataka tertawa. "Malang sekali. Kau pikir dia akan datang menyelematkanmu?"
"Tentu saja! Aku adalah adiknya!"
Rataka bangkit dari duduknya dan mendekati Rowlett. Ia mengangkat tangannya seolah akan memukul, namun ia berhenti dan memutuskan untuk mengelus pipinya. Rowlett bergidik ngeri.
"Kau pikir cuma kau adiknya? Menurutmu ada berapa anak yang ia besarkan selain dirimu? Kau benar-benar naif."
"Katakan yang sebenarnya. Tidak usah berputar-putar."
"Sejak kapan fyber-fyber tertanam di tubuhmu?"
"Bagaimana kau mengetahui semua informasi itu?"
"Aku yang tanya duluan. Duduklah. Kau tahu? Kau hampir seumuran dengan keponakan-keponakanku,. ah aku hampir saja tidak tega memukulmu kemarin. Bisakah kau duduk dengan tenang, Nak?"
Rowlett sangat kesal mendengarnya. Tangannya terus mencengkram ujung bajunya dan dia memperhatikan kamar yang sempit dan agak gelap itu. Ia tak punya pilihan lain selain kembali duduk di tepi ranjang. Rataka duduk di kursi seolah menginterogasinya.
"Katakan semuanya. Katakan semuanya sejak kau berada di panti asuhan."
Rowlett membuang muka, mengarahkan wajahnya ke samping dan tidak mau membalas tatapan Taka.
Rataka menghela napas berat.
***
"Alfa! Alfa!"
Amy melihat dari balik kaca sempit dan mendapati Alfa tengah dikerumuni dokter dna beberapa suster. Kondisinya yang awalnya datar kini berubah kritis. Dokter menanganinya dengan kewalahan.
Dio kewalahan dengan kondisi Alfa maupun Amy yang benar-benar terlihat sekarat. Wajah Amy pucat dan matanya bengkak. Dio benar-benar tak bisa berbuat apa-apa selain berharap Alfa segera membaik.
Rataka berdiri di balik dinding, tangannya mengepal panas, bola matanya berubah biru. Tubuh Amy bergejolak, fyber yang mendiami tubuhnya sudah lama bertahan cukup baik akhir-akhir ini. Namun kali ini sepertinya mereka terlalu sabar menahan emosi Amy yang berubah-ubah. Dio juga kelihatannya mulai kacau.
"Mereka berdua…" Taka khawatir melihat keduanya. "Aku tidak bisa membiarkannya keluar lebih banyak (fyber)."
Rataka berjalan melewati lorong dan menjauh dari sana.
"Alfa bagaimana kak? Aaaarrrgghhh Alfaaa!" teriak Amy meraung pedih.
Dio menangkap tubuhnya dan menenangkannya dalam pelukan.
"Dia pasti baik-baik saja!" teriak Dio. Ia menahan air mata sekuat tenaga. "Selama ini bukankah dia sudah melewati banyak hal? Dia pasti bertahan!"
"Valen sialan! Aku akan menunjukkan siapa yang mengancam siapa disini." Taka menarik pedang dari bahu kanan punggungnya. Warna keemasannya sedikit pudar. "Maafkan aku Liska, aku akan memaksamu sedikit lebih lama lagi."
Rataka mengedipkan matanya dan sesaat itu berubah menjadi merah menyala. Taringnya memanjang hingga keluar melewati bibirnya.
Syaaaaaat! Ia kibaskan pedangnya.
"Aku akan membunuhnya."
Dalam sekejap Rataka sudah berada di dalam kamar dimana ia mengurung Rowlett.
Braaaaak
Kursi di depan meja ia lempar hingga menabrak tubuh anak remaja berwajah polos itu.
"Si Valen kakak sialanmu itu membuat keponakanku hampir mati."
"Jadi kau melampiaskannya padaku?!" teriak Rowlett sembari menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.
Rataka berjalan ke arahnya. Entah kenapa auranya yang kemarin terlihat biasa saja, kini seolah terbakar seluruh tubuhnya. Rowlett yang menyadari amarahnya mundur dan takut.
"Kau akan membunuhku?"
"Panggil Valen sekarang."
"Ha? Kau kan tahu dia datang bukan karena kupanggil. Bukankah kau yang bilang dia punya banyak adik selain aku!"
"Panggil dia sialan!"
Praaaangg!
Taka melempar cermin hingga pipi Rowlett tergores dan berdarah. Ruangannya tidak luas sehingga barang apapun yang dilempar sulit dihindari.
"Kalau begitu keluar. Keluarkan semua fyber dalam tubuhmu! Aku tidak bisa melawan bocah lemah sepertimu!"
"Aaaaaarggggkkkk." teriak Rowlett tiba-tiba. "Kau kira cuma kau yang frustasi di sini?!"
Taka mendekat dan mengibaskan pedangnya ke hadapan wajahnya.
"Aku bisa melenyapkanmu saat ini juga."
Rowlett menelan ludah dengan kepayahan. Ia melihat pedang di hadapan wajahnya itu berwarna keemasan, berkilauan bak emas. Baru kali ini ia melihat pedang seindah dan semenakutkan itu.
"Aku tidak akan membuang tenaga pedangku hanya untuk pilar rendahan sepertimu."
Taka memasukkan kembali pedangnya ke sarung di belakang punggungnya. Rowlett bingung kemana hilangnya pedang itu ketika Taka mulai mengembalikannya ke punggung. Sarung di punggungnya tidak bisa dilihat oleh mata lawannya. Hanya dirinya yang mampu melihatnya.
Ia berjongkok lalu menarik tangan Rowlett yang ketakutan lalu menekan telapak tangannya dengan ibu jari dengan kuat hingga Rowlett merintih kesakitan.
"Kau kira cuma sektemu yang bisa mengutuk dengan mantra, huh? Berubahlah, keluarkan semua mata berlendir sialanmu itu kecuali kau ingin mati. Aku akan mengutukmu dengan mantra paling menyakitkan dari mantra ilusi.
"Jangan, hentikan. Hentikaaaannn!"
Mata Taka masih merah. Auranya sangat tenang dan mengalir seolah lautan tenang yang digulung ombak. Rowlett menatap mata itu, seperti monster yang akan memakannya. Wajahnya semakin mendekat dan tekanan di telapak tangannya makin menyakitkan. Rataka menekannya hingga muncul bentuk aneh seperti benang tipis berwarna biru yang bersinar muncul.
"Apa ini? Apa yang kau lakukan padaku?! hentikaaan!"
"Sudah kukatakan aku bisa mengutukmu dengan mantra yang paling menyakitkan dari seluruh mantra."
"Kakaaaaakkk selamatkan aku. Tidaaaaakk!"