webnovel

Fitnah

Julian yang baru kembali dari rumah sakit sudah mendapatkan sambutan tak menyenangkan dari kedua putrinya yang melayangkan protes padanya karena dihukum oleh sang kakek.

"Ini tak adil, Daddy. Bagaimana bisa uang jajanku dipotong? Bagaimana aku bisa shopping? Bagaimana kalau misalkan aku ingin ke salon? Bagaimana kalau aku bosan? Aku tak mungkin hanya diam saja dirumah karena tak punya uang, Daddy." Selena kembali mengulangi perkataannya untuk yang kedua kalinya pada sang ayah.

Rose yang tak mau kalah langsung merebahkan kepalanya di paha sang ayah yang sudah duduk di ranjangnya. "Minggu ini sekolahku akan ada acara ke Paris, Daddy. Aku tak mungkin tak ikut, bukan? Aku tak mau jadi bahan gunjingan teman-temanku Daddy."

Julian diam, ia tak merespon rengekan kedua putrinya. Saat ini pikirannya masih tertuju pada putri tercintanya, Georgina. Buah cintanya dengan Sandra, cinta pertama sekaligus satu-satunya wanita yang ia cintai.

Mengetahui Sandra sudah meninggal membuat Julian shock, ia didera rasa bersalah yang sangat besar karena sudah mengabaikan wanita itu selama bertahun-tahun karena takut pada sang ayah. Seandainya waktu itu Julian punya sedikit saja keberanian untuk melawan ayahnya mungkin saat ini ia sudah hidup bahagia bersama Sandra dan anak-anak mereka.

Tanpa disadari air mata Julian merembes, membasahi wajahnya yang pucat.

"Daddy, kenapa kau menangis? Bagian mana yang sakit, Daddy?"pekik Selena panik, meski marah saat tahu ayahnya punya anak haram dari wanita lain namun Selena masih memiliki rasa sayang pada sang ayah.

Vanessa yang sedang menyiapkan makanan untuk suaminya pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan langsung menghampiri ranjang dimana Julian berada. "Honey, kau kenapa?"

"Daddy jawab Daddy, kenapa Daddy menangis?"tanya Rose ikut panik.

Dengan tenaganya yang masih lemas Julian mencoba menyingkir tangan kedua putrinya yang sedang menyentuhnya. "Daddy lelah, Daddy ingin tidur."

"Tapi Dad…"

"Daddymu benar, Rose. Daddy baru keluar dari rumah sakit, lebih baik kita tinggalkan Daddy supaya bisa beristirahat,"ucap Vanessa pelan memotong perkataan putri bungsunya dengan lembut.

Rose mengangguk pelan, ia kemudian bangun dari ranjang diikuti Selena yang kemudian berjalan pergi dari kamar. Setelah merapikan selimut sang suami Vanessa pun menyusul kedua putrinya keluar dari kamar, meninggalkan Julian yang sudah memejamkan kedua matanya.

Sepeninggal anak dan istrinya Julian membuka kedua matanya perlahan dan mengeluarkan ponsel pintar yang sejak tadi ada di saku celananya, dengan mata berkaca-kaca Julian mencari nomor Patrick sang sahabat sekaligus orang yang selama ini ia tugaskan untuk mengirimkan uang pada Sandra di London. Julian terpaksa meminta Patrick untuk mengirimkan uang bulanan pada Sandra karena khawatir sang ayah akan mengetahui apa yang ia lakukan, pasalnya jika Yohanes Sanders sampai tahu ia masih berhubungan dengan Sandra maka Sandra dan anaknya akan celaka. Karena itulah Julian meminta sahabatnya untuk menggantikan dirinya mengirimkan uang kepada anak dan istrinya untuk mencari aman.

***

"Silahkan tanda tangan disini, Nyonya,"ucap Gina pelan pada seorang wanita paruh baya ketika sedang mengantarkan paket.

Wanita itu menerima pena milik Gina dengan gerakan provokatif. "Dimana?"tanyanya kembali.

Gina tersenyum. "Di Sebelah sini Nyonya, disamping nama anda."

"No, jangan panggil aku Nyonya. Aku masih muda, panggil saja Nona."

"Baik Nona."

"Nah begitu, ngomong-ngomong kau pegawai baru ya? Aku baru melihatmu hari ini,"tanya wanita itu kembali dengan mata yang terus menatap Gina dari atas sampai bawah, tatapannya tajam seperti serigala betina yang kelaparan.

Gina mengangguk pelan sambil menerima pena yang keras laporannya dari wanita itu sebagai jawaban dari pertanyaan yang diberikan padanya.

"Oh jadi kau benar-benar pegawai baru, jadi tebakanku benar bukan? Pantas saja wajahmu asing,"ucap wanita itu kembali kegirangan, kedua matanya berbinar saat bicara.

Gina tersenyum dari balik masker yang ia gunakan. "Sepertinya anda sering sekali menggunakan jasa pengiriman dari kantor saya, Nona."

"Iya, hampir tiga minggu sekali. Makanya aku hafal hampir dengan semua kurir yang ada di kantormu, hmm bagaimana kalau kita bersantai sejenak? Aku punya dessert lezat untuk dinikmati bersama di siang ini anak muda,"jawab wanita itu pelan sambil menyentuh dadanya yang sedikit menyembul dari pakaian ketatnya.

Gina hampir muntah melihat yang dilakukan oleh wanita yang ada di hadapannya. "Maaf Nona, pekerjaan saya masih banyak. Saya harus menyelesaikan semuanya sebelum pukul satu siang."

"Akhh kau ini, jangan jual mahal anak muda. Aku tahu kau juga sama seperti kurir yang lain, tenang saja aku yang akan bertanggung jawab."

Gina langsung mengambil langkah mundur berusaha menghindari jamahan wanita itu, sebagai seorang wanita normal tentu saja Gina merasa jijik melihat ada wanita yang menawarkan dirinya sendiri.

"Maaf Nona, saya harus pergi. Permisi."

Wanita paruh baya itu terlihat kecewa ditolak seorang kurir, baru kali ini ditolak seorang pria. Seorang kurir pula, pegawai rendahan. Salah satu alasannya menggunakan jasa pengiriman melalui kantor tempat Gina bekerja adalah karena ia bisa melampiaskan hasratnya bersama kurir-kurir yang datang mengirimkan barang padanya, namun hari ini ia harus mendapatkan kekecewaan untuk pertama kalinya. Dengan penuh emosi wanita itu pun menghubungi kantor ekspedisi tempat Gina bekerja, ia mengajukan komplain atas barang yang tidak sempurna dan menjelek-jelekkan sikap sang kurir yang disebut tidak sopan.

Gina yang sudah kembali mengendarai sepeda motornya tak mengetahui kalau saat ini di kantor namanya sedang jadi buah bibir, beberapa kurir senior yang tak suka padanya pun ikut-ikutan memberikan penilaian jelek pada Gina sehingga akhirnya kabar jelek itu terdengar di telinga Sara yang kebetulan sedang menuruni tangga menuju basement.

"Tak mungkin Gabriel bersikap seperti itu, dia saja tak berani menatap wajahku lebih dari dua menit,"ucap Sara dalam hati saat menguping pembicaraan para kurir.

Bersambung

Next chapter